Chapter 05
“Sekali lagi kamu bandel, aku akan kirim kamu ke Jerman untuk urus perusahaan Papa di sana.”
Peringatan serius berasal dari saudari sulungnya, Agratha Dewantara. Si kakak paling dingin.
“Aku setuju, Kak. Sebelum adik kesayangan kita ini terus buat Papa, Mama, dan kita pusing.”
“Ada aja tingkahnya yang tidak terduga.”
Komentar-komentar bernada pedas selanjutnya dilontarkan kakak keduanya, Agrima Dewantara.
“Kami serius, Agreva. Dengar tidak?”
Agratha yang bicara lagi, kali ini.
Dan sebagai tanggapan yang paling cepat bisa ditunjukkan, yakni anggukan-anggukan kepala beulang dalam gerakan amat meyakinkan.
“Aku nggak akan ulangi lagi kejadian kemarin.”
“Soal, aku yang mau Kak Gratha dan Kak Grima kirim ke Jerman, aku nggak keberatan.”
“Aku juga senang saja tinggal di Jerman.”
“Tapi siapa yang akan ngurus investasi-investasi Papa di sini, kalau aku dikirim ke Jerman?”
“Kak Gratha fokus ngurus partai karena bentar lagi pemilu. Kak Grima juga lagi hectic ngurus perusahaan-perusahaan tambang DT Corp.”
“Aku dari dua tahun lalu, ditugaskan Papa untuk urus investasi. Cari modal untuk pemilu nanti.”
“Benar juga, ya, Gre?”
Sang kakak tengah menanggapi pertama.
“Nah akan rugi keluarga kita, kalau aku dikirim ke Jerman. Papa masih butuh dana satu triliunan lagi untuk dana kampanye calon presiden.”
“Aku masih berupaya cari instrumen investasi yang bisa untung ratusan persen tiap bulan, jadi untul dua tahun lagi, dana bisa terkumpul.”
Agreva seperti merasa sukses menyelamatkan diri sendiri akan opini-opini masuk akalnya. Ia tak akan mau pindah ke Jerman. Lebih suka saja menetap di Indonesia dan mengurus investasi.
Celotehan bergantian yang diluncurkan kedua kakak perempuannya, tak akan membuatnya jadi tertekan, walau mereka mengomel-ngomel.
Justru ia merasa senang karena dengan banyak nasihat dilontarkan, menandakan kedua saudari kesayangannya tetap memiliki perhatian yang besar pada dirinya, walau mereka sangat sibuk.
Sebagai wanita karier dengan bisnis sama-sama besar dan juga berpolitik, ia tentu tak gampang bisa berjumpa dengan kedua kakaknya.
Hari ini, pertemuan pertama setelah satu bulan yang terakhir, itu pun makan malam di rumah orangtua mereka bersama kakak-kakak iparnya.
Jika saja sang ayah tak mengadu akan aksinya semalam pada Agratha dan juga Agrima, kedua kakak kesayangannya pasti tidak akan tahu.
“Jangan buat ulah, Gre. Walau Harun itu masuk anggota partai kita, kamu tidak harus bersikap santun dan meminta apa yang dia mau.”
“Oke, Kak.” Agreva masih dengan santai beri tanggapan atas nasihat kakak sulungnya.
“Untung kamu cuma diajak ke restoran, andai ke tempat yang kurang bagus, gimana, Gre?”
Pertanyaan bernada cemas dilontarkan saudari perempuannya satu lagi. Dan itu membuatnya sedikit merasa tidak enak hati karena memang sudah menyebabkan kakak-kakaknya cemas.
“Iya, iya.”
“Nggak akan aku ulangi lagi.”
Dipilih saja mengakui kesalahan dibandingkan harus mendengar kedua saudarinya mengomel lagi. Celetukan mereka cukup pedas.
“Tapi benar kamu tidak diapakan Harun itu?”
“Nggak diapa-apakan aku, Kak Grima. Lagian kalau dia berani macam-macam, aku pasti akan keluarkan jurus bela diri andalanku.”
“Aku buat dia babak belur.”
Sang kakak langsung tertawa, padahal ia belum mengeluarkan candaan yang terlalu lucu.
Dan kakak sulungnya tak ikut terbahak, saudari perempuannya itu masih anteng memasang raut wajah yang datar sembari memandanginya.
Memang cukup menakutkan baginya setiap kali menghadapi sikap serius diperlihatkan Agratha Dewantara, terlebih ia yang membuat masalah.
“Papa menelepon.”
Pemberitahuan diluncurkan saudarinya satu lagi, Agrima Dewantara, seketika ia menjadi tegang.
“Hallo, Papa.”
“Papa kenapa menelepon?”
“Papa mau ke sini? Mau bicara dengan Greva?”
Agreva diserang perasaan gugup yang semakin besar karena sang ayah hendak bertemu. Ia pasti akan dimarahi habis-habisan nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top