; A Fragile Promise
Tartaglia Ajax x Lumine Viatrix
Genshin Impact © Hoyoverse
Written by Aranachaa_
⚠️W A R N I N G⚠️
Mention blood
Sucide Attempt
Might be OOC
Angst (?)
--------------------------------------------------
Aroma obat-obatan, jarum suntik yang tak lagi terasa sakit ketika menembus kulitnya, atau bagaimana bisingnya suara mesin detak jantung di ruangan senyapnya. Sesekali Lumine berusaha mencabut infusnya, tapi ia digagalkan oleh perawat kesekian kalinya. Darahnya bisa naik ke infus katanya.
Apa peduli Lumine? jika itu bisa memperpendek umurnya maka Lumine dengan senang hati melakukannya.
Ia duduk termangu memandangi luar jendela, sedang mendung nampaknya dan hal itu menambah suasan melakonis yang tengah ia rasakan. Ia pun mencoba untuk duduk dan menghela nafas, ia pandangi meja di sampingnya yang sudah tertata rapi setelah sebelumnya penuh dengan pil yang berceceran.
Sudah kesekian kalinya ia menolak menenggak obat-obatan itu. Nanti suara-suara yang menemaninya itu hilang dan Lumine takut hidup dalam kesenyapan. Biarlah, toh semua orang sudah tahu jika Lumine itu penyediri yang gila. Ini hukuman untuknya yang sudah hidup sedangkan saudara kembarnya menjemput ajal karena kecelakaan mobil itu. Kalau saja Aether tak melindunginya dan dirinya lah yang mati, mungkin Mama Papa tidak perlu kecewa dan bersedih sedemikian rupa. Aether itu penerus keluarga dibandingkan dirinya, Aether lebih dibutuhkan orang tuanya.
"Nona Lumine, sudah waktunya bimbingan konseling. Saya harap and tidak bungkam hari ini." suara lembut Noelle salah satu perawat yang bertugas mengurusnya. Lumine mendesah gundah sebelum akhirnya turun dari ranjang.
"Tidak bisa kah kau lepaskan infus menyebalkan ini dariku? aku tidak butuh infus."
"Maafkan saya, nona. Tapi, saya tidak bisa melakukan itu sebab kondisi tubuh anda masih belum stabil."
"Kau berlebihan, aku hanya tidak makan tiga hari. Sebelumnya aku tidak makan nyaris seminggu, ini sebuah kemajuan." ucap Lumine memutar bola matanya malas, Noelle menghela nafas berat.
"Saya mengerti, nona dan saya sangat mengapresiasi kemajuan anda. Tapi, anda kemarin hampir kehabisan darah karena luka di pergelangan tangan anda. Tolong tetap ikuti prosedur kesehatan yang ada, ini demi kebaikan anda." ucap Noelle berusaha tetap memberi pemahaman, namun Lumine nampak tak peduli dan berlalu pergi menuju ruangan konselingnya. Orang-orang di sekitarnya seakan menatapnya dengan tatapan penuh selidik dan menghakimi, persis seperti bagaimana Noelle menatapnya. Mereka pasti sudah memaki-maki label orang gila padanya dalam hati.
Apanya demi kebaikannya? dia saja tidak ingin sembuh, karena kesembuhannya tidak akan lantas membuat dunianya menjadi baik-baik saja 'kan?
Kenapa ia selalu gagal melakukan 'kepulangan paksanya'? apa itu karena Tuhan pun tak sudi menyambut kepulangannya?
— 🐳✨
Waktu konseling hari ini berjalan lebih cepat daripada biasanya. Hanya 20 menit, selepasnya Bu Jean menyudahinya. Mungkin dia akhirnya mengerti jika sia-sia mengobatinya, karena ia sendiri tak mau sembuh. Ia ingin segera mati dan menyudahi rasa bersalah yang menghantuinya semenjak kematian Aether. Barangkali ia ingin meminta Tuhan menukar hidupnya dengan Aether agar Aether segera kembali ke orang tua yang masih terus berkabung atas kematian Aether meski sudah berjalan nyaris satu tahun.
Ketika Lumine menginjakkan kaki keluar dari ruang konseling, lagi-lagi ia mendengar suara serta melihat bayangan yang mengajaknya berjalan menuju atap rumah sakit sekali lagi. Di luar sudah hujan.
Tidak akan ada yang bersedih jika kau tiada.
Jika kau mati, maka Aether akan kembali.
Kau hanya perlu loncat, tidak akan sakit kok karena gedung ini cukup tinggi.
Lumine tertawa kecil, benar juga. Untuk apa ia takut dan ragu? ia hanya perlu berjalan pelan ke depan dan Aether sudah tersenyum padanya sekarang seakan menyemangati. Barangkali juga senyum puas karena Aether pasti juga menuntut ketidak adilan atas kecelakaan itu. Hari ini juga hujan, maka ia akan lebih mudah terpeleset jatuh dan darahnya bisa dibersihkan oleh air hujan dengan mudah sehingga tidak perlu mengotori halaman rumah sakit.
Hanya selangkah lagi, Aether sudah menunggu.
"Tunggu, kau tidak boleh jatuh. Masih ada cita-citamu! kau pasti masih punya cita-cita!"
Oh, tidak-tidak. Cita-citanya sudah tidak berarti apapun saat ini. Cita-citanya itu tidak akan membuat orang tuanya akhirnya mendekapnya dengan hangat dan berhenti mengharapkan kepulangan Aether.
"Tidak! jangan! kumohon jangan! kau masih muda! jangan sudahi hidupmu begitu saja!"
Tunggu, Lumine tidak ingat ada suara itu di kepalanya sebelumnya. Perlahan ia membuka mata dan mundur selangkah sampai ke batas aman dan berbalik. Ia mengusap matanya dan mendapati sesosok samar-samar di depannya. Seorang lelaki yang entahlah, Lumine tidak yakin jika surainya oranye.
"Kau ... teman baruku?"
Bayangan lelaki itu nampak mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya. Ia mengawang terbang ke belakang Lumine seakan berusaha mendorong Lumine untuk berteduh, namun tentu saja sentuhannya gagal sebab tangannya menembus tubuh Lumine.
"Hey, cepatlah berteduh. Kau bisa sakit jika terus-terusan kehujanan, bibirmu sudah membiru." gerutu pemuda itu, Lumine menghela nafas berat lalu berjalan maju untuk berteduh. Memang benar tubuhnya sudah menggigil, harusnya dia loncat saja.
"Jika kau tadi tidak menahanku, aku sudah jatuh ke bawah dan rasanya pasti hangat."
"Kau gila?!"
Lumine memiringkan kepalanya bingung, ia tidak pernah bertemu bayangan semacam ini sebelumnya.
"Aneh, kenapa teman baruku sekarang sangat tidak supportif?" gumamnya bingung, biasanya halusinasinya itu selalu mendukungnya menyudahi hidupnya, tapi nyatanya bayangan ibi malah melarangnya loncat. Apa ini efek karena dia dipaksa minum obat kemarin hingga bayangannya mulai aneh?
"Siapa namamu?" tanya Lumine akhirnya, pemuda itu berkacak pinggang.
"Panggil saja Ajax. Kau?"
"Lumine."
"Jadi, Lumine. Kau ini sakit apa sampai ingin meloncat ke bawah?"
Lumine terdiam beberapa saat. Merasa bingung dengan pertanyaan Ajax, kenapa dia jadi menanyakan soal penyakitnya?
"Um, skizofernia?"
Sesaat kemudian, suara deru hujan seakan berusaha mengisi kesunyian di antara mereka.
— 🐳✨
Belakangan ini sedang hujan deras nyaris setiap hari, hal ini membuat Lumine merasa sedikit tenang karena suara-suara di kepalanya sedikit teredam suara hujan. Ia sering kali pergi ke atap rumah sakit untuk bermain hujan dan kadang-kadang ia akan menemukan Ajax yang menegurnya untuk tidak bermain hujan lagi. Tapi, kadang-kadang ketika hujan mereda, suara di kepalanya kembali berisik dan Ajax sudah tidak ada lagi di sampingnya.
Kenapa, ya? Lumine tidak pernah melihat bayangan seperti demikian sebelumnya. Tapi, yasudah lah. Toh, kehadiran Ajax membuat Lumine jadi sedikit melupakan kesepiannya di rumah sakit sehingga rasa frustasinya atas penyakitnya ini sedikit terdistraksi.
Sebab Ajax tak memandanginya dengan tatapan menghakimi seperti yang lain dan hanya Ajax suara yang tidak memintanya pulang dengan cepat-cepat.
"Kau tidak minum obat lagi, ya?" tanya Ajax membuat Lumine mendesah gusar. Ia tidak suka pertanyaan itu.
"Obat itu tidak akan menyembuhkanku, tidak ada gunanya."
Ajax terdiam beberapa saat, tak lama Lumine melanjutkan ucapannya. "Nanti kau menghilang jika aku minum obatnya, jadi aku tidak mau."
Ajax terkekeh memandangi hujan yang tengah berjatuhan di hadapannya, hujan yang dulu begitu sulit ia lihat dan rasakan sedekat ini.
"Aku itu tidak akan hilang hanya karena obat. Percaya lah."
Lumine tidak menyahut, ia memeluk erat kedua kakinya dan membenamkan wajahnya di lutut. Suara-suara itu masih terdengar samar di antara suara hujan, kepalanya penat sekali.
"Dulu aku pernah percaya pada orang yang bilang tidak akan meninggalkanku, tapi ia malah meninggalkanku ke tempat yang tak terjangkau olehku."
Harusnya, Lumine saja yang pergi. Bukan Aether.
— 🐳✨
Sudah sebulan lamanya Lumine menghabiskan waktunya mendekam di rumah sakit, belakangan ini orang tua Lumine sering mengunjunginya. Tapi, Lumine tidak suka. Tatapan mereka juga menghakimi, membuat dirinya semakin tertekan dengan situasinya. Jadi, ia menghabiskan waktu lebih banyak di atap rumah sakit, belakangan ini Ajax juga sudah jarang terlihat membuatnya semakin kesepian sebab suara-suara itu semakin nyaring karena hujan juga sudah semakin jarang.
Tapi, kemarin Lumine tertawa riang sekali bermain hujan dengan Ajax. Ajax juga berterima kasih banyak sekali hingga membuat Lumine bingung.
"Lumine, terima kasih sudah membuatku jatuh cinta. Di kehidupan selanjutnya, kuharap kita punya kesempatan bermain hujan lebih banyak."
Lumine tidak mengerti. Kenapa harus kehidupan selanjutnya?
Tapi, semenjak Ajax menyatakan perasaannya, Lumine jadi berpikir ia ingin menjalankan semua prosedur kesehatannya dengan baik sebab ia tidak ingin Ajax jatuh cinta dengan orang gila 'kan?
Ia mulai lebih rajin mengonsumsi obat yang dianjurkan dokter dan mengikuti bimbingan konseling dengan serius. Suara-suara itu mulai menjadi sedikit lebih pelan dan pandangannya pada orang-orang di sekitarnya mulai berubah menjadi lebih kondusif.
Tapi, sayangnya bayang Ajax sudah tidak pernah muncul. Bersamaan dengan hujan yang jarang tak lagi meredam suara berisik di kepalanya. Meskipun sekitarnya sudah membaik, ia tidak suka dengan Ajax yang tak lagi menemaninya di atap rumah sakit saat hujan dan esok katanya ia sudah harus kembali ke rumah.
Orang tuanya nampak bersuka cita, namun Lumine tidak suka kembali ke rumah. Setidaknya sebelum ia bertemu Ajax untuk terakhir kalinya.
Akhirnya, malam itu Lumine nekat pergi ke atap rumah sakit. Suara-suara di kepalanya juga menyemangati dirinya untuk pergi ke atas.
Ajax menunggumu. Coba saja berjalan maju, pasti dia akan menghentikanmu.
Lumine berjalan maju ke depan, bersamaan dengan suara-suara di kepalanya. Ia memejamkan matanya, berusaha mencari suara Ajax di antara suara-suara itu.
Ayolah, dia sudah menunggumu bersama Aether. Tidak akan sakit kok.
Saat Lumine membuka mata, ia mendapati ia sudah melayang di udara dengan Ajax mendekapnya erat. Ia tersenyum, namun manik nampak sendu.
"Lumine, seharusnya kau tidak pulang secepat ini."
"Tapi, aku merindukanmu."
Kenapa Ajax tak ingin ia pulang ke rumah? Lumine masih tidak bisa menemukan jawabannya, suara-suara itu sudah tidak terdengar. Hanya menyisakan suara sirene polisi dan bising orang bercakap-cakap. Sesekali ia mendengar suara orang tuanya yang histeris di bawah.
Oh, Lumine sepertinya mengambil langkah maju ke depan yang terlalu jauh.
— TAMAT.
; Note.
For anyone who get confused with the plot, Ajax aslinya hantu bukan bagian dari halusinasi skizofernia Lumine :3
Ajax menghilang karena harapan dia semasa hidup udah tercapai, "jatuh cinta" makanya dia menghilang. Ajax cuma muncul pas hujan, berhubung udh ga musim hujan + harapannya udh tercapai ya roh Ajax udh hilang. Di narasi terakhir, itu Luminenya loncat dari gedung jadi ya pas dia mati, dia dipeluk arwah Childe yang ngejemput arwah Lumine.
Also, sebenernya ga ada tatapan yang menghakimi Lumine, itu cuma halusinasi Lumine karena Skizofernia dia. Tapi, yang soal ortu Lumine sibuk itu aslinya krna mereka msih berkabung soal Aether jadi mereka kyk ngalihin rasa sedih mereka dgn kerja
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top