Chapter 07

Sekala sangat ingin bicara dengan Agreva.

Benar, hanya empat mata.

Dirinya sangat ingin mengonfirmasi tujuan yang tengah wanita itu rencanakan. Ia tak ingin masuk dalam perangkap apa pun dibuat untuknya.

Ucapan Agreva Dewantara, sudah beberapa kali pula tergiang di dalam benaknya. Sangat mampu mengusik ketenangan pikirannya setiap saat.

Ketika bekerja, sudah tentu gangguan apa pun tak ada kaitan dengan masalah pribadi, tidak bisa membatasi profesionalitasnya sebagai ajudan.

Fokus harus tetap dijaga dengan ketat. Melihat secepat mungkin halangan keamanan yang bisa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Ketika tak ada gangguan secara eksternal, justru masalah datang dari putri bungsu bosnya.

Kenapa wanita itu harus berulah dan menyeret namanya? Agreva memiliki masalah apa dengan dirinya? Jika saja memang punya ketidaksukaan khusus padanya, mereks selesaikan saja segera.

Bukan malah menciptakan drama yang sangatlah tak membuatnya nyaman, terutama ketenangan batin. Apalagi, perkaranya belum selesai.

Besok.

Ya, dalam waktu dua puluh empat jam kedepan, ia sudah harus menuntaskan masalah ini dengan Agreva Dewantara. Tak boleh ditunda lagi.

Andai mereka harus menciptakan kesepakatan agar wanita itu tak banyak berulah, maka ia tak akan ragu menerima perjanjian yang diajukan.

"Sekala ....,"

"Sekala ....,"

Panggilan berasal dari Pak Ganesha Dewantara, lewat walkie-talkie yang biasa mereka gunakan untuk saling berkomunikasi di rumah.

Sekala langsung saja mengambil benda tersebut. Baru beberapa menit lalu ditaruh di atas meja.

"Selamat malam, Pak Ganesha."

"Saya di sini." Sekala melanjutkan untuk beri tahu jika dirinya masih terjaga dengan baik.

"Apa bisa kamu menemui saya di ruangan saya, Sekala? Saya ingin kita bicara."

"Baik, Pak. Saya akan ke sana."

Sekala lalu bergerak memakai sepatunya. Ia pun selesaikan dalam hitungan detik saja.

Kaki dibawa cepat keluar dari kamar. Bergerak menuju tangga untuk naik ke lantai tiga, dimana ruangan kerja sang bos berada.

Sekala sampai dalam waktu yang singkat.

Pintu diketuk beberapa kali, baru kemudian ia buka dengan sikap formal seperti biasa.

Bapak Ganesha Dewantara duduk di sofa.

"Selamat malam, Pak." Sekala mengucapkan kalimat sapaan wajibnya dengan hormat.

Badan dan kepala dibungkukan beberapa detik.

"Duduk, Sekala."

Perintah sang atasan segera dilakukan. Ia pilih kursi yang berada di sebelah Bapak Ganesha.

Mata dijaga, tak terlalu memandang tepat pada sosok bosnya, namun tetap menelisik netranya.

"Saya ingin bicara dengan kamu, Sekala."

"Membicarakan apa Pak Ganesha?" tanyanya dengan hormat, suara sopan tetap dijaga. Walau ia tahu pembicaraan mereka bersifat privat.

"Anak saya ... Agreva."

"Ada apa dengan Nona Agreva?" Sekala pun tak ingin berbasa-basi, hendak segera diarahkan ke topik utama jika memang harus dibahas.

"Apa benar anak saya menyukai kamu?"

"Dia menyatakan perasaannya padamu, Sekala? Dan kamu sudah menolaknya beberapa kali?"

Hanya butuh seperkian detik baginya tunjukkan balasan berupa anggukan, guna membenarkan.

Namun balasan yang diperlihatkan, tentu tidak akan cukup, harus dibarengi dengan penjelasan.

"Nona Agreva pernah meminta pada saya untuk menjadi pacarnya. Tapi saya menolak."

"Kamu tidak menyukai anak saya, Sekala?"

"Saya belum siap menjalin hubungan bersama seorang wanita, termasuk dengan Nona Agreva."

"Kamu berniat menikah atau tidak, Sekala?"

"Iya, Pak Ganesha. Saya tetap punya tujuan di hidup saya untuk menikah, tapi tidak sekarang."

"Bagaimana jika saya memerintahkan kamu dan putri saya menikah, apa kamu mau, Sekala?"

"Saya tidak keberatan kamu menjadi menantu saya." Pak Ganesha memperjelas restu beliau.

"Kamu akan masuk partai dan memegang posisi sebagai salah satu anggota dewan penasihat."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top