; Petals
di bawah hujan,
kelopak bunga berguguran.
setiap rintik berbisik,
mengatakan semua 'kan membaik
hangatnya kabut
lantas memeluk lembut
[ Akutagawa Ryuunosuke × OC ]
Bungou Stray Dogs © Asagiri Kafka & Harukawa Sango
"Lautnya cantik, iya 'kan?"
Warn!
- OOC
- Typo sewaktu-waktu
- Light bloody content
- Angst 4 Life
azure_lullaby
─── ・ 。゚☆: *. 🌧 .* :☆゚. ───
Bertahun-tahun yang lalu, kala lampu-lampu menjadi bintang di bawah hujan, menciptakan refleksi yang kemudian terpecah di setiap langkah berpijak. Pohon-pohon hingga tiang listrik, berdiri di samping jalanan, meneteskan air yang sempat bertengger, ikut memecahkan refleksi bintang-bintang buatan yang dibayangi kegelapan.
Bertahun-tahun yang lalu, sepasang kaki melangkah lambat, lalu berhenti, menjeda lambaian rambut gelap pendek di bawah cahaya kekuningan. Sebelum akhirnya, jarak kedua kakinya kembali menjauh, berjalan pelan tanpa suara, tersembunyi di antara suara kerumunan dalam ramainya Yokohama.
Satu langkah, dua langkah. Hingga akhirnya, gadis itu sampai di bawah satu pohon, rambutnya yang sudah basah ditetesi air dari dedaunan di atas sana. Dedaunan yang menjadi atap sementara bagi sosok di hadapannya. Sosok ringkih berbaju compang-camping, tubuhnya begitu kecil, kurus tak terurus. Menciptakan iba bagi siapapun yang melihat pemandangan itu.
Kelopak mata anak itu tertutup, seolah mati dan hanya menunggu para belatung untuk menggerogoti daging serta tulangnya. Tak sedikitpun gerakan yang dibuat oleh sosok berambut hitam tersebut.
Melihat itu, Yukiko mundur. Berniat meninggalkan figur yang lebih pantas disebut jasad. Mengubur mayat bukanlah cita-cita atau bahkan pekerjaannya.
Akan tetapi, tepat sebelum kakinya mundur lebih jauh, manik gelapnya menangkap satu hal.
Dada anak itu bergerak. Ia masih hidup.
Lantas, Yukiko kembali maju, secara pelan meletakkan sebungkus roti di samping sosok ringkih dengan mata tertutup tersebut. Setelah itu tanpa buang waktu, Yukiko berlari kecil, menjauh, tenggelam dalam kerumunan malam.
Di bawah hujan, Akutagawa Ryuunosuke menangkap pemandangan itu. Helaian gelap yang membingkai manik delima, bergoyang setiap hentakan kaki hingga akhirnya menghilang.
─── ・ 。゚☆: *. 🌧 .* :☆゚. ───
"Flowers Under The Rain"
Sebuah kemampuan supranatural yang sempat diburu oleh Port Mafia. Bawa hidup-hidup atau bunuh; adalah dua pilihan tanpa jalan tengah. Tidak ada yang tahu bagaimana kemampuan itu bekerja hingga belasan dari anggota mafia mati ─dengan luka paling sederhana─ tersenyum seolah sedang disambut oleh surga.
Akutagawa mendengkus mengingat kabar itu. Pengguna kemampuan supranatural yang disebut-sebut bisa menyusup dan membahayakan sang Bos dari Port Mafia nyatanya mudah untuk diakhiri hidupnya. Belum sempat orang itu menggunakan kemampuannya, Rashomon telah mengikat tubuh pengguna kemampuan tersebut dan menusuk-nusuk kumpulan daging serta tulang hingga tak berbentuk lagi.
Mungkin, orang-orang yang jadi korban memang selemah itu. Rasanya cukup konyol mengingat bahwa ia ditugaskan dengan tugas remeh seperti ini. Mengetahui bahwa
seorang Akutagawa Ryuunosuke sudah lebih handal selama tahun-tahun berlalu. Meskipun tentu saja, bagi seorang remaja yang telah menginjak usia 18 tahun, semua itu tidak cukup jika belum mendapatkan pengakuan yang dia impi-impikan.
Cukup lama ia berfikir, tenggelam dalam bayangan serta untaian pertanyaan yang tak kunjung berakhir.
Hingga akhirnya, sebuah suara menggema dalam hening, diikuti bersama bunyi gesekan kertas satu dengan yang lainnya. Hal tersebut membuat Akutagawa menoleh sedikit, mendapati pemandangan seorang perempuan yang tengah kewalahan mengatasi kumpulan kertas yang kini ternodai oleh genangan hujan. Tak lupa dengan helaan nafas juga gerakan terburu-buru dalam mengumpulkan semua kertas kembali pada dekapan lengannya.
Gadis itu lagi.
Bukan urusannya. Ia lantas kembali berjalan dengan kedua tangan dalam saku, melangkah ringan. Seperti hari-hari
sebelumnya, si Gadis-Itu-Lagi juga ikut berjalan di belakangnya, langkahnya seolah berusaha mengejar Akutagawa meski dengan jarak 3 meter di belakang.
Membunuhnya bukan pilihan yang buruk, namun tetap tidak berguna. Lagipula, kehadiran sosok itu tidak menganggu sama sekali bagi Akutagawa. Ia tak berbicara, tak pula berusaha mendekatinya. Untuk tujuan gadis tersebut ... tidak ada yang spesial.
Beberapa meter terlewati, perempuan itu berbelok, menaiki tangga di dalam gerbang sebuah rumah susun. Gema suara besi yang beradu dengan sepatu sudah cukup untuk menandakan bahwa orang yang ada di belakangnya sudah tidak ada.
Akutagawa Ryuunosuke tak sebaik itu untuk berfikir positif. Sudah berkali-kali ia mendapati manusia pendek tersebut berjalan di belakangnya setelah jam kerja selesai. Sempat ia berniat untuk menghabisinya saat itu juga. Namun, kala dia menoleh, gadis tersebut sudah mundur beberapa langkah ─tapi tidak kabur─.
Membingungkan. Orang yang secara sengaja berjalan di belakangnya itu membingungkan sampai berujung pada Akutagawa membiarkan niat itu untuk mengapung di udara. Sudah 2 minggu berlalu sejak lelaki itu membiarkan sang gadis berjalan di belakangnya.
Dipercayai sebanyak ini ... rasanya sangat asing. Seperti sebuah mimpi tak terduga yang akan berakhir di ujung malam.
Takdir nyatanya memang aneh. Bagai buku kosong yang akan mengubah segalanya dengan satu coretan. Andaikan pena itu tak bergerak untuk menuliskan paru-paru yang hampir mencapai batas di tengah gelap, mungkin ... sebuah tepukan lembut di atas punggung serta secangkir teh hangat tak akan pernah menyambut.
─── ・ 。゚☆: *. 🌧 .* :☆゚. ───
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Hening itu pecah seketika, diikuti asap yang mengepul di bawah salju kala lelaki bersurai hitam berhenti meneguk teh berbau mawar yang baru keluar dari termos. Manik kelabunya bergeser ke samping, menatap sebuah figur berjaket merah dengan helaian gelap kebiruan membingkai wajahnya. Bola mata berwarna delima tertuju padanya tanpa rasa takut.
Akutagawa tak mengubah ekspresinya, ia kembali meneguk teh hangat tersebut. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
Yukiko tersenyum, ia sandarkan bahunya pada tiang gerbang. "Yah, rambutmu cukup unik. Tidak mungkin aku melupakan rambut seperti itu jika aku pernah melihatnya."
"Begitu."
Jawaban singkat, tipikal Akutagawa. Yukiko sendiri masih tersenyum, seolah ia sudah terbiasa dengan respons seperti itu. Di sisi lain, tangan Akutagawa terangkat, menyodorkan cangkir termos yang sudah kosong. Yukiko dengan cepat menerimanya, meletakkan benda itu kembali ke atas termos berisi cairan hangat berwarna kemerahan.
"Ngomong-ngomong, aku dengar mawar putih lebih enak untuk dijadikan teh," ujar gadis itu, memutar tutup termos dengan lebih kuat.
Akutagawa bergumam sebagai respons, menunggu perkataan selanjutnya.
"Sayang sekali menumbuhkannya cukup sulit. Merawat yang merah saja harus pontang-panting supaya tidak mati."
"Lalu, kenapa kau masih merawatnya?" Akutagawa bertanya.
"Karena cantik!"
Lelaki bersurai hitam mengerutkan kening, tak habis pikir dengan jawaban spontan yang bahkan tidak serius. "Hanya itu?"
Yukiko tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan tersebut. Salah satu kakinya menendang tumpukan salju di samping tiang, melemparnya pada tempat yang tak
tergapai cahaya lampu. "Hmm, kalau Akutagawa-san bertanya alasan yang lain ...," dia menjeda perkataannya, membalikkan tubuh lalu mencondongkan bagian atas ke depan. Seutas senyum penuh arti terlukis di atas wajahnya. "... itu supaya aku bisa membuat teh, lalu kita bisa berbicara lebih sering di luar sini."
Hening. Lidah Akutagawa kelu untuk mengucap barang satu patah kata. Garis mata tajamnya melebar, keningnya semakin berkerut sebelum akhirnya membuang muka.
Lagi-lagi, ia tak habis pikir. Kian hari, bulan berlalu, sampai akhirnya mereka saling mengenal sejauh ini, Yukiko semakin berani dengan perkataannya. Seolah-olah Akutagawa bukanlah seorang anggota mafia yang dapat mencekiknya kapanpun dia mau. Dan senyum sialan itu, Akutagawa mengutuk garis halus yang dibentuk oleh sepasang bibir yang dibingkai surai gelap.
"Ah, sudah jam sepuluh. Aku masih punya pekerjaan." Suara familiar itu menggema, diikuti dengan bunyi antara partikel salju bersama sepatu terseret di atas tanah sedikit menjauh.
Akutagawa menoleh cepat, mendapati Yukiko telah beberapa langkah lebih jauh darinya, bersiap kembali pada kamar sewaan dekat sana. Kelereng kelabunya menangkap lambaian tangan penuh keceriaan, sebuah salam perpisahan sementara diikuti ucapan 'sampai jumpa'.
Sedangkan ia sendiri masih berdiri disana, menatap punggung Yukiko ditelan oleh pintu, masih dengan kutukan tak terucap tentang senyuman yang akan selalu terpatri dalam memori.
Sungguh, Akutagawa mengutuk senyuman yang mulai sering terlukis itu beserta dirinya sendiri. Ia juga mengutuk ketidakadilan yang terjadi padanya saat ini.
Rasanya memang tidak adil jika Yukiko tiba-tiba melengos pergi setelah mengatakan hal-hal semacam itu. Meninggalkan Akutagawa dengan kesimpulan konyol.
Tomozaki Yukiko adalah pembawa penyakit bagi Akutagawa Ryuunosuke. Alasannya sederhana, sebuah tangan meremas jantungnya di setiap detik mereka bertemu. Lebih sialnya lagi, Akutagawa sedikit menyukai perasaan tersebut.
─── ・ 。゚☆: *. 🌧 .* :☆゚. ───
"Kau tidak takut padaku?"
Pertanyaan itu sontak membuat seorang wanita berusia sekitar 20 tahun menoleh dengan cepat, hampir menumpahkan teh berwarna kemerahan yang ada dalam genggaman jarinya.
Takut? Sebuah pertanyaan baru. Tak ia sangka hal itu akan keluar dari bibir seorang Akutagawa. Pria itu bukan seorang yang akan menanyakan sebuah hal yang terlihat jelas. Apa yang dia lihat adalah apa yang dia percaya. Sudah lebih dari dua tahun Yukiko mengenalnya.
Wanita itu mengangkat bahu, kedua kakinya melangkah mendekat pada meja kecil di samping tempat tidur. Ia letakkan cangkir teh di depan Akutagawa sebelum akhirnya duduk bersebrangan di atas lantai kayu. Seutas senyum terpatri di antara helaian biru gelapnya yang terjatuh kala
kepala ia miringkan, bersandar pada kedua telapak tangan. "Kau bertanya pada waktu apa? Dulu, sekarang, atau suatu saat nanti? Kalau soal dulu ... itu dulu yang duluuu sekali atau dulu di tengah atau dulu yang di akhir?"
"Yukiko." Pria di hadapannya menatap datar tanpa ekspresi, nadanya tegas. Tatapan yang hampir bisa disebut lembut itu kini berubah menjadi kalimat tersirat yang berkata, 'Aku serius.'
Menyadari hal tersebut, Yukiko tertawa ringan. Cukup menyenangkan untuk menggoda Akutagawa yang terkenal dingin ini. Ia gelengkan kepalanya sembari menghela nafas, berusaha untuk serius barang satu menit saja.
Yukiko menarik diri, meregangkan tubuhnya setelah lama berkutat di atas meja belajar. "Siapa yang tidak akan takut padamu, sih, Tuan Mafia?" celetuknya tanpa menahan diri sebelum melanjutkan, "Kalau Ryuu-kun bertanya sekarang, tentu saja aku tidak takut. Kalau aku takut, tidak mungkin aku mau mengobrol denganmu di sisi jalan."
Mendengar itu, Akutagawa memutar bola matanya. Dia akui, itu benar. Siapa yang tidak akan takut padanya?
Pembunuh terkenal tanpa rasa penyesalan, entah itu bagi para dewasa, remaja, atau anak-anak.
Namun sungguh, bisakah wanita ini sedikit menambahkan nada serius dalam suaranya? Terkadang, ia sendiri heran kenapa bisa berakhir menjalin hubungan dengan makhluk satu ini.
Lelaki itu meneguk teh yang ada di depan. Sebelum berikutnya berkata lagi, "Tidak ada orang dengan sekrup kepala selonggar dirimu yang memberi minum pada seorang kriminal. Di tengah jalan gelap, dan tidak ada siapapun di sekitar."
"Satu-satunya hal terburuk yang bisa terjadi yaitu kau membunuhku." Yukiko mengangkat bahu, mengistirahatkan seluruh berat tubuhnya ke atas meja. Rambutnya terjatuh menghalangi wajah kala tubuh bagian atas bersandar sepenuhnya pada meja mereka.
Tanpa sadar, Akutagawa mengangkat satu tangan, meraih beberapa helai rambut gelap di atas meja. "Padahal kau bisa meninggalkanku saja saat itu."
"Kalau begitu, kita tidak akan sampai sini."
"Iya, memang."
"Tidak mau."
"Kenapa juga kau harus memberiku teh saat itu?" Akutagawa menghela nafas, tangannya masih berkutat dengan helaian halus dari sang empu.
"Aku sedang tidak punya air putih." Yukiko menjawab dengan asal, masih menelungkupkan kepala di dalam lengannya.
Hening, lelaki itu diam seketika. Namun, tuntutannya akan jawaban yang lebih serius menyebar di udara dengan hening yang berat, menghasilkan Yukiko yang menghela napas dan akhirnya mengangkat tubuh dari meja.
"Aku hanya ingin melakukannya tanpa alasan. Apa itu tidak cukup?"
Itu tidak cukup, namun Akutagawa mengubur pertanyaan itu. Tidak ada gunanya. Dia tak akan pernah mengerti
dengan cara berfikir wanita satu ini. Lagipula, hal itu bukan masalah lagi. Yukiko tak lagi bergetar hampir lemas ketika ia menoleh. Jangankan begitu, ratusan kata tajam tanpa filter sudah tertuju pada Yukiko, namun wanita tersebut masih bertahan hingga sejauh ini.
Seolah Akutagawa Ryuunosuke hanyalah Akutagawa Ryuunosuke. Seolah tak peduli apapun profesinya, seolah dunianya yang gelap tak pernah ada. Di tempat ini, di bawah tatapan Tomozaki Yukiko.
Ia tak akan pernah tahu apa yang membuat Yukiko berjalan di belakangnya, menyelaraskan langkah demi langkah dalam jarak yang tak dekat namun tak jauh. Ia tak akan pernah tahu mengapa Yukiko memberinya tatapan yang sama. Sebuah tatapan dari tahun-tahun yang lalu, tatapan yang ia ingat dengan samar, kelereng delima yang bukan menunjukkan rasa kasihan.
Akutagawa tak tahu harus bagaimana dia harus mendeskripsikan mata itu dalam pikirannya.
"Satu-satunya hal terburuk yang bisa kau lakukan adalah membunuhku."
Andai jiwanya mengizinkan, Akutagawa Ryuunosuke ingin bertanya, bisakah dia membunuh seseorang yang juga terlihat kurus tak terurus saat itu namun masih menyempatkan memberikan sepotong roti sebelum berlari?
─── ・ 。゚☆: *. 🌧 .* :☆゚. ───
Jingga melukis kanvas raksasa, mewarnai latar belakang dari para burung yang menyanyikan lagu selamat malam, bagai menceritakan keberadaannya. Mentari tenggelam menyampaikan sampai jumpa, membiarkan gelap untuk mulai menaungi bumi. Hampir seperti alam selalu mengerti.
Satu per satu, tetes air jatuh, pecah kala bertemu tanah, kembali pada bumi tempatnya berasal. Angin pun ikut bernyanyi sendu, seolah mengejek bagaimana semua yang diinginkan -atau bahkan dibutuhkan- hanya berlalu lalang tanpa bisa digenggam.
Bukankah itu memang salahnya karena tak cukup kuat?
Atau mungkin hanya dunia ini saja yang senang melihatnya berdiri dalam kegelapan?
Tapi kegelapan itu sendiri akan terasa indah jika seandainya ... seandainya saja, harapan itu tak seperti ilusi berupa cahaya dengan bentuk kata pengakuan.
"Ryuu-kun, lautnya cantik, 'kan?"
Suara itu memecah keheningan, bersama benang kusut tak berujung di dalam jiwa. Kelereng kelabunya terangkat, menatap figur yang surai panjangnya melambai mengikuti angin dengan sempurna. Menatap bagaimana kelopak mata itu tertutup diterpa udara laut. Merasakan bagaimana kelingking mereka tertaut, erat menggenggam tak ingin melepaskan.
Seolah ini adalah perpisahan.
Akutagawa menggeleng pelan, mengusir pikiran buruk yang entah darimana mulai menghantui. Ia tak ingat
kenapa mereka bisa berakhir di sini, di sisi laut, menatap ombaknya yang kelabu dengan rintik hujan yang mulai mengelilingi.
Entahlah, dia tak mau berfikir buruk. Bukankah tidak adil bagi Yukiko jika ia terus tenggelam dalam deritanya sendiri?
Akutagawa bukan orang yang baik. Kata itu adalah kata terkutuk untuk disandingkan dengan namanya. Namun di tempat ini saja, di bawah manik delima Yukiko, ia tak ingin tenggelam dalam derita berkepanjangan.
Biarkan ia menerima sedikit dari hal yang tidak mungkin, ketika seseorang akhirnya mengatakan bahwa ia pantas dicintai. Biarkan ia meraih satu hal yang ada dalam bunga tidur, ketika seseorang akhirnya berbisik bahwa dia berarti.
Walau Akutagawa tak pernah mengerti kenapa wanita satu ini tak kunjung pergi.
"Lautnya cantik. Iya, 'kan?" Yukiko mengulangi, jemarinya semakin kuat menggenggam tangan Akutagawa.
Pria tersebut menghentikan lamunannya, menoleh pada lautan di bawah langit jingga yang mulai menangis. Ia mengangguk, bergumam sebagai jawaban akan penyataan Yukiko.
Sebuah perpaduan langka, ketika mentari dan hujan bersatu membentuk pelangi.
Akutagawa tersenyum tipis, juga pahit, menyadari sesuatu. Ia kembali bergumam, "Begitu rupanya. Aku akui, ini kemampuan yang hebat."
Satu gerakan, sebilah kain berwarna hitam bergerak cepat, menggesek ke atas, lalu membelah tubuh sosok wanita yang menggenggam tangannya menjadi dua. Tubuh yang terbagi dua itu jatuh lemas dalam genangan darah di atas pasir. Sebelum akhirnya, berubah menjadi setumpuk kelopak bunga dan tertiup angin bagai tak pernah ada.
Pasir jingga juga lautan kelabu mengikuti arah 'Yukiko' terbang menjadi hamparan kelopak bunga yang terbang, menghilang ditelan udara.
Akutagawa mendengkus, mundur ke belakang dari serangan belati yang hampir menusuk dadanya. Sang pelaku melebarkan mata, menyadari bahwa serangannya gagal. "Apa yang-!"
"Kau pikir aku sebodoh anggota lain untuk tidak menyadari hal sederhana seperti itu?" Akutagawa menatap bengis, keningnya berkerut. Kain-kain tajam berwarna hitam memanjang dari jasnya, tertuju langsung pada pengguna kemampuan ilusi tersebut.
Orang itu menghindar, berlari lincah secara zig-zag untuk mendekat bersama belati di tangannya. Tepat sebelum benda tajam itu menyentuh wajah Akutagawa, bagian lain dari Rashomon menggeliat keluar dari bawah tanah, menusukkan ujungnya pada perut bagian bawah pengguna kemampuan itu sebelum mengangkatnya lebih tinggi dan menancapkannya pada atap bangunan tua yang mereka tempati.
Orang itu mengerang, darah dari perutnya yang robek bagai hujan merah di malam gelap.
Akutagawa tak mengubah ekspresinya. Nadanya kala berbicara dingin, berat. Ia angkat kepalanya ke atas, seolah menikmati penderitaan yang tengah dialami sang musuh dengan matanya yang kosong.
"Bunga di bawah Hujan. Aku mengerti sekarang." Akutagawa kembali berbicara, mendorong Rashomon lebih dalam kepada atap, memperlebar luka robekan mangsanya. "Kemampuanmu aktif lebih kuat saat hujan, menciptakan mimpi indah seperti bunga untuk semua korbanmu sebelum kau membunuh mereka tanpa mereka sadari. Kemampuan yang hebat. Tapi ...."
Sebuah decihan terdengar, dahi Akutagawa semakin berkerut dibarengi matanya yang dipenuhi kebencian. "Tapi juga pengecut. Hanya untuk berpikir bahwa aku jatuh dalam mimpi yang didasari kesenanganmu itu rasanya menjijikan."
Rashomon kembali mendorong lebih jauh, menggesek organ-organ dalam orang itu dengan kasar dan cepat. Mangsanya berteriak lebih keras, memuntahkan darah yang kemudian terciprat di atas tanah.
Akan tetapi, pemilik ilusi itu tersenyum. Wajahnya yang berlumur darah membuatnya seperti iblis di ambang neraka. Suaranya serak, menanggapi dengan napas tak tentu, "Baiklah, kau hebat bisa menyadari di detik terakhir. Namun, kau salah dalam satu hal."
Akutagawa diam, kembali menggerakkan Rashomon dengan jalur lambat namun dengan lebih banyak penekanan di setiap sisi.
Seolah tak kesakitan, sang Pemilik Ilusi melanjutkan dengan suara yang melemah, "Ilusi itu bisa berupa kemungkinan atau bahkan jawaban atas apa yang sebenarnya kau butuhkan-"
Kalimat itu tak perna menemui akhir. Duri-duri tajam berwarna hitam dengan hiasan darah menyebar dari arah dalam, menusuk setiap bagian tubuh orang itu. Beberapa potongan daging juga tulang terjatuh dari atas sana, menodai tanah berlumut hingga separuh dari sisa daging orang itu menyusul, lemas tak bergerak di atas genangan darahnya sendiri.
Pelaku dari perbuatan keji itu kembali mendecih, membalikkan tubuhnya dari seonggok organ manusia yang telah tak berbentuk di atas cairan merah berbau amis. Lantas, ia berjalan di bawah bulan, meletakkan kedua tangan di dalam saku di antara angin yang bernyanyi.
Berpikir bahwa seseorang bisa menerimanya seperti 'Yukiko', sungguh sebuah lelucon dan cerita yang tak masuk akal.
Akutagawa tak membutuhkan hal seperti itu. Sebuah hal klise yang hanya terjadi dalam bunga tidur, sebuah kabut yang memeluk hangat juga lembut yang pada akhirnya akan hilang tertiup udara. Seperti 'Yukiko' yang ia lihat, berubah menjadi setumpuk kelopak bunga yang menghilang diterbangkan pawana.
Ia tak membutuhkan 'Yukiko'. Apa yang Akutagawa impikan hanya sebuah kalimat sederhana. Empat kata yang bisa dikatakan dengan kebohongan. Sebuah pengakuan bahwa dirinya pantas untuk hidup, dan untuk menjalani setiap langkah dalam dunia yang gelap yang mungkin akan terasa indah.
Seandainya pengakuan tersebut bisa Akutagawa gapai.
End.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top