7
Arryan tengah menatap matahari sore dijalanan yang padat. Sudah dari tadi, tapi mobilnya sama sekali tidak bisa maju. Seharusnya ia sudah tiba di rumah. Menikmati secangkir teh dan senyuman kekasihnya.
Kekasih?
Pria itu tersenyum. Ia memiliki semua sekarang. Cepat atau lambat gadis itu akan menoleh padanya. Ia akan merasakan kembali kasih sayang yang pernah ada namun menghilang. Seperti dulu pernah ditunjukkan Camilla.
Mengingat Camilla, kembali ia termenung. Sampai saat ini, abu perempuan itu masih disimpan dengan baik. Sebenarnya bukan hanya abu Camiila, tapi juga putrinya yang terbunuh dulu. Meski sang putri tak pernah lahir. Cammilla membawa pergi buah cinta mereka.
Serra dan Camilla sangat berbeda. Camilla adalah perempuan hangat, yang tahu bagaimana cara membuat obrolan lebih menarik. Serra sebaliknya. Lebih sering diam. Bahkan saat belum bersamanya dulu. Serra memiliki senyum yang meneduhkan. Membuat siapapun yang menatapnya merasa tenang.
Tapi ia tetap suka pada Serrafina. Gadis itu mampu membuatnya iangin cepat cepat naik ke ranjang setiap malam. Ia bisa tidur nyenyak hanya dengan memeluk pinggangnya. Padahal selama ini, paling sulit untuk tidur.
Hampir pukul sembilan malam saat Arryan tiba di rumah. Didapatinya Serra masih duduk didepan jendela.
"Kamu sudah makan?"
Gadis itu mengangguk.
"Jawab dengan mulut kamu." Teriak Arryan kasar. Ia paling tidaknsuka diabaikan.
"Sudah."
"Temani aku mandi!"
Kembali gadis itu menegakkan leher menatap tidak percaya.
"Kalau aku memberi perintah cepat laksanakan. Aku tidak suka orang lambat."
Tertatih Serra mengejarnya. Kemudian berdiri tepat dibelakang tubuh besar Arryan yang sedang menhisi bath up dengan air.
"Kalau aku mau mandi malam. Kamu penuhi bath up ini dengan air hangat. Diujung sana ada pengukur suhu. Aku suka 36⁰."
"Iya."
"Ambilkan handukku. Aku akan mengganti handuk setiap kali mandi."
Kembali gadis itu bergegas menuju ruang sebelah. Saat kembali, beruntung pria itu sudah berada didalam bath up sementara air masih mengalir. Pelan ia meletakkan handuk di nakas.
"Tolong gosok punggungku."
Kembali Serra mendekat. Menggosok dengan sangat hati hati. Arryan memejamkan matanya. Menikmati sentuhan lembut sang gadis pada bahunya.
"Namaku Arryan. Kamu boleh memanggilku itu."
"Ya,"
"Kalau sedang keluar, aku bisa pulang malam, atau bahkan tengah malam. Jadi tak perlu menungguku."
"Aku jarang makan malam. Kalaupun lapar aku akan menghubungi dapur. Aku tidak akan membangunkanmu."
"Kamu tidak perlu menyiapkan pakaianku. Aku akan memilih sendiri."
"Jangan sembarangan membuka jendela atau pintu. Meski itu dipagi hari. Karena hewan peliharaanku bisa saja kubebaskan sewaktu waktu. Aku tidak mau melihat kamu pingsan karena ketakutan. Apa kamu takut pada ular?"
"Ya,"
Arryan tertawa sinis.
"Padahal mereka menggemaskan. Kulit mereka dingin. Kalau harimau?"
"Takut juga."
"Aku punya beberapa binatang buas disini. Karena itu aku tidak mengijinkan kamu untuk keluar. Saat kamu menunjukkan ketakutanmu. Saat itu pula mereka akan merasa berkuasa atas kamu."
"Apa saja pekerjaan kamu selain di panti itu?"
"Cuma itu."
"Apa tidak ada pekerjaan lain yang menarik?"
"Ayah tidak suka kalau aku pulang malam-malam."
"Good girl. Langka banget punya anak kayak kamu di jaman sekarang. Oh ya, ayahmu sudah mulai pulih. Dan akan pulang dalam beberapa hari. Aku sudah mengusahakan agar mereka pindah ke rumah yang lebih layak.
Jangan takut, aku tidak akan melibatkan namamu."
"Sebaiknya tidak usah."
"Kenapa? Supaya kamu tetap bertetangga dengan ibunya si Agung itu?"
Serra menarik nafas panjang. Apa hubungannya dengan mas Agung?
"Coba kamu pijat pundakku."
Serra kembali menurut.
"Aku suka pijitan yang kuat."
Kembali gadis itu memperkuat pijatannya sambil menatap kearah lain. Arryan menatapnya sejenak.
"Kamu tidak berbeda dengan orang-orang sok suci diluar sana. Memandangku dengan rendah. Tapi kemudian saat membutuhkan, kamu akan mencium kakiku."
Serra menggigit bibirnya kuat kuat. Arryan kembali tertawa kecil.
"Sorry, aku lupa, perempuan seperti kamu tidak akan mengemis dikaki laki-laki."
"Perempuan seperti kamu itu tipe menerima. Suami kasih gaji sebulan cuma cukup setengah bulan juga kamu bakal diam." Ujar pria itu sambil menatapnya.
Serra memilih tidak menjawab. Kalimat kalimat pedas laki-laki itu tidak lagi berarti baginya.
"Apa aku boleh melihat ayah sebentar?"
"Setelah aku selesai mandi. Terima kasih, pijatanmu enak."
Akhirnya Serra bisa bernafas lega. Ia boleh keluar dari ruangan tersebut. Meski gaunnya sudah kembali basah, akibat tangan Arryan yang diletakkan diatas pahanya..
***
Serra menatap ayahnya yang tengah berbaring. Terlihat sudah mulai pulih. Pria itu tengah berbicara dengan ibu.
"Serra bekerja dimana sebenarnya, bu?"
"Katanya di rumah orang kaya. Yang kalau kerja pakai seragam."
Gadis itu meremas bantal yang ada dipangkuannya. Ia merasa bersalah.
"Dia tahu pekerjaan itu darimana?"
"Waktu itu dari keluarga pasien di ruangan sebelah. Kelihatannya orangnya baik. Dan kita juga sedang butuh uang kan pak? Karena itu saat Serra memaksa, ibu mengijinkan."
"Apa dia sudah menelfon?"
"Belum, padahal sudah tiga hari."
Terdengar nafas kasar bapak.
"Semoga dia baik-baik saja bu. Bapak khawatir. Apa orang yang disebelah itu masih ada? Supaya bisa ditanya."
"Sepertinya sudah pulang pak. Ibu nggak pernah ketemu lagi."
"Seandainya bapak nggak kecelakaan. Serra pasti masih bersama kita."
"Berdoa saja pak supaya cepat sembuh. Dan Serra cepat pulang."
Televisi itu dimatikan.
"Sudah puas?"
"Sudah, terima kasih."
"Besok pagi, kamu boleh menghubungi mereka. Katakan kalau kamu baik baik saja."
Arryan melirik, hanya anggukan.
"Tiga menit cukup?"
Kembali hanya anggukan.
"Aku berencana akan membelikan sebuah rumah untuk mereka atas namamu. Tapi kujamin mereka tidak akan tahu. Tempatnya sudah ketemu. Cukup jauh dari rumah kalian sekarang. Tapi bisa kupastikan mereka suka."
"Tidak perlu sampai membelikan rumah."
"Aku mengambil putri mereka untuk kesenanganku. Jadi wajar juga kalau mereka juga akan menikmati hasil dari kesenanganku."
Serra kembali memalingkan wajahnya. Ia merasa seperti barang yang diperjualbelikan.
"Tidurlah sudah malam. Miss V kamu masih sakit.?"
Hanya ada anggukan.
"Kamu bisa tidur nyenyak. Aku tidak akan menggangumu malam ini."
Serra kemudian kembali duduk, menunduk dan menautkan kedua tangannya. Cukup lama sampai kemudian kembali berbaring.
"Kamu berdoa?" Tanya Arrian setelah mata itu terbuka.
"Ya,"
"Apa kamu juga mendoakan aku?" Ada nada penuh harap dalam dada pria itu. Namun jawaban Serra membuatnya kecewa.
"Tidak."
"Kenapa? Bukankah dalam salah satu doa harianmu mengatakan kalau seseorang harus mengampuni musuhnya?"
Serra menatap pria itu tak mengerti.
"Maksudku, aku adalah bagian dari musuhmu bukan?"
"Akubtidak merasa punya musuh. Aku hanya tidak mau membohongi Tuhan. Saat ini aku belum bisa."
"Lalu kamu berdoa untuk apa?"
"Untuk berterima kasih. Karena aku sudah melewati satu hari ini. Untuk berterima kasih karena ayah sudah mulai sembuh. Juga memohon maaf, atas segala kesalahan yang sudah kulakukan."
"Tanpa mengucapkan itu juga kamu baik baik saja kan? Buktinya aku?!"
"Apapun yang terjadi, aku harus mengucapkan syukur."
"Kamu bohong, apa kamu masih sanggup bersyukur saat didekat Shezze? Atau saat setelah tadi malam. Seharusnya kamu menangis, meminta pertolongan. Kenapa tidak berdoa atas kebebasanmu."
"Sudah, dan satu saat nanti Tuhan pasti mengabulkan."
"Dan pada saat yang sama aku akan menggagalkan." Balas pria itu tak mau kalah dengan wajah mengeras.
Serra hanya menggeleng pelan. Enggan menjawab sesuatu yang bisa memancing perdebatan panjang. Ia kemudian menepuk bantalnya. Lalu berbaring miring. Namun tak bisa memejamkan mata. Pikirannya melayang ke rumah orangtuanya. Gerak perlahan pria disebelahnya membuatnya curiga.
Tiba- tiba tangan besar itu memeluknya. Serra mencoba menahan nafasnya.
"Tidurlah Serrafina."
Meski takut, gadis itu memilih untuk tidak bergerak. Lama baru tubuh itu benar benar pulas. Tak mendengar lagi saat Arryan berbisik,
"Aku takkan melepaskanmu. Kamu akan menjadi milikku, ibu dari anak-anakku. Karena aku sudah menemukan ibu terbaik untuk mereka. Rahim terbaik tempat mereka tumbuh.
Tapi saat ini, aku ingin menikmati kehadiranmu. Memelukmu setiap malam. Menemaniku..... selamanya."
***
Seorang pria melangkah memasuki rumah sakit saat keluarga Hariadi tengah menunggu kendaraan.
"Loh, bapak kan yang waktu itu?" Sapa sang pria.
Hariadi menatap tidak percaya.
"Bapak yang ngasih uang waktu saya pingsan di jalan to?"
Pria itu mengangguk sopan. Setelah berkenalan sejenak dengan keluarga pria itu,
"Bapak kenapa?"
"Ditabrak mobil. Ya mungkin saya kurang hati-hati."
"Ya dijalan raya semua bisa terjadi pak.
Bapak mau kemana?"
"Nunggu grab, mau pulang,"
"Ayo pak, saya antar saja sekalian."
"Bukannya bapak baru datang?" Tanya Hariadi heran.
Pria itu tersenyum. "Nggak lah pak. Tadinya cuma perlu sedikit. Ayolah, sekalian saya mau tahu rumah bapak."
Pria itu segera mendorong kursi roda milik ayah Serra. Dengan canggung keluarga Hariadi menaiki mobil mewah yang dikendarainya.
"Oh ya, nama bapak kemarin siapa?" Tanya Hariadi.
"Ryan, pak."
Tak lama, setelah di pandu. Mobil itu tiba didepan gang rumah Serra.
Memasuki gang. Hampir seluruh mata menatapnya. Namun Arryan memilih tidak peduli. Ia terus mendorong kursi roda laki-laki tua itu.
Menemukan fakta bahwa rumah yang ditempati sangat sempit. Pria itu menarik nafas dalam. Setelah dipersilahkan, ia kemudian duduk di ruang tamu. Menatap dinding, ada foto Serra waktu SMU berseragam, bersama teman temannya.
Gadisnya sudah cantik dari dulu. Dengan senyum malu-malu miliknya. Arrya mengedarkan pandangan. Ditempat sesempit ini, dimana dulu gadisnya tidur?
"Itu, anak anak saya pak. Yang paling tua, Serrafina, yang kedua Lusia dan yang terakhir Adit." Suara pak Hariadi memecahkan keheningan diantara mereka. Laki-laki ini sama polosnya dengan putrinya.
"Mereka masih sekolah?"
Hariadi menarik nafas dalam. Ada kesedihan diwajah tua itu.
"Serra sudah bekerja. Lusia dan Adit masih sekolah." Ucap pria tua itu dengan mata berkaca.
"Dia sekarang bekerja di luar kota, agar adik-adiknya bisa sekolah. Selama saya tidak bisa bekerja begini. Mudah-mudahan saya cepat pulih. Supaya Serra bisa pulang lagi."
Kali ini Arryan hanya mengangguk. Ia tidak ingin berkomentar. Karena orang yang mereka bicarakan tengah berada dikediamannya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
19420
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top