Chapter 15


Selama perjalanan menuju ke apartemen, Agreva Dewantara benar-benar tidak bersuara.

Diam seribu bahasa dengan atensi wanita itu yang selalu diarahkan ke luar jendela mobil.

Tak pernah sedetik pun dialihkan padanya.

Bukan berharap Agreva akan curi-curi pandang ke arah dirinya, hanya saja sikap ditunjukkan wanita itu sangat berbeda dari biasanya.

Tadi, saat mereka dalam perjalanan ke kediaman utama keluarga Dewantara, ia dan juga Agreva sempat sedikit berdebat oleh sindiran wanita itu mengenai betapa manis sikapnya pada Sekar.

Namun sekarang, Agreva Dewantara membisu. Seakan-akan memiliki beban pikiran luar biasa.

Apakah karena pertemuan wanita itu dengan pak ketua umum? Mereka membahas topik amatlah serius hingga membuat wanita itu terbebani?

Sial, dirinya begitu penasaran.

Jika dipikirkan secara rasional, dengan sikapnya yang mengedepankan profesionalitas, maka tak patut mencampuri urusan bersifat pribadi.

Apalagi berkaitan akan keluarga Dewantara.

Namun, rasa penasaran tidak dapat dihalau. Jika tidak dituntaskan, akan terus mengganggunya.

"Aku mau turun di lobi."

"Turun di lobi?" Sekala segera mengulang apa yang baru saja dikatakan oleh Agreva.

Upayanya mengonfirmasi kebenaran permintaan wanita itu. Terdengar janggal saja untuknya.

Dan Agreva Dewantara hanya membalas dengan anggukan kecil dalam sekali gerakan kepala. Tak ada penjelasan yang lebih lanjut dari wanita itu.

Sekala pun menuruti, walau tetap merasa aneh akan permintaan Agreva. Tentu, ia akan lakukan pengawasan secara diam-diam nanti.

"Turun di lobi."

Indera pendengaran menangkap jelas nada yang lebih tegas menyertai jawaban dilontarkan oleh Agreva Dewantara, wanita itu tak menatapnya.

Sial! Ia tak suka akan sikap dingin Si Nona.

Apalagi, dirinya berusaha menunjukkan sebuah rasa peduli yang melibatkan empati berlebihan, bukan karena bagian dari tugasnya.

Dan bantahan tidak bisa ditunjukkan, atas apa yang diminta oleh Agreva Dewantara. Harus ia lakukan sesuai perintah, baru kemudian dirinya terapkan semacam investigasi diam-diam.

"Tidak perlu turun, aku bisa sendiri."

Titah kembali diluncurkan sang nona, manakala ia hendak keluar dari kendaraan guna membuka pintu untuk Agreva Dewantara seperti protokol keamanan yang sebagaimana dilakukan.

Hendak ditolak perintah wanita itu, namun sang nona sudah lebih dulu keluar tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan sudah melangkah begitu cepat, hingga membuatnya sampai sulit mengejar

Agreva Dewantara menaiki lift. Dan untung saja ia bisa ikut masuk ke dalam dengan rentangan waktu seperkian detik sebelum pintu menutup.

Sekala melihat lantai yang tuju, ternyata bukan menuju apartemen ditinggali Agreva Dewantara. Melainkan naik ke bagian rooftop gedung.

Sekala sebenarnya ingin bertanya, namun karena menyadari kondisi sang nona sedang tidak baik. Ia memilih diam dan hanya mengawasi saja.

Tak berselang lama, mereka berdua pun sampai di tempat tujuan, dibiarkan Agreva Dewantara keluar lebih dulu. Lalu, diikuti dari belakang.

Wanita muda itu pun berjalan ke arah pagar besi yang mengelilingi rooftop. Ia memberikan jarak hampir lima meter guna menjaga ruang.

Dilihat punggung Agreva Dewantara bergetar. Tak lama, telinga menangkap suara isakan.

Wanita itu tengah menangis?

Karena merasa situasi semakin genting, segera saja didekati sang nona, upayanya memastikan kondisi wanita itu. Jelas sedang tidak baik-baik saja. Firasatnya terus mendorong bertanya.

Namun seperkian detik berdiri di dekat Agreva Dewantara, ia menerima pelukan sang nona.

Dirinya didekap dengan amat erat. Tangisan dari Agreva Dewantara semakin kencang. Dan hal tersebut tidak membuatnya merasa tenang.

"Aku hiks ... aku nggak mau hiks ..."

"Aku nggak mau dijodohkan."

"Aku nggak suka laki-laki itu hiks ..."

"Aku cuma suka dengan kamu, Mas Sekala."

"Aku nggak mau nikah dengan orang itu hiks."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top