Chapter 14
Setelah tadi pagi dibuat jengkel, sore ini Sekala Adyatama malah memanaskan dadanya karena cemburu melihat interaksi pria itu dengan sang mantan kekasih. Mereka tampak akrab.
Kedekatan tersebut seperti dapat menamparnya. Apalagi, sikap Sekala Adyatama sangat manis pada wanita bernama Sekar Gusia itu.
Selalu tersenyum, bicara lembut, bahkan atensi tak dipindahkan saat mereka saling bicara, tentu merupakan perlakuan terang-terangan dari sang ajudan secara istimewa pada sang mantan pacar.
Dan belum pernah sekalipun begitu padanya.
Iri? Sudah jelas!
Kecemburuan sangat panas hingga dada panas.
Wanita mana pun di dunia ini, pasti berharap disikapi dengan manis dan spesial oleh orang yang tengah disukai, sayang tak didapatkannya.
Sekala Adyatama selalu jual mahal!
Dingin, tak lembut, bahkan cenderung tak punya perhatian khusus padanya sebagai pria dewasa.
Perlindungan, pengamanan, dan juga sikap siaga sang ajudan hanya sebatas memenuhi tugas.
Apakah dirinya tidak memenuhi kriteria?
Kurang cantik? Cukup kurus? Bukanlah wanita yang manis? Tak seksi? Atau ada lagi?
Haruskah ditanyakan langsung pada sang ajudan tampan agar ia mendapat jawaban secara pasti?
"Menyebalkan sekali!" Agreva amatlah sengaja menggerutu dengan keras agar didengar Sekala Adyatama yang duduk di sebelahnya.
Bagaimana reaksi ditunjukkan oleh pria itu?
Oh jelas hanya diam. Tak menoleh sama sekali. Jadi, mustahil pula akan bertanya padanya akan tanggapannya atas reuni mantan kekasih.
Andaikan memang ditanyakan, maka ia dengan amatlah jujur mengutarakan ketidaksukaan. Dan bagaimana respons dari ajudan tampan itu.
"Dasar tidak peka," gerutunya kembali.
"Lebih baik aku pergi," ujar Agreva lebih keras agar didengar oleh Sekala Adyatan yang punya kepekaan pendengaran lumayan tajam.
Oh, tentu saja, Agreva langsung melakukan apa yang dikatakan. Langkah kaki digerakkan cepat menuju lantai dua restoran lewat tangga.
Meninggalkan Sekala Adyatama di belakangnya tanpa melapor ke pria itu, kemana dirinya akan pergi. Biarkan saja nanti ia kena marah.
Ya, dibandingkan harus menyaksikan lebih lama interaksi dua mantan kekasih yang berbincang dengan hangat, akan bagus menyingkir saja.
Saat Agreva sudah sampai di atas, ponsel lantas berdering tandakan ada panggilan masuk. Lekas diambil handphone dari dalam tasnya.
Ternyata dari sang ayah.
"Selamat siang, Pa," sahut Agreva formal.
Ayahnya langsung mengutarakan perintah agar ia datang ke kantor partai pusat guna bertemu. Sudah pasti sang ayah akan bicara hal serius.
"Papa mau membahas apa?"
"Apa ada dana investasi tambahan untuk saham? Atau Papa ingin aku menganalisis saham?"
Agreva pun coba menggali informasi dari sang ayah, semacam memancing bahasan apa yang sekiranya hendak orangtuanya bahas.
Jika menyangkut pekerjaan, maka ia tidak perlu merasa cemas berlebihan, tapi andai topiknya tak berkaitan akan program investasi, maka ia patut waspada serta juga mempersiapkan diri.
Ternyata, bukan tentang pekerjaan.
Perasaan Agreva mendadak tidak enak, tapi ia memutuskan tak bertanya lebih lanjut. Bisa-bisa hatinya semakin tidak tenang selama perjalanan.
"Aku akan ke sana sekarang, Pa."
Setelah sang ayah membalas, Agreva pun segera menutup sambungan telepon di antara mereka.
Lantas, bergegas turun ke lantai dasar lagi. Ingin secepat mungkin meninggalkan restoran supaya bisa segera pula menyelesaikan urusan.
Manakala tiba di lantai satu, Agreva sudah tak mendapati Sekala Adyatama mengobrol dengan mantan kekasih pria itu, tidak ada siapa-siapa.
Si ajudan tampan mendekatinya.
"Ada apa, Nona?"
"Kita ke kantor pusat," jawab Agreva cepat seraya lanjut berjalan keluar dari restoran.
Tentu menuju ke kendaraannya.
Sekala Adyatama mengikutinya kali ini. Bahkan dengan sigap membukakan pintu mobil untuk dirinya, sebagaimana salah satu tugas pria itu.
Si ajudan tampan juga lekas menyusul masuk ke dalam kendaraan. Langsung melajukan dengan kecepatan yang lumayan kencang.
Untung kantor partai pusat tidak cukup jauh, dan bisa ditempuh kurang lebih lima belas menit jika tak ada kemacetan panjang terjadi.
Apalagi, Sekala Adyatama memiliki bakat dalam mengemudi yang amat bagus. Mudah menyalip kendaraan-kendaraan di depan mereka.
Seakan tahu cara mempersingkat waktu demi bisa sampai di tempat tujuan dengan lebih cepat.
Benar saja, hanya butuh sepuluh menit dalam menempuh jarak belasan kilometer. Mereka tiba di kantor partai pusat dengan selamat pula.
Agreva turun di lobi depan, sedangkan Sekala Adyatama akan memarkirkan mobil di basemen.
Agreva disambut dengan hormat oleh beberapa kader dan staf yang melintas di sekitarnya.
Tentu ia harus menyapa dengan senyum ramah, tanpa berhenti berjalan menuju ke lift yang akan mengantarnya ke ruangan kerja sang ayah.
Letaknya paling atas, butuh dua menit untuk bisa dijangkau dengan lift khusus disiapkan untuk para petinggi partai, termasuk dirinya.
Semakin dekat menuju tempat tujuan, Agreva kian tegang. Perasaan tidak bisa tenang.
"Selamat siang, Bu Gre."
"Selamat siang, Ibu Agreva."
"Selamat siang, Nona Greva."
Para staf yang bekerja sebagai asisten-asisten pribadi sang ayah, menyapanya silih berganti.
Tentu, dua pengawal berjaga di depan ruangan kerja sang ayah menunjukkan sikap hormat pada dirinya, sebelum akhirnya membukakan pintu.
Agreva tak lupa mengucapkan terima kasih pada mereka, baru kemudian masuk ke dalam.
Mata menangkap jelas sosok sang ayah tengah berbincang akrab bersama seorang pria muda dalam setelan kerja yang tampak amat rapi.
"Sudah datang, Nak?"
Ayahnya sadar akan kedatangannya.
"Selamat siang, Papa."
"Kemarilah, Putriku. Papa ingin mengenalkan kamu dengan putra sahabat Papa, namanya Will Stoven. Dia baru datang dari Jerman."
Agreva langsung menarik kesimpulan jika pria muda blasteran itu akan dijodohkan dengannya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top