12. Membalas dengan Cantik

"Ups ... Sori, terlepas dari tangan saya. Oh, hai ... Kalian ada di sini juga? Saya kirain tertinggal di bandara," tukasku berpura-pura masa bodoh. Langsung aku berbalik badan dan kembali masuk ke dalam kamar. Hati ini panas dengan kelakuan Julian dan juga Mira. Sayang sekali, vas bunga tadi, tidak tepat jatuh di atas kepala Julian ataupun Mira. Jika tidak, itu rasanya lumayan memberi kepuasan padaku.

Tak kudengar suara apapun di bawa sana. Itu pertanda, suamiku dengan istri mudanya, tidak menghiraukan perbuatanku. Dapat kupastikan, saat ini juga, keduanya hengkang dari cottage ini.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ponsel tidak punya, duit sisa delapan puluh ribu. Dompet hilang. Untung udah bayar penginapan untuk satu pekan. Kalau tidak, bisa-bisa aku diusir." Perut ini pun tiba-tiba terasa lapar. Kulirik dua bungkus roti yang masih utuh. Segera kusambar untuk mengisi lambungku yang kosong. Makan pun seperti tidak bernapas. Aku benar-benar kelaparan. Lalu, pada siapa aku harus meminta tolong?

Entah darimana ide itu muncul. Wajah lelaki yang sudah membuat masalah hidupku rumit, muncul berulang kali di kepala. Benar sekali, lelaki itu pasti bisa menolongku. Tanpa acara mandi, hanya menyikat gigi saja, aku kembali memakai baju yang setengah kering. Lalu keluar dari kamar, untuk mencari pemuda itu. Ya, aku katakan pemuda, karena memang terlihat usianya lebih muda dariku.

Tempat pertama yang kukunjungi adalah dapur cottage. Tak ada dia di sana. Lalu aku menoleh ke arah resto, siapa tahu dia sebagai pelayan di sana, tetapi tidak ada juga.

"Permisi, Mas. Saya mau tanya, apakah kenal dengan lelaki muda yang kulitnya sedikit coklat?" tanyaku pada pelayan resto yang bertugas sebagai kasir.

"Wah, Mbak, maaf sekali. Di sini banyak lelaki muda berkulit coklat. Saya pun berkulit coklat. Mungkin saya bisa bantu, jika Mbak bisa menyebutkan namanya." Aku menepuk kening dengan kuat. Satu hal yang aku lupakan dari lelaki itu. Namanya aku tidak tahu. Lalu, bagaimana aku harus mencarinya kini?

"Duh, saya tidak tahu namanya. Waktu itu, dia pernah mengantar makanan saat saya memesan makanan lewat room service," balasku sambil mengingat-ingat, apakah aku tahu namanya, lewat seragam yang ia kenakan. Namun sayang sekali, aku tidak mengingatnya.

"Pelayan cottage berganti di sore hari. Mungkin orang yang Mbak cari memang tidak ada di sini saat pagi hingga sore. Coba tunggu sampai magrib ya, siapa tahu orang yang Mbak cari ketemu," ujarnya sambil mengangguk. Tamu resto pun datang untuk membayar tagihan makan mereka. Aku terpaksa menyingkir, sembari melirik banner menu makanan yang sangat menggoda lidahku.

Saat kaki ini hendak berjalan keluar resto, ada sepasang suami istri yang tengah menikmati sarapan kesiangan mereka. Siapa lagi kalau bukan Julian dan juga Kak Mira. Aku benar-benar harus bermain-main dengan mereka, karena bagaimana pun Julian adalah suamiku juga.

Dengan memasang wajah tembok, aku berjalan menuju keduanya yang sedang seru berbincang. Tepatnya, Julian yang sedari tadi nyerocos, sedangkan Kak Mira hanya diam saja, sambil sesekali tersenyum.

"Halo, selamat pagi menjelang siang. Saya boleh ikut gabung'kan? Saya rasa boleh, karena saya masih istri sah kamu Julian." Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, aku duduk di depan keduanya. Dengan wajah masa bodoh juga, aku meraih cangkir teh hangat Julian, lalu menuangkan isinya ke dalam tenggorokanku yang kering.

"Apa mau kamu, Nes?" Lelaki itu merampas cangkirnya.

"Mau ikut berbulan madu bersama suami dan juga maduku. Bagaimana?" Aku mencoba tersenyum sangat manis pada Kak Mira.

"Tidak bisa! Karena ini acara kami," balas Julian dengan suara lantang.

"Oh ... Tidak bisa ya." Kali ini aku meraih piring hidangan Kak Mira yang berisi roti bakar keju. Tanpa rasa malu, aku melahap makanan itu dengan cepat, tanpa mempedulikan tatapan sebal dari Julian.

"Aku sarapan dulu, jangan diganggu! Kalian silakan lanjutkan makan. Sepiring berdua juga seru loh, Kak. Ayo, makan bareng saya," ajakku pada wanita itu. Dia tersenyum kecut, lalu mengangguk perlahan. Jadilah kami makan sepiring berdua. Antara istri pertama dengan istri kedua. Julian tidak mampu menolak. Lelaki itu pun makan bihun goreng pesananannya dengan menunduk. Sama sekali enggan menatapku.

Lelaki ini betul-betul berubah. Ini bukan dirinya. Julianku sudah hilang ditelan bumi, sejak hari pertama dia memergokiku telanjang di kamar hotel, dengan lelaki lain.

"Apakah kalian memang sudah saling mencintai sejak lama?" tanyaku tanpa menoleh. Fokusku pada makanan, sambil berusaha menahan tangis.

"Bukan seperti itu, Nes. Kakak harap kamu mengerti kondisi Kakak. Kami saling mencintai layaknya saudara, tetapi jika harus menikah, itu namanya takdir," jawaban dari Kak Mira yang membuat perutku tiba-tiba merasakan mual yang sangat kuat.

"Lalu, jika saya harus mengerti kondisi Kak Mira, siapa yang mengerti keadaan saya? Apa menurut Kakak, saya bahagia dengan keadaan seperti ini?" tanyaku seraya menatap keduanya secara bergantian. Mereka saling pandang, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Lama aku menunggu, tetapi suasana masih hening. Hanya suara denting sendok dan garpu milik Julian yang tertangkap di telingaku.

"Mm ... Bagaimana jika kamu minta pertanggungjawaban dari Taka?" Mataku melebar. Siapa Taka? Apakah lelaki yang tidur bersamaku waktu itu?

"Kamu mengenalnya, Sayang?" tanya Julian dengan kedua alis bertaut. Bukan hanya Julian, aku pun terkejut dengan pertanyaan Kak Mira.

"Eh ... Itu. Saat Papa membicarakan masalah kamu, saya tidak sengaja mendengar. Ya ... Seperti itu," jawaban gugup yang diberikan oleh Kak Mira, membuatku curiga. Wajah perempuan dewasa itu seketika pucat pasi, dengan keringat mulai bermunculan di pelipisnya.

"Oh, jadi namanya Taka. Saya saja baru tahu, saat Kak Mira menyebutnya. Sayang sekali, status saya saat ini adalah masih istri dari Julian. Dan saya baru ingat, jika kami bercerai, maka saham hotel milik Julian, akan jatuh ke tangan saya. SEMUANYA! Aku harap, kamu mengingat itu Julian." Kuteruskan menghabiskan sisa roti bakar yang tinggal beberapa potong lagi. Lalu kutenggak habis air mineral yang baru saja dipesan oleh suamiku .

"Sayang, aku kehabisan uang. Boleh minta ATM yang berwarna gold. Saldonya, pernah kita isi berdua'kan?" tanganku membuka, meminta kartu sakti yang memang berisi uangku dan juga uang Julian.

"Yang mana, Mas?" kali ini Kak Mira yang menatap suamiku. Eh, suaminya juga sih.

"Mm ... yang itu, Sayang. Yang semalam aku kasih," jawab Julian membuatku semakin terperangah. Benar-benar tidak waras lelaki ini.
Dengan wajah masam, Kak Mira mengeluarkan kartu sakti yang aku maksudkan dalam dompetnya. Lalu dengan wajah merah padam, memberikannya padaku.

"Kalian berdua, tidak bermaksud memerasku'kan? Plis, Kak, jika suami aku terpaksa mai berbagi , tapi ATM, aku tidak bisa berbagi. Karena untuk mengisinya, menggunakan keringat. Bukan dari jual diri!" Aku bangun dari dudukku sambil membawa air mineral botol.

"Anes, tunggu!" teriakan alay Julian, membuat dadaku semakin sesak. Tak kupedulikan lagi lelaki itu. Terserah dia mau apa. Saat ini, aku harus bisa menyembuhkan lukaku sendiri. Karena sepertinya, sebentar lagi akan terlepas dari tanganku.

Dengan menggunakan kartu ATM yang ada dalam genggamanku, aku menarik tunai uang beberapa juta rupiah. Saldonya? Jangan ditanya. Karena cukup untuk membeli rumah di area real estate.

"Enak saja, kartu ini diberikan pada Kak Mira? Dasar busuk!" makiku dalam hati. Setelah mendapatkan uang yang aku butuhkan, aku kembali berjalan menuju pasar. Kali ini, aku harus benar-benar menjaga kantong, agar tidak kecopetan lagi.

["Iya, Bik. Uang saya habis. Ini saja saya puasa. Bukanya hanya minum air putih saja. Kemarin, ada teman saya kecopetan, jadi uang untuk membeli obat Teteh, terpaksa saya pakai dulu. Tolong talangin dulu ya, Bik. Taka janji, begitu gajian dari cottage, Taka akan kirimkan untuk obat Teteh dan upah Bibik."]

Lelaki itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam kantong. Lalu melanjutkan menyapu latar toko pakaian, tempat aku kecopetan kemarin. Rupanya lelaki itu masih bekerja di sana, mungkin juga tanpa upah, karena menebus pakaian pesananku.

"Hei kamu! Aku bisa menolong masalah keuangan kamu, tapi dengan satu sarat," seruku sembari berjalan menghampirinya. Lelaki itu terdiam menatapku yang kini sudah ada di depannya. Dengan canggung, dia langsung menunduk takut.

"Tidak apa, Non. Saya bisa menyelesaikan ini sendiri. Terima kasih atas tawarannya," ujarnya pelan masih dengan menekuk wajah.

"Saya akan kembali memasukkan kamu ke penjara, jika kamu menolak," balasku tidak mau kalah. Lelaki itu tersentak, lalu menggelengkan kepala dengan kuat.

"Jangan, Non. Ada Teteh saya di kampung, yang butuh banyak uang untuk berobat. Saya jangan dipenjara," ujarnya dengan suara ketakutan.

"Baiklah, kalau begitu. Saya akan bantu kamu, tapi dengan satu sarat." Lelaki itu memberanikan diri menatap ke arahku.

"Apa saratnya, Non?"

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top