10. Bertemu Taka

Aku terdiam memandang deburan ombak di pesisir pantai, tepat di depan cottage tempatku menginap saat ini. Langit yang tadi berwarna terang, sudah berubah jingga. Namun tak membuat pengunjung pantai beranjak dari tempat duduk mereka. Ada yang bersenda gurau dengan anggota keluarganya. Ada pula yang berasik-masyuk dengan pasangannya. Wajah kebarat-baratan cukup mendominasi pemandangan mataku saat ini. Tawa lepas dan juga rona merah malu-malu para wanita yang sedang berbincang dengan pasangannya, membuat hati ini teriris. Mau apa sebenarnya aku datang ke sini tanpa pasangan? Jika hati ini mengatakan untuk menghibur diri, sungguh sangat tidak tepat aku membohongi diriku sendiri. Bagaimana bisa aku berlibur disaat membayangkan bulan madu suamiku dengan wanita lain?

Tok

Tok

“Room service,” suara di balik pintu kamar, membuatku menoleh. Tepat di atas pintu ada jam dinding cukup besar. Aku terlalu asik dengan meratapi nasib, sehingga aku lupa sudah satu jam lalu memesan nasi goreng untuk makan sore. Tubuh ini berjalan dengan malas untuk membukakan pintu.

“Sore, Nona. Mohon maaf mengganggu waktu istirahatnya. Saya mau ….”

“Kamu ….” Mataku membulat sempurna saat menyadari lelaki yang kini memegang baki di hadapanku adalah lelaki yang telah merenggut kehormatanku. Merampas malam pertamaku, sekaligus menghancurkan pernikahanku dengan Julian. Lelaki itu pun nampak terdiam dengan tangan sangat gemetar.

“Bukannya kamu dipenjara? Kenapa bisa kamu ada di sini?” tanyaku dengan mata nyaris keluar dari tempatnya. “S-saya … mm … dibebaskan Tuan Arya. Maaf Nona, saya benar-benar tidak paham bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Saya mohon jangan penjarakan saya. Ada kakak saya yang harus saya bayar biaya rumah sakitnya. Saya mohon Nona.” Lelaki itu bersimpuh di kakiku, masih dengan memegang baki dengan tangan gemetar. Dia sama sekali tidak mengangkat wajah karena takut. Ada sedikit rasa iba, tetapi hanya nol koma satu persen. Sisanya aku benar-benar muak dengan lelaki ini.

“Lelaki miskin memang selalu punya banyak cara untuk terlihat iba. Apa kamu pikir saya percaya? Saya akan meminta papa saya memenjarakan kamu kembali. Enak saja baru beberapa hari dipenjara, kamu sudah bebas. Tidak sebanding dengan apa yang saya rasakan saat ini. Coba kamu angkat kepala dan lihat saya. Apakah wajah pengantin baru seperti saya, nampak bahagia setelah semua kamu merusaknya?”

“Maafkan saya, Non. Saya tidak berani. Saya hanya orang biasa yang bekerja sungguh-sungguh untuk keluarga. Saya tidak tahu kenapa bisa ada di kamar itu. Apa yang harus saya lakukan agar Non mempercayai saya? Saya sungguh tidak berani berbuat macam-macam dengan anak pemilik perusahaan tempat saya bekerja. Pasti ada yang menjebak saya, tapi saya tidak tahu siapa. Saya juga tidak merasa punya musuh di dapur hotel.”

“Pergilah! Apapun yang kamu katakan, tidak akan bisa mengembalikan nasib burukku. Jangan pernah muncul lagi di hadapanku, walau sedetik!” kurampas baki makanan dari tangannya. Lalu kubanting pintu kamar dengan sangat kuat. Tak kupedulikan mata para pengunjung yang kebetulan lewat di depanku tadi. Dunia ini begitu luas, tapi kenapa bisa lelaki itu yang malah aku temui di sini?

Nafus makanku pun sirna. Baki kuletakkan begitu saja di atas meja. Kembali air mata ini mengalir dengan sangat deras karena menyesali diri dan nasib. Entah rahasia apa yang Tuhan tetapkan pada takdirku, tapi ini semua aku rasakan terlalu sakit. 

Suara ponsel berdering. Aku merasa begitu bodoh karena lupa mematikan benda pipih itu. papa, Bunda, dan juga Mama, serta abangku Doni pasti mengkhawatirkanku. Namun lidah ini masih kelu untuk menceritakan masalah rumah tanggaku. Biarlah semua aku selesaikan sendiri. Jika memang ini suatu jebakan, maka aku harus menemukan siapa dalangnya. Aku akan mencari jalan sendiri, agar semua ini terkuak.

“Papa tadi telepon ya? Maaf, Pa. Anes sedang di luar bersama Julian. Nanti Anes telepon balik ya, Pa.”

Send

Maafkan Anes, Pa. Sejujurnya tak ingin membohongi Papa. Anes hanya tidak ingin Papa khawatir akan keadaan rumah tangga Anes. Biarkan Anes mencari tahu semuanya sendiri. Aku bertekat dalam hati. Keluarga besarku tidak boleh tahu, jika Julian sudah menikah dengan Kak Mira. 

Pukul delapan pagi, aku terbangun karena sinar matahari yang masuk tepat ke dalam kamar. Semalam, aku lupa menutup gorden jendela, sehingga pagi ini aku terbangun karena sinar begitu menyengat di wajahku. Salah subuh pun terlewat. Aku bergegas turun dari ranjang, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Pagi ini, aku berencana akan berenang. Siapa tahu, air pantai mampu membuat nasib sial ini pergi dari hidupku. Saat menurunkan kain segitiga, aku melihat bercak darah kecoklatan. Hati ini bersorak. Senyum pun terbit. Aku datang bulan dan itu pertanda aku tidak hamil dari lelaki bajingan itu. kulepas semua kain yang melekat pada tubuh ini, lalu kunyalakan shower dengan deras. Ada secercah harapan saat ini. Paling tidak, ketakutan akan hamil anak orang lain sudah sirna.

Kemeja kebesaran dan pakaian dalam yang sama kukenakan. Berangkat ke Bali modal nekat, tanpa persiapan apapun. Koper Julian dan  Mira saja sengaja kutinggalkan di bandara. Masa bodoh dengan nasib pakaian mereka. Pagi ini, aku berencana akan ke toko pakaian untuk membeli beberapa dres dan juga pakaian dalam. Sepertinya aku akan lama tinggal di sini, sampai rasa sakit dan kecewa ini sedikit berkurang. Kuikat rambut seperti ekor kuda, lalu kuoleskan tipis krim tabir surya yang memang biasa aku kenakan. Sarapan di resto cottage sepertinya membantu suasana galau hati ini dan semoga saja aku tidak pernah bertemu lelaki itu lagi.

Suasana pagi yang berbeda. Jika sebelumnya aku sering ke Bali untuk urusan pekerjaan, sehingga tidak begitu menikmati suasana pagi di sini. Namun kali ini, aku ke Bali dengan luka yang menganga dan ternyata bisa menghirup udara segar dan aroma air pantai yang sangat segar. Segelas kopi susu dan sosis bakar jumbo adalah pilihanku untuk mengganjal lapar di pagi hari.

Hanya lima belas menit sarapan, aku langsung bergegas menyusuri pinggir pantai untuk menikmati matahari pagi di pukul sembilan.  Dengan sandal jepit seadanya dan pakaian kebesaran, tak membuatku canggung. Toh, tidak akan ada siapa pun yang mengenaliku di sini. Kuambil jalan berbelok di sisi kiri pantai. Sudah ada beberapa kios pakaian yang buka, tetapi lebih banyak yang masih tutup. Mungkin karena masih kepagian, atau karena alasan lain. Keadaan ramai dan aku cukup kesulitan untuk memilih beberapa pakaian. Pilihanku jatuh pada empat dress berbahan rayon dengan motif bunga-bunga besar. Lalu dua buah celana pendek, dua buah celana panjang, serta masing-masing setengah lusin bra dan juga celana dalam.

“Berapa, Pak?”  tanyaku saat memberikan tas belanjaanku untuk dihitung.

“Dua juta seratus ribu rupiah,” katanya sambil tersenyum. Mungkin lelaki  itu senang, karena aku berbelanja sangat banyak.

“Bayar pakai debit, bisa tidak?” tanyaku.

“Bisa.” Aku pun mengangguk, lalu meraba tas selempang kecil. Mataku membulat sempurna, saat tas selempangku terasa kosong. Seperti taka da benda apapun di dalamnya. Seketika wajahku panik. Dengan tangan gemetar, kuperiksa isi tas dan benar saja, tak ada dompet, tak ada dua ponselku. Hanya krim tabir surya dan uang receh lima puluh ribuan dan sepuluh ribu di dalamnya.

“Mana dompet dan ponsel saya, Pak?” tanyaku dengan wajah pucat.

“Lho, mana saya tahu. Dicopet mungkin,” katanya dengan suara sedikit khawatir, sedetik kemudian, kembali datar.

“Saya tidak jadi beli kalau begitu,” kataku dengan suara lemas. Air mata sudah tak bisa kubendung. Kenapa kesialan demi kesialan selalu hadir dalam hidupku? Dosa apa yang sudah aku lakukan? Sampai Tuhan menghukumku dengan begitu berat.

“Ye … gimana sih? Kalau memang gak punya duit, jangan ngaku punya duit. Mana belanja banyak pula. Sana pergi!” lelaki setengah baya itu mengusirku dengan cara mendorong tubuh ini dengan cukup kuat. Sayang sekali, tanganku tanpa sengaja menyenggol gelas berisi kopi yang ada di dekat lelaki itu, dan mengotori hampir semua pakaian yang akan kubeli.

“Silakan bayar untuk pakaian yang sudah Anda kotori dengan air kopi ini!”

“Pak, biar saya yang bayar tagihan Nona ini. Uang saya hanya ada lima ratus ribu. Jika msih kurang, biar saya bayar pakai tenaga saya, bagaimana? Saya bisa mengangkat barang, mencuci, memasak, dan pekerjaan apapun. Biarkan Nona ini pergi dan saya yang jadi jaminannya.” 

Bersambung 

Siapakah yang kiranya menolong Anes?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top