2

Namanya Serrafina. Biasa dipanggil Serra. Gadis cantik, periang, ramah dan mudah tersenyum. Bulan depan genap berusia dua puluh tahun. Berkulit putih dan berambut hitam panjang sampai pinggang.  Bola matanya bulat dan bening, dengan alis tebal.

Meski tinggal di Jakarta, ia tetap gadis polos. Lingkup kehidupannya hanya rumah, panti dan gereja. Ia harus menahan diri untuk tidak hidup mewah seperti teman temannya.

Kini Serra sudah bekerja untuk membantu keluarga. Sebagai putri sulung, ia wajib mengorbankan keinginannya untuk kuliah. Karena kondisi keuangan keluarga yang sangat minim.  Ia bisa menyelesaikan SMUnya juga karena ada donatur gereja yang membantu.

Ia bukan yatim piatu. Tapi berasal dari keluarga tidak mampu! Ayahnya yang sudah setengah baya hanya tukang ojek online. Sementara ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga lepas. Serra bersama dua adiknya tinggal disebuah perkampungan sempit. Dalam rumah bersekat tiga. Ada ruang tamu, kamar bapak dan ibu, juga sebuah dapur. Ada juga kamar mandi, tapi untuk dipakai bersama penghuni kontrakan lain. Ada dua WC, satu sumur pompa dan dua kamar mandi umum. Yang dipakai bergantian oleh penghuni sepuluh rumah kontrakan.

Bila malam, ia dan adik perempuannya tidur di ruang tamu. Sementara adik lelakinya, tidur depan kamar orangtua mereka.

Keluarganya sudah lama tinggal disini. Bahkan sejak kecil. Beruntung tempat ini tidak kena gusur. Meski gedung bertingkat sudah dibangun disekeliling. Kata orang namanya apartemen. Serra tidak pernah masuk kesana setelah gedung itu selesai dibangun. Dulu saat pembangunan, ia beberapa kali masuk. Karena ibu menitipkan  kue untuk dijual di warung kopi.

Saat ini, setiap pagi. Ia dan ibu bergantian diantar bapak ketempat kerja masing masing. Ibu ke sebuah kompleks rumah orang kaya. Sedangkan Serra, ke sebuah biara tempat para suster tinggal.

Disana Serra membantu sepanjang hari. Membersihkan ruangan, membantu menjahit pakaian untuk para imam. Juga kadang membuat untaian rosario untuk dijual. Ia bisa melakukan semua pekerjaan itu. Karena sudah diajari sejak SMP.

Sebagai anak yang biaya pendidikannya mengandalkan bantuan dari gereja. Membuatnya harus aktif disana. Juga dekat dengan suster kepala. Sifatnya yang rajin dan ringan tangan membuat Serra mudah disukai oleh siapapun.

Ia cukup terkenal dengan kecantikannya. Meski jarang bergaul, ia akan menyapa orang yang dikenalnya. Saat akan pergi bekerja ia akan mengenakan kulot yang panjangnya dibawah lutut. Orangtuanya melarang Serra berpakaian terbuka. Tidak sedikit pemuda disekitar tempat tinggalnya yang menggoda. Bahkan ada yang berniat serius melamarnya pada bapak. Tapi bapak menolak dengan alasan Serra masih terlalu muda.

Ia tidak pernah pacaran, karena menurut suster. Sebagai perempuan ia harus menjaga kemurnian tubuhnya. Agar kelak bisa menjadi persembahan indah bagi suaminya.

Mengingat itu Serra menjadi malu. Suami? Ah, kata itu terlalu jauh dari khayalannya. Siapakah dia nanti? Kadang ia membayangkan akan menemukan pria seperti oppa-oppa korea. Yang sangat tampan seperti idola teman dan adiknya.

Tapi apa mungkin? Ia bukan orang kaya seperti teman sekolahnya dulu. Dengan cepat, Serra mengenyahkan pikiran agar kembali kedunia nyata. Ia harus lebih giat bekerja. Agar kredit motor bapak segera lunas. Apalagi Adit adiknya akan tamat SMP. Meskipun pintar dan bisa lolos ke sekolah negeri. Tapi tetap butuh banyak uang untuk masuk SMU. Masih beruntung karena ada beasiswa. Kebutuhan murid SMU lumayan besar. Dan mereka juga tidak bisa mengandalkan orangtua.

Belum lagi, Lusi, yang sudah kelas dua SMU. Keduanya butuh biaya besar. Dan ia harus membantu sebisa mungkin.

Sewa rumah kontrakan yang selalu naik. Juga biaya hidup di Jakarta yang tidak sedikit. Membuat mereka sekeluarga harus bekerja lebih keras. Apalagi bapak sudah tua. Dan sering masuk angin kalau bekerja disaat hujan. Serra anak tertua, dan ia merasa kalau beban itu kini ada dipundaknya.

***

Serra kembali mengelap jendela kaca yang tinggi itu. Bangunan ini adalah peninggalan belanda. Beberapa tahun lalu, jendela kayu digantikan kaca. Jadi harus lebih hati hati melapnya. Tapi inilah tugasnya setiap hari.

Setelah ini ia harus mengepel lantai. Tidak sendiri sih. Ada beberapa gadis lain sepertinya. Setelah semua selesai barulah mereka masuk ke ruangan serbaguna.

Disana para suster yang sudah jompo akan berkumpul sebelum makan siang. Mengerjakan apa yang bisa mereka kerjakan. Ada yang merajut, ada yang menyulam dan masih banyak kegiatan lain.

Disini, Serra akan segera duduk didepan manik manik. Membentuk menjadi untaian indah. Selain rosario ada juga kalung, gelang dan gantungan kunci. Selain itu ia juga belajar menjahit. Seorang suster mengajarinya. Agar kelak bila tidak bekerja disini lagi ia tetap bisa bertahan hidup.

***

Serra baru saja selesai mencuci piring. Saat suster kepala, Albertina memanggil untuk menghadap ke ruangannya. Ia cukup takut kalau dipanggil oleh perempuan tersebut. Suster kepala terkenal tegas dan disiplin. Kalau salah satu dari mereka dipanggil, artinya pasti akan dimarahi karena sudah melakukan kesalahan.

Pelan bercampur takut, gadis itu melangkah mendekati kantor. Kemudian menheruk pintu tiga kali.

"Masuk," terdengar suara Suster Albertina.

Melangkah pelan sembari menunduk, Serra mendekat.

"Silahkan duduk Serrafina." Nada suara itu terdengar seperti perintah.

Menuruti kalimat suster, ia segera duduk.

"Kamu lihat saya!" Ujar suster tegas.

Segera Serra mendongak.

"Begini, Suster Fransiska mengatakan. Kalau Panti Jompo Caritas, sedang butuh orang. Karena ada beberapa pegawai yang mengundurkan diri. Saya merekomendasikan kamu, karena rumahmu yang paling dekat. Apa kamu bersedia?" Tanya suster tanpa basa basi!

Serra terkejut, ia bukan perawat.

"Apa saya akan sanggup suster?"

"Saya tidak akan menawarkan,  kalau saya tidak yakin. Kamu orang yang tepat, serra.

Mereka adalah orangtua kesepian. Mereka sebenarnya rindu tinggal dirumah. Tapi, semua anak-anak sibuk. Sehingga dititip disana. Tugas kamu melayani mereka."

Serra hanya mengangguk, ia tidak akan berani menolak.

***

Pagi itu, Serra tengah bersiap, ketika bapak menghampiri.

"Ra, kamu bapak antar duluan ya ke panti. Karena kamu lebih dekat."

"Aku naik sepeda saja pak. Biar bapak antar ibu."

"Kamu nggak apa apa?"

"Aku kan sudah biasa kesana pak. Lagian tinggal lewat gang belakang saja. Disana juga selalu ramai."

Bapak menatapnya dengan penuh rasa kasihan.

"Nanti kamu capek, sampai disana juga langsung kerja."

"Anggap olahraga pak. Supaya Serra sehat." Sang anak berusaha meyakinkan ayahnya.

Bapak hanya mengangguk.

"Ini bekal makan siang bapak, sama air minumnya. Semoga banyak dapat penumpang ya pak."

"Amin, Ra. Adikmu Adit harus bayar uang perpisahan katanya."

Serra mengangguk, di rumah ini memang tidak ada keinginan yang bisa segera terkabul. Mereka harus menunggu dulu sampai beberapa saat.

Selesai memberikan bekal bapak, Serra mengeluarkan sepedanya. Ia siap menjalani hari ini.

***

Sore itu, suasana panti masih ramai. Mereka para pekerja masih sibuk menyiapkan ruang serbaguna. Karena besok akan banyak tamu yang  berkunjung. Dalam rangka ulang tahun perusahaan mereka.

Serra bertugas mengatur panggung kecil. Ia sudah memotong bunga dan daun dihalaman belakang tadi. Merangkainya menjadi satu. Agar terlihat lebih menarik. Tidak perlu banyak, karena panggung tidak akan lama digunakan.

Pukul delapan malam semua selesai. Adiknya Adit sudah menunggu. Ibu tidak akan membiarkan putrinya pulang malam malam sendirian. Bapak belum pulang, karena pemesan ojek cukup ramai dimalam hari.

Berdua mereka berboncengan pulang. Ditengah jalan Adit berkata.

"Mbak,"

"Apa?"

"Kalau nanti gajian, kita beli nasi goreng yang dipojokan situ ya."

"Iya, tapi nasi goreng saja ya. Jangan minta yang aneh aneh. Mbak harus ngumpul uang buat Lusi. Dia mau study tour."

"Siap mbak, aku tadi lewat situ. Harum sekali."

"Sepiring masih sepuluh ribu kan, Dit?"

"Masih mbak,"

"Ya sudah kalau begitu."

Obrolan itu berakhir. Serra merasakan sesak didadanya. Untuk membeli nasi goreng saja mereka harus berhitung.

***


Acara itu dimulai dari pukul sepuluh pagi. Mereka berkunjung hampir dua puluh orang. Serra hanya berdiri di dekat pintu. Memastikan dua orang tua jompo yang berada dalam pengawasannya merasa nyaman.

Seperti biasa, semua dimulai kata sambutan. Namun gadis itu tidak terlalu menyimak. Ia lebih terpukau melihat para perempuan yang datang. Mereka semua terlihat tinggi, putih dan sangat modern. Seperti artis yang selalu ditontonnya melalui siaran televisi.

Rambut mereka bagus dan berwarna. Ia terpana, sama persis dengan orang orang kaya digerejanya. Hampir semua saling berbicara dalam bahasa inggris. Terdengar merdu ditelinga Serra.

Namun ia sama sekali tidak menyadari. Kalau sejak berbicara di depan pertama kali, ada seorang pria yang tak betah duduk ditempatnya. Rasanya leher itu selalu ingin menoleh kebelakang. Pada sesosok gadis yang berdiri di dekat pintu.

Suster Fransiska, biarawati yang berusia hampir enam puluh tahun itu bisa merasakan kegelisahan pria disebelahnya. Meski terlihat mampu menutupinya dengan baik.

Hati kecilnya berkata, ada sesuatu aneh pada sosok itu. Jelas ia tidak suka saat tadi pria itu beberapa kali melemparkan pandangan pada Serra saat berbicara di depan. Bukan tatapan biasa. Melainkan sebuah hasrat, meski juga ia tak melihat nafsu disana.

Sekali lagi, ditatapnya pria yang baru dikenalnya itu. Pemilik beberapa badan usaha yang datang pagi ini. Jemarinya terlihat gelisah. Sibuk mengetuk sesuatu. Suster Fransiska sudah banyak makan asam garam kehidupan.

Sebelum berkarya di panti jompo. Ia sudah bekerja dibeberapa yayasan milik ordo yang menaunginya. Dan bertemu dengan banyak orang dengan beragam karakter. Karena itu, ia bisa menilai keanehan yang terlihat jelas pada pria yang mengaku bernama Arya ini.

Akhirnya, acara tersebut selesai. Beberapa tamu mereka mendekati para penghuni. Mulai berinteraksi, menunjukkan perhatian. Suster Fransiska segera mendekati Serra.

"Kamu masih ada pekerjaan?"

"Cuma menjaga Oma Pat dan Oma Sina, suster."

"Kalau begitu, kamu ke dapur saja ya. Siapkan masakan kita untuk malam nanti. Minta Santi menggantikan kamu disini."

"Iya suster." Jawab Gadis itu.

Perlahan Serra menuju ke arah dapur sesuai perintah. Disana ia mulai menyiangi ikan, dan memotong sayur. Disaat seperti ini, biasanya ia bekerja sendiri. Nanti kalau acara sudah selesai, barulah beberapa temannya bergabung kembali.

Tengah sibuk bekerja, seseorang menghentikan gerakannya.

"Permisi, kamar mandinya dimana?" Tanya seorang pria. Salah seorang dari tamu mereka.

"Diujung situ pak." Jawab Serra sambil menunjukkan arah kamar mandi.

"Terima kasih." Balas pria itu sopan.






***



Happy reading

Maaf untuk typo

130420






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top