Chapter 10
Agreva keluar kamar terakhir, hanya tadi pagi.
Sudah dihabiskan waktu selama delapan jam di dalam ruangan tidurnya. Benar-benar berussha menikmati hari libur dengan bersantai ria.
Rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan.
Namun, ditengah suasana weekend tanpa beban, ia pun tetap memilih memantau koin-koin kripto andalan dalam exchange internasional.
Jika ada penurunan, maka harus disiapkan cepat pengamanan untuk uang-uang dinginnya yang hampir berjumlah seratus milyar rupiah.
Jelas terhitung fantastis. Jadi setiap risiko dalam trading harus dilakukan dengan matang agar tak terlalu banyak merugi, andai pasar kripto jatuh secara tiba-tiba, walau sudah dianalisis.
Tok!
Tok!
Tok!
Bukan ketukan pertama dilakukan oleh Sekala Adyatama, yang perdana tadi, sekitar lima belas menit lalu. Namun, dipilih untuk mengabaikan.
Sebagai ajudan yang ditugaskan guna menjaga dirinya, sudah pasti Sekala Adyatama secara berkala akan mengecek kondisinya.
Tok!
Tok!
Tok!
Kembali pintu kamarnya diketuk dari luar.
Yash! Sangat menyebalkan!
Dari kemarin, si pengawal tampan yang biasa dikaguminya, malahan menjadi alasan utamanya merasa jengkel. Benar-benar tak terduga.
Apalagi mulai hari ini, Sekala Adyatama akan berada dekat dengannya selama dua belas jam setidaknya, sesuai aturan kerja pria itu.
Dan ketika sedang sebal dengan seseorang, ia perlu semacam ruang untuk menghindar. Tapi seperti tak bisa diperlakukan ke ajudan itu.
Bahkan, baru beberapa jam saja dikurung diri di dalam kamar, Sekala Adyatama sudah mencoba untuk memancingnya berkomunikasi lagi.
Tok!
Tok!
Tok!
Agreva sudah tidak bisa menolerir lagi apa yang dilakukan oleh sang ajudan. Ia pun bergegas saja keluar dengan tampangnya paling jengkel.
Berdiri tepat di ambang pintu kamar, kemudian.
Jaraknya dan Sekala Adyatama tidak lumayan jauh, sehingga bisa dilihat tatapan pria itu.
Mulai dari atas kepala sampai ujung kakinya secara saksama diperhatikan sang ajudan.
“Kemeja dan celana panjang.” Agreva menyebut pakaian yang tengah dikenakannya.
“Apa salah lagi yang aku gunakan, Mas?”
“Tidak salah, Nona.”
“Lalu, apa masalahnya?” Agreva pun bertanya to the point. Ingin tahu tujuan Sekala Adyatama.
Pasti ada yang hendak pria itu sampaikan, ia pun sudah lumayan hafal akan sikap sang ajudan.
Jadi daripada basa-basi dan membuat suasana hati semakin buruk oleh rasa jengkel, lebih baik mengonfirmasi cepat tujuan Sekala Adyatama.
Tentu bisa segera selesai juga, ia pun dapat balik ke kamar tanpa gangguan apa pun.
“Saya harus memastikan kondisi Anda, Nona.”
“Memastikan bagaimana maksudnya?”
“Mas Sekala mau melihat aku menangis seharian karena aku sudah ditolak cintanya oleh Mas?”
Agreva kemudian tertawa dengan sinis, merasa miris sebenarnya akan balasan yang baru saja terluncur dari mulut. Namun sudah telanjur ia katakan, tak dapat ditariknya kembali.
Reaksi Sekala Adyatama? Sudah pasti tidak ada. Tetap memasang ekspresi datar layaknya ajudan yang tidak memiliki empati sedikit pun.
Sekala Adyatama mustahil memberi tanggapan atas sindirannya. Paling hanya akan pura-pura tak mendengar, lalu memilih mengabaikan.
Jadi, tidak usah berharap apa pun.
Dan lebih bagus lagi jika dialihkan perhatian ke hal lainnya, dibanding terus bersitegang dengan Sekala Adyatama yang tak akan ada habisnya.
Agreva berencana untuk mencari makan di luar. Perutnya semakin keroncongan karena asupan makanan yang sedikit, harus diisi kembali.
“Mau ke mana, Nona?”
Lihatlah sikap si ajudan tampan, baru beberapa langkah berjalan, dirinya sudah diajukan sebuah kalimat tanya dengan kesan menginterogasi.
Dan diputuskan tak menjawab.
Aksinya tentu menyebabkan Sekala Adyatama tidak suka sehingga ajudan dingin itu berusaha menyamai langkahnya yang mulai berjalan.
Lalu, lengan kanannya digapai.
“Saya tahu Anda marah karena sudah saya tolak, Nona. Tapi, Anda harus tetap sopan dengan saya walaupun Anda tidak suka saya kekang.”
“Saya bertanggung jawab penuh atas kondisi dan keselamatan Anda pada Bapak Ganesha.”
“Jika Anda kenapa-kenapa, saya yang menerima kemarahan dari pak ketum, tolong mengerti.”
“Berhentilah bersikap seperti anak kecil.”
Agreva merasakan panas luar biasa pada bagian dada karena ucapan-ucapan Sekala Adyatama. Ia memilih diam dan tak membalas apa-apa.
Rasanya akan percuma saja.
Lengan kanannya yang masih dipegang, segera saja dihempaskan dengan tenaga kuat. Tentunya dapat langsung terlepas cengkraman si ajudan.
Agreva lalu bergerak kembali ke kamarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top