; Yet, Another Summer Comes to an End

Yet, Another Summer Comes to an End

Written by mayandreals

— 🥀—

Because I currently have no character to ship to, nothing to be cried upon but two characters only: Amy and Elma. (Clue: They are two characters featured on many of Yorushika's Music videos) so, they are not in any Anime or Manga.

Maybe I could suggest you guys to listen to the songs to grasp what is going on. Also, since it came from a song there is no canon thingy of their ages, stories, and.... Things. I was thinking, why don't I try making(?) how Elma would feel based on the songs, diary entries, and theories that had been speculating around.

But, note that there are some references from the songs and quoted words from Elma's diary.

So, yeah, I will try to stick to the theories and timeline of these characters without making it much more confusing, because, well. I love them.

And I hope you all would too
(Please listen to Yorushika, I swear it's WORTH it.)

— 🥀—

Pada akhir musim panas, suara cicada terdengar nyaring di seluruh jalan. Cahaya matahari menusuk-nusuk mata, menyala terang bahkan tanpa harus dipantulkan lewat cermin.

Musim panas hampir berakhir. Tapi langit masih berwarna biru saat aku mendongakkan kepala, biru yang sama seperti biru langit jika dilihat dari halte bus tempat kita biasa menunggu. Awan masih menggumpal dengan rapi. Suasana musim Panas di Stockholm sangat berbeda dengan di Jepang.

Aku menatap kotak berisi kertas-kertas surat di pangkuanku. Walaupun di dalam surat-suratmu, sepertinya tidak bosan kamu menceritakan soal kekosongan. Tapi sampai sekarang aku masih belum paham, kosong apa yang sebenarnya kamu lihat? Selama ini aku hanya mencontoh caramu hidup, aku ingin tahu apa yang ada di dalam benak kepalamu yang sepertinya dipenuhi beribu-ribu pikiran tanpa jalan keluar.

Di dalam surat-suratmu, semua tulisan lagumu, kenapa aku tidak pernah menemukan kebahagiaan?

Suara deburan ombak di pantai menemaniku sembari aku berjalan turun ke dermaga. Turis-turis berkulit putih dengan mata cerah saling potret dan berpose ria. Mereka datang kesini untuk liburan dan bersenang-senang. Tidak sepertiku, tidak sepertimu, Amy.

Mereka datang untuk bercerita, minum bir sampai mabuk, menari-nari, tertawa.

Kamu datang untuk mencari arti musik, berujung mengakhiri hidupmu sendiri.

Dan aku datang untuk menyusulmu, berujung perlahan ingin melupakanmu.

— 🥀—

Rasanya aku sudah berjalan cukup jauh, Amy. Setelah ini aku tidak tahu lagi kemana aku harus pergi. Aku menyusulmu ke Swedia untukmu, lagumu, bahkan dengan fakta bahwa kau sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Aku berhenti melangkah, menatap deburan ombak yang menghantam bibir pantai. Tidak seperti Amy, aku rasa aku belum ingin mati. Bagiku mati saat ini rasanya tidak ada gunanya. Tapi Amy sangat menyukai kata "tidak ada gunanya.". Dia juga suka menuliskannya, sampai-sampai menjadi tidak normal. Rasanya dia seperti berusaha untuk menyingkirkan semua hal yang menurutnya tidak berguna.

Hingga saat ini aku masih tidak tahu. Bagiku tidak berguna adalah hal yang bermacam-macam, namun jarang aku gunakan. Tapi bagi Amy tidak berguna seperti hal yang biasa dia temui dalam hidupnya sehari-hari.

Dalam diam aku mencoba membayangkan melodi yang akan dia tulis, biasanya Amy akan menuliskannya nada demi nada. Entah kenapa Amy selalu punya cara khusus untuk satu hal. Seperti menulis lagu, walaupun dia menuliskan konsepnya dalam kertas, dia akan memindahkannya ke buku catatan, Amy akan berkata itu untuk memudahkannya dan membuang bagian-bagian yang tidak berguna. Walau begitu, setiap kali aku melihat ke dalam buku catatannya, isinya juga tidak lebih dari tempelan post it. Kalau begitu, apanya yang tidak berguna?

Daripada meninggalkan kenangan dan menghilang, daripada meninggalkan kota itu - jika kita melarikan diri bersama, Amy, aku akan pergi ke mana pun bersamamu.

Aku akan membuang segalanya. Bahkan jika suatu hari akhir itu tiba, itu masih lebih baik daripada kenyataan dimana kita tidak punya apa-apa. Di suatu tempat yang jauh, kami akan melupakan segala sesuatunya - bahkan musik. Bahkan jika kita miskin, kita akan menemukan pekerjaan entah bagaimana caranya. Bahkan tempat yang kumuh pun akan baik-baik saja - kita akan menemukan kehidupan bersama, menemukan hati kita lagi. Kalau kita bersama, semua akan baik-baik saja.

Sungguh hanya itu.... Hanya dengan itu, aku......

— 🥀—

Deburan ombak laut dan suara camar. Aku sia-sia menunggu di tepi hanya untuk mendapatkan suara angin. Mau dicari kemana pun, Amy sudah tidak ada. Yang tersisa darinya hanyalah kotak surat berisi surat, yang ia kirimkan ke alamat nenek. Satu-satunya alamat yang ia ketahui.

Tidak tahu harus ke mana, aku putuskan untuk istirahat sejenak di kedai kopi. Saat aku menunggu di kedai kopi dengan Kapucino, hujan turun dengan lebat, dan aku tidak bisa lagi pergi kemana-mana. Aku terjebak, sendiri, bersama satu orang pegawai yang menonton televisi dengan suara redam dan bahasa yang tidak aku ketahui.

Hujan mengingatkanku banyak tentangnya. Dulu, tak jauh dari stasiun, ada aula yang terbuka untuk umum dengan piano kecil tegak. Aku dan Amy, saat hujan, sering bermain di sana. Karena Aula itu memang sudah tidak populer sejak awal, tentu saja menjadi jauh lebih pada hari-hari hujan

Suasana aula yang sepi membuat kami merasa seperti menyewanya. Terbawa dalam gaung, Liszt yang dimainkannya terdengar seperti hujan yang turun.

— 🥀—

Bangku kosong di depanku seolah menertawakan. Dahulu kita bisa saling bercengkrama dan tertawa di kedai kopi sekitar Sekimachi, dan sekarang yang tersisa darimu tidaklah lebih dari tulisan dan tinta. Rasanya baru kemarin, kamu yang menelusuri jejak air hujan yang menetes dari jendela dengan ujung jarinya, sambil membelai buku harian di tanganmu.

Asap dari Kapucino perlahan menipis seiring berjalannya waktu. Aku tidak kunjung menyentuhnya, pun, rasanya aku tidak mau. Hujan dan Kapucino adalah perpaduan aneh yang entah kenapa membuatku suntuk. Aku biarkan Kapucino di hadapanku mendingin, membiarkan isi kepalaku terlepas bebas layaknya awan-awan di langit cerah tadi.

Sebenarnya aku ingin kamu mengatakan kepadaku tentang apa yang ada di kepalamu. Dengan jelas, dengan yakin, dengan tulus. Aku ingin tahu, aku ingin kamu tahu kalau aku ini ada untukmu.

Rasanya berat sekali, Amy.

Mengetahui fakta bahwa aku akan sendiri. Bahwa jika aku mati nanti, kamu tidak akan ada di sini. Bahwa setelah ini tidak ada lagi temanku untuk bercengkrama, berbagi cerita, atau senyum manis di wajahmu yang entah kenapa semakin buyar di ingatanku.

Kalau kamu bilang lubang di dadamu itu karena penyakit, bagaimana denganku? Rasanya kosong sekali, seperti ada void besar yang tidak bisa terisi.

Amy, kamu bilang kamu ingin menjadi musisi terkenal. Tapi kenapa kamu menyerah begitu saja? Aku tidak peduli jika hidupmu sudah 0 dari dulu. Seharusnya sekarang kamu masih bersama denganku. Kembali ke Sekimachi, menulis lirik bersama-sama dengan secangkir Kapucino, apa saja boleh.

Tapi tentu hal itu tidak bisa terjadi. Aku tahu. Mau segiat apa aku memohon kepada Tuhan, yang kau katakan tinggal dalam jari-jariku ini, aku tahu, aku tahu aku tidak bisa membawamu kembali.

Pada akhir musim panas tahun pertama tanpamu, disertai hujan hebat di luar kedai kopi. Aku terduduk diam, sendiri, dengan Kapucino yang sudah kehilangan asap sepenuhnya, perlahan mendingin menyesuai suhu kedai tanpa warna ini. Sama saat aku pertama kali bertemu dengannya.

Di atas meja bundar dari kayu di depannya, ada piring kecil berisi cangkir kapucino⁠— uapnya menghilang. Saya bisa membayangkan bahwa cangkir itu sudah cukup lama berada di sana hingga benar-benar dingin. Cangkir itu digeser ke samping untuk memberi ruang bagi selembar kertas lepas, yang ujungnya ditahan dengan penghapus.

Matanya terus menghadap ke bawah. Pandangannya tetap tertuju pada kertas sambil mengetuk meja dengan ujung pensilnya. Baginya, seakan-akan seluruh kebenaran dunia tertulis di satu halaman itu. Kemudian - seolah mengingat - ia akan menggerakkan pensilnya di atas kertas sebelum menarik napas, dan kembali menatap tajam kata-kata di hadapannya.

Di kursi yang agak jauh darinya, aku merasa bosan menelusuri pola meja kayu dengan jariku. Hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, dan tas yang kubawa tidak berisi apa-apa yang dapat kugunakan untuk menghabiskan waktu.

Tanpa sadar aku memperhatikannya yang terus menulis dalam waktu yang lama sebelum akhirnya meletakkan pensilnya. Karena tertarik, aku memperhatikannya secara lekat dari penglihatan tepi.

Aku bertemu Amy di teras kafe, diiringi suara rintik hujan.

F I N N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #pungudevent