Rain
MEREKA berdiri di tengah hujan. Namjoon menarik napas panjang. Tetesan air yang mengguyur tubuh tegapnya tidak dipedulikan. Dia menengadah, membiarkan kedua matanya memejam sementara bulir-bulir air mengecup wajahnya bergantian. Sejenak, dia membiarkan dirinya dipeluk sensasi nyata oleh hujan yang membasahi wajahnya.
Tatapannya kini beralih pada sosok di depannya. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang dengan tergesa, gadis itu menjadi satu-satunya yang berdiri diam. Begitu kedua mata mereka saling bertautan, Namjoon merasa separuh kesadarannya meluruh dan jatuh di jalanan becek.
"Aku suka hujan," katanya lirih. Tidak terdengar di antara gemuruh hujan yang turun semakin lebat. Helaan napasnya berat, tapi juga lega. "Aku harap setiap hari adalah hujan."
Semuanya terasa melambat, bergerak dalam tempo pelan dan tak lagi tergesa. Segala sesuatu kecuali gadis itu dan Namjoon. Seolah hanya mereka berdua nyawa yang hidup di muka bumi ini. Kedua sudut bibir Namjoon tertarik ke atas, membentuk senyuman canggung yang tidak sampai ke mata.
Seperti marah dengan senyumnya, hujan tiba-tiba berhenti dan sosok gadis di depannya memudar dalam sekejap.
Namjoon ditinggal sendirian, menunduk menatap bayangan tubuhnya yang terpantul di atas air yang tergenang. Aroma petrikor semakin menyeruak, Namjoon merasa kesulitan bernapas.
☔
"Ini sudah kelewatan, Namjoon." Hoseok sudah mengatakan kalimat itu setidaknya sepuluh kali. Wajah lembutnya terlihat lelah, juga khawatir. Namjoon mencebik dalam hati, dia terlalu memahami Hoseok. Kemarahan pemuda itu tak lebih besar dari rasa khawatirnya pada Namjoon.
"Maaf, Hoseok."
"Ini bukan yang pertama kalinya Seokjin Hyung membawamu ke sini, dalam keadaan demam dan pakaianmu yang sudah berganti. Demi Tuhan, Namjoon!" Hoseok memekik frustasi, nyaris memuntahkan semua makian yang jarang dia katakan. "Kau bisa membuat Seokjin Hyung kehabisan stok pakaian!"
Namjoon mengerutkan kening. Kepalanya sangat sakit dan lelucon Hoseok sama sekali tak membantu. Pria bersurai ash blonde itu menyingkirkan selimut tebal yang tadi melapisi tubuhnya. Dia duduk di tepi ranjangnya, hendak meraih semangkuk bubur di atas nakas.
"Sekarang kau mau makan dan tidak mendengarkanku?"
"Hoseok, dia butuh makan." Yoongi yang sedari tadi duduk di depan meja belajar Namjoon menyela sebelum pemuda Jung kembali meledak. "Namjoon akan baik-baik saja setelah dia makan dan meminum obatnya. Kita juga harus memberinya istirahat. Bukan begitu, Hoseok?"
Hoseok meneguk ludah mendengar kalimat panjang Yoongi dan tatapan tajamnya yang menegaskan kalau pemuda pucat itu tak mau dibantah. Senior yang juga teman satu komunitasnya itu tampak marah sekarang.
"Baik." Hoseok menelan bulat-bulat semua pembelaan yang hendak dia utarakan. Dia menoleh, menatap Namjoon dengan galak. "Kalau kau belum sembuh besok pagi, aku akan membongkar seluruh tempat persembunyian koleksi majalah dewasa kebanggaanmu itu dan melemparnya ke tong sampah."
Namjoon menunjukkan cengiran kaku. Hoseok mendengus, memutuskan keluar dari kamar Namjoon yang bernuansa abu-abu. Yoongi bangkit dengan gestur malas, mengikuti langkah sahabatnya. Di ambang pintu, Yoongi berhenti. Tangan Namjoon yang hendak menyendok bubur jadi menggantung, dia menatap Yoongi dengan tatapan meminta penjelasan.
"Aku tahu kau masih mengingatnya. Jika kau keluar lagi di tengah hujan, akan kupastikan mengunci kamarmu tiap kali hujan turun."
Namjoon membiarkan punggung Yoongi menghilang disusul pintu yang menutup pelan. Namjoon menelan buburnya dengan susah payah. Tiba-tiba, bubur buatan Hoseok terasa lebih asin dari biasanya.
Satu nama terngiang di telinganya tanpa henti.
Min Ah Yeong.
☔
Namjoon pertama kali bicara dengan Ah Yeong ketika hujan turun. Namjoon sedang berteduh di bawah naungan halte yang sempit, berdesakan dengan beberapa orang lainnya. Dua siswa berseragam SMP, seorang karyawati kantoran, seorang wanita muda dan dua anaknya yang berisik, dan sepasang mahasiswa yang tengah sibuk menggosipkan dosen mereka. Namjoon merasa jengkel dan kesepian, menyesal tidak mengikuti ajakan Hoseok untuk pulang lebih cepat. Lagipula, jahat sekali pemuda itu tidak mau menunggunya yang dipanggil Pak Guru Oh.
Sialan, Jung Hoseok. Namjoon akan memastikan dia tidak membiarkan Hoseok mengintip tugas sejarah kali ini. Biar saja pemuda itu kebingungan dan berakhir dimarahi, malah lebih bagus kalau Hoseok diberi hukuman oleh guru mereka yang galak itu.
"Permisi, bisa geser sedikit?"
Acara merutuki Hoseok (dalam hati) terganggu begitu suara lembut menyapa indra pendengarannya. Namjoon menoleh, menemukan seorang siswi berseragam SMU tempatnya bersekolah menatapnya dengan kedua matanya yang berbinar. Oh, Min Ah Yeong, sepupu Min Yoongi, seniornya yang luar biasa cuek itu.
Min Ah Yeong, gadis yang akhir-akhir ini selalu Namjoon perhatikan dalam diam.
Namjoon mengangguk kikuk, bergeser agar gadis di sampingnya bisa punya tempat untuk berteduh. Selama beberapa saat, mereka saling terdiam. Namjoon terlalu bingung untuk mencari bahan pembicaraan sementara gadis di sampingnya sibuk menadahkan tangan, menikmati tetes hujan yang tertampung di atas telapak tangan mungilnya.
"Kau suka hujan?" Namjoon bertanya setelah pemikiran panjang mencari topik pembicaraan. Suaranya agak keras dari biasanya, berusaha mengalahkan bunyi hujan yang berisik.
Ah Yeong menoleh, senyum tipis yang merekah di wajahnya membuat Namjoon terpana. "Aku suka hujan, aku selalu berharap setiap hari hujan akan turun."
"Well, itu akan sangat merepotkan." Namjoon bergumam tidak setuju. Dia merutuki mulutnya yang terlalu cepat berkomentar. "Maksudku, hujan akan membuat banyak orang kerepotan dan basah. Itu menyebalkan, kadang-kadang."
Ah Yeong tertawa. Tawanya yang renyah membuat Namjoon gemas ingin merekamnya, menjadikannya pengganti bunyi berisik jam bekernya.
"Kau tahu, hujan bisa jadi teman." Ah Yeong menjelaskan dengan nada tenang. Pandangannya fokus pada hujan yang turun deras di depan mereka. "Lagipula, ada banyak hal yang bisa dinikmati dari hujan. Harum petrikor, misalnya."
"Pertrikor?" Otak Namjoon memproses kata barusan dengan cepat. "Maksudmu, aroma alami yang dihasilkan saat hujan turun di atas tanah yang kering? Smell after rain, huh?"
"Seperti yang diharapkan dari Tuan Jenius Kim Namjoon." Ah Yeong menoleh pada Namjoon dan memamerkan senyuman manisnya. "Aroma petrikor sangat memikat, bukan?"
Namjoon pulih dari kekagumannya begitu Ah Yeong mengerjap bingung karena diamnya. "Aku tidak tahu kalau kau mengenalku," katanya mencari topik lain.
"Tidak mungkin aku tidak mengenal murid terpintar di angkatanku."
Namjoon sering dipuji karena otak jeniusnya, tapi pujian Ah Yeong membuat kedua pipinya merona. "Rasanya menyenangkan karena seorang pianis berbakat mengenalku."
Ah Yeong tertawa dengan cara Namjoon memuji dirinya.
Secepat hujan yang turun tanpa permisi, Namjoon mengakui kalau hatinya telah jatuh pada gadis di sampingnya. Hubungan di antara mereka mengalir seperti tetes hujan yang meluncur turun dari atap yang miring.
☔
Namjoon pertama kali membentak Ah Yeong di kala hujan, ketika gadis itu dengan bodohnya membiarkan dirinya basah kuyup sementara hujan turun dengan deras.
"Apa yang kau lakukan!" Suara Namjoon memekik dalam intonasi tinggi. Dia menarik Ah Yeong dari hujan, membawanya berteduh ke halte terdekat.
"Nam-"
"Diam sebentar." Namjoon menyahut dingin, berbanding terbalik dengan sikap hangatnya, melepas jaket yang dikenakannya dan menyelimuti pundak dan punggung rapuh Ah Yeong.
Ah Yeong tersenyum, berterima kasih karena Namjoon masih mau menahan emosinya dan tidak mencecarnya dengan pertanyaan yang terlalu banyak.
"Terima kasih," katanya saat kedua tangan mungilnya yang mengigil digenggam Namjoon. Mereka berdiri berhadapan dengan tangan Namjoon yang memberinya kehangatan. "Dan maaf."
"Jangan katakan apa pun." Jemari Namjoon bergerak menghapus air mata dari pipi gadis di depannya. "Kau membuatku sangat khawatir, tahu?"
Ah Yeong tertawa renyah. Saat tawanya berhenti, kedua mata bundarnya menatap Namjoon dengan pandangan lembut. "Kau tahu kenapa aku sangat suka hujan?"
"Petrikor?"
"Ya, itu salah satunya." Ah Yeong mengalihkan pandangannya dari Namjoon, melirik jalanan yang masih diguyur hujan. "Saat hujan membasahi tubuhku, aku merasa seperti punya seorang teman. Seperti ada yang mengetuk jendelaku dan bertanya bagaimana kehidupanku. Seperti kau."
Namjoon bingung saat dirinya disamakan dengan bulir-bulir air yang banyak membuat repot itu. "Maksudnya bagaimana?" tanyanya tak mengerti.
Ah Yeong menoleh padanya dan tertawa. "Bagiku kau seperti itu, Joon. Kau seperti teman terbaik yang selalu ada untukku tanpa banyak bertanya."
Namjoon terkesiap. Bukan karena kata-kata manis Ah Yeong yang secara tidak langsung mengatakan dia bersyukur dengan kehadiran Namjoon, tapi karena darah yang mengalir dari hidung gadis itu. Namjoon merasa kepalanya pening, benaknya disusupi rasa khawatir yang hebat. Namjoon benci otaknya yang cepat berpikir.
Karena dia mengetahui alasan gadis itu selalu menghindarinya akhir-akhir ini.
Ah Yeong juga meninggalkan Namjoon di kala hujan. Namjoon masih ingat kenangan pahit itu. Sore hari, seragam SMU milikinya basah kuyup dan melekat pada tubuhnya, membuat lekukan tubuhnya tercetak jelas. Namjoon berdiri di depan rumah duka, mendongak menatap hujan yang turun. Namjoon tertawa, tawanya kering dan kalah oleh hujan yang mengalir deras.
Sebuah payung hitam menaunginya dari hujan. Namjoon menoleh pada Hoseok yang tersenyum sedih. Temannya itu memakai seragam yang sama dengannya, gagal menyembunyikan air matanya. Sungguh, Hoseok bisa melihat bulir air mata di pipi sahabatnya. Tak ayal, hatinya terasa dicabik dan berdenyut nyeri. Hoseok tidak sanggup melihat sisi menyedihkan dari temannya yang terkenal jenius itu.
Namjoon tengah menangis, hatinya patah dan berserakan.
Dia kehilangan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top