; Hujan di Jakarta
HWS Indonesia & HWS England [Platonic]
Written by: Kana (krklandzzz_)
2nd and 3rd person POV
Warning ! kurang riset, romantisasi(?), gak jelas dan gak nyambung?? Wkwkwkwk
------------------
“Kau belum pernah mengenal Jakarta. Dalam 23 tahun hidupmu ke belakang, kau mengenal Bali dan Surabaya. Bali sebagai destinasi pemusnah lelah sejenak, dan Surabaya sebagai kota di mana kakekmu dahulu bertugas sebagai tentara Inggris melawan arek-arek Surabaya yang membara. Dahulu kau anggap Jawa sebagai tempat tak lain dari terjadinya pembantaian terduga komunis paling mengerikan yang pernah kau kenal. Kau juga mengetahui tentang orang utan, cenderawasih, Raja Ampat, Lombok, Bandung, hingga Semarang—namun kau belum pernah mengenal Jakarta selain dari namanya saja. Kau mengetahui timah Belitung dan emas Papua, tapi kau tak mengetahui tanah Jakarta. Kau mengetahui ramahnya orang Yogyakarta dan betapa semangatnya orang Batak, namun kau tak mengenal orang Jakarta selain aku. Maka kali ini akan kuperkenalkan secubit kisah Jakarta terhadapmu, kawan berharga.
Dulu Belanda menamainya Batavia. Batavia bersama dengan kota-kota besar dan terpilih lainnya, dipoles sedemikian rupa oleh mereka dengan bangunan-bangunan berasitektur Eropa. Sampai sekarang pun, bangunan-bangunan itu masih ada. Belanda tak mengangkutnya ke Amsterdam. Jadilah benda-benda mati itu sebagai saksi bisu atas kolonialisme yang mengecap kuat di sejarah negeri khatulistiwa ini—bukan hanya Jakarta. Kalau kau sudah jauh-jauh ke Indonesia tetapi masih ingin merasakan sensasi kota Eropa, datanglah ke Jakarta daerah Kota Tua. Mungkin tak sepenuhnya bersensasi Eropa, karena Eropa tak memiliki musim hujan 6 bulan dan musim kemarau 6 bulan. Dan di Indonesia tidak ada salju, kawan—kecuali di puncak Jayapura. Tapi itu di Papua sana.
Sedengarku, Belanda menamainya Batavia karena sukunya; Betawi. Namun sekarang, kau akan menemui orang-orang keturunan China, Arab, Jawa, Betawi, Sunda, Riau, dan orang-orang dari penjuru Indonesia berkumpul di satu kota mencari asa ataupun meniti tujuan. Dan Jakarta sejatinya bukan London. Tidak ada Big Ben atau London Bridge di sana, tetapi kalau kau hendak melihat gedung-gedung tinggi yang mendongakkan leher, maka aku persilahkan. Oh iya, di situ juga ada Monas. Puncaknya berwarna emas, seperti es krim cone. Di Jakarta, gedung-gedung tinggi bisa bersebelahan dengan pemukiman penduduk. Meskipun di Jakarta banyak apartemen-apartemen rupawan, rumah-rumah di gang kecil tak serta-merta musnah. Meskipun minum air merupakan kegiatan yang dianjurkan ketika matahari sedang mengeluarkan teriknya, tapi kau tak boleh minum dari air keran Jakarta, kawan. Bahaya. Bisa-bisa tahimu encer.
Begini, kawan, akan kuberitahu satu hal; Jakarta itu keras. Harusnya kau sudah tahu arti kalimat itu tanpa perlu kujelaskan. Di Jakarta, kau harus kuat mental, fisik, atau dua-duanya. Kau tidak boleh kaget melihat struk belanja. Kau harus terbiasa melihat orang-orang membawa gitar dan bernyanyi—mengharapkan balas budi berupa uang atas jasa mereka. Jakarta adalah tempat di mana miskin dan kaya bersatu. Maksud lebih jauh, bagaimana jika orang kaya, orang kelas menengah, dan orang miskin ditempatkan di satu kota dengan perbedaan sejelas kaca. Stasiunnya ramai. Kalau malam, lampu-lampu gedung dan rumah akan dinyalakan. Iklan-iklan seperti billboard akan menyala, membantu menerangi gelapnya malam dan memeriahkan suasana. Rasanya seperti New York, tapi aku pun belum pernah ke situ. Dan Jakarta sering macet dan banjir. Dua kombinasi yang menjadikan Jakarta adalah Jakarta. Tanpa dua hal itu, mungkin Jakarta bukanlah Jakarta. Dan rasanya harus kuberitahu tahu, satu hal yang kusuka tetapi dapat menjadi hal menyebalkan bagi orang Jakarta; hujan.
Begini, kawan—hujan tidak patut kita salahkan, tetapi dia dapat menyebabkan banjir jika dikombinasikan dengan air sungai yang meluap dan saluran air mampet. Tapi hujan di Jakarta—menurutku—indah. Penyejuk dari panas dan berpolusinya udara Jakarta. Mungkin tak seindah di London atau Edinburgh, atau seromantis di Paris—tetapi bagiku, kawan, hujan di Jakarta tetaplah indah.
Dan saat kutulis hal ini padamu, Jakarta sedang hujan. Langitnya mendung, walau tak sesering di London. Meskipun terkadang hujannya ganas dan dapat memicu banjir, tetapi hujan di Jakarta tak dapat menggantikan pandanganku atas dirinya. Karena ketika Jakarta sedang hujan, semua hal terasa lebih bermakna.”
Dia membaca surat itu ketika berdiam di Bali, ditemani iringan tari kecak, ayunan ombak Bali, dan semburat jingga matahari tenggelam. Dia telah melihat Jakarta dari dua lembar foto yang kawannya telah kirimkan dan mendengar namanya dari bibir orang-orang lokal yang dia temui. Dan Jakarta seolah ‘New York’-nya Indonesia. Tempat di mana seolah nasib lebih baik jika bertaruh di kota itu. Dan meskipun dia belum pernah menginjakkan kaki di kota itu, dia seolah-olah telah melihatnya dalam penglihatan tersendiri.
Berkali-kali kawannya itu bilang, bahwa hidup pemuda Inggris bernama Arthur tersebut enak. Karena dia telah mengarungi berbagai negara dan menjumpai banyak orang dan tempat. Dirga belum pernah keluar dari Pulau Jawa. Meskipun dia telah melihat sawah dan gedung, dia belum pernah melihat Big Ben. Apalagi rumah Gadang di Sumatra. Tapi dia bertutur kata seolah dia telah melihatnya. Kawannya memang begitu—berlagak seperti seorang penyair, walau nyatanya tidak. Tapi itu tidak merampas haknya untuk berlagak seperti penyair. Karena siapapun bisa menjadi penyair. Profesi sejenis itu tak membutuhkan sertifikat pengakuan atau dokumen-dokumen resmi, sesederhana klaim dari diri sendiri pun sudah cukup.
Sejenak, dia merasakan rintik air menyerang lembut rambutnya. Dia mendongak, lalu menyadari awan telah berkerubung dan menumpahkan hujan. Matahari terbenamnya pun terlihat samar; namun iringan tari kecaknya tidak berhenti. Orang-orang bahkan masih berdiri, diterpa hujan, sambil menatap takjub tarian itu.
Hujannya tidak deras. Tidak sedang, namun juga tidak terlalu kecil. Langit di Indonesia juga dapat berubah suasananya dalam waktu beberapa menit. Namun, tak seperti di London, matahari masih rajin melakukan tugasnya, begitupula Arthur. Tugas dia di Bali kali ini bukanlah untuk berlibur, walaupun dia lebih memilih berseluncur di pantai dan menikmati bagaimana rasanya kebudayaan lokal yang pria itu idamkan sebagai hiburan semata.
Arthur mendesah, lalu meraih tasnya dan bangkit. Surat dari penyair gadungan tersebut dia lipat lalu simpan di selempangnya. Dia hiraukan hujan yang menimpa dan memutuskan untuk menerabas. Toh, kalau kawannya itu ada di sini, dia pasti akan menimpal bahwa ini tak seberapa dengan apa yang dia alami dahulu di Jakarta; menerobos banjir dengan Supra mogok dan miskin bensin peninggalan bapaknya.
Lagi-lagi Jakarta. Seolah kota itu punya sejuta cerita (karena betul). Dia belum pernah menginjakkan kaki di situ, karena kota itu tak dia lihat sebagai destinasi wisata di Asia Tenggara terpopuler untuk para pendatang.
Namun temannya bertutur seolah Jakarta adalah tempat terindah di dunia—padahal di pandangan pemuda Inggris itu, London masih lebih indah. Edinburgh masih lebih indah. Pedesaan —kampung halaman kawannya tersebut masih lebih indah.
Tapi karena hal itu, dia jadi tertarik untuk pergi ke sana. Yah, hanya sedikit. Sekaligus merasakan hujan di Jakarta yang diceritakan. Dan mungkin, Arthur juga akan memberitahu tentang hujan di Bali.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top