Bagian 5

Usaha untuk mengembalikan rasa percaya Dania pada ayahnya menunjukan kemajuan. Memang sulit, tapi bagiku itu tidak masalah. Dania memang tidak mudah dekat dengan siapa pun. Bahkan dekat dengan aku pun butuh kesabaran ekstra. Aku meminta Jordan agar sabar menghadapi Dania. Seperti yang sudah kukatakan padanya, Dania tidak mau dipaksa apalagi dikasari. Dia lebih mudah dibujuk dengan kelembutan.

“Sedang memikirkan apa?”

Lamunanku buyar. Tatapan kulempar ke arahnya. Senyum kusungging. “Nggak mikir apa-apa,” balasku kikuk.

“Kekasih?” tebaknya.

Dahiku berkerut. Senyum kembali kusungging, kembali menatap taman di samping rumah.

“Apa ucapanku salah?” Jordan pun ikut menatap taman yang sedang kutatap.

“Aku tidak pernah memiliki kekasih. Bagiku, memiliki kekasih hanya buang-buang waktu.” Aku menanggapi.

“Terima kasih banyak karena telah membantuku merawat Dania. Sebagai gantinya, aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan. Kamu mau apa? Kuliah? Kursus? Buka usaha?” Jordan memberondong pertanyaan.

Aku menatapnya. “Aku nggak butuh apa-apa. Saat ini, yang ada dalam pikiranku hanya Dania. Merawat amanah dari Kak Diana adalah tujuan utamaku. Bagiku itu sudah cukup.”

“Sabrina. Kamu punya masa depan. Kamu harus ada persiapan untuk masa depanmu. Aku akan memberimu uang untuk keperluanmu jika ingin membeli sesuatu. Kamu pasti memerlukan uang. Aku harap kamu mau menerima uang dariku.” Jordan menyodorkannya amplop coklat padaku.

“Bisa tinggal di sini saja aku sudah bersyukur. Aku ikhlas merawat Dania. Aku nggak bisa menerima sesuatu yang bukan hakku.” Aku menolak.

“Ini hadiah untukmu.”

“Aku mengerti. Tapi aku belum membutuhkannya.” Aku kukuh menolak.

“Bunda!!! Bunda!!!”

Obrolan kami terjeda karena seruan Dania. Aku beranjak dari sofa untuk memastikan keadaan Dania. Nadanya seperti takut. “Ada apa, Marina?” tanyaku pada Marina yang sudah berada di kamar Dania.

“Saya juga nggak tau, Mbak. Tiba-tiba saja Dania menangis pas bangun tidur,” kata Marina.

Tubuh kudaratkan di tepi ranjang. Dania langsung beralih memelukku. Aku mengusap kepala Dania untuk memberi ketenangan. Sepertinya Dania mimpi buruk.

“Ada apa dengan Dania?” tanya Jordan ketika tiba di kamar ini.

Aku menggeleng.

“Apa terjadi sesuatu dengan Dania?” tanya Jordan pada Marina.

“Nggak, Tuan. Sepertinya Nona Dania habis mimpi.” Marina menimpali.

“Dania mimpi?” tanyaku pada Dania dengan nada pelan.

Dania mengangguk.

“Dania mimpi apa? Cerita sama Bunda." Aku membujuk.

“Tadi Nia mimpi Mami. Mami mukanya serem. Nia takut sama Mami." Dania kembali membenamkan wajahnya di dadaku.

Tatapanku beralih Jordan.

“Kamu keluar,” perintah Jordan pada Marina.

Marina pun berlalu dari kamar ini.

“Apa tidak sebaiknya Dania tau?” tanyaku pada Jordan.

“Aku belum siap jika dia tau sekarang. Akan kuatur waktu untuk menziarahi makamnya. Sudah waktunya dia harus tahu tentang ibunya.”

Jika itu keputusan Jordan, maka aku hanya bisa menurut.
Sampai kapan kita akan menyembunyikan hal ini pada Dania terus? Kasihan dia jika kita menutupi tentang kematian Kak Diana.

***

“Pagi, Ayah. Pagi, Om Damian.” Dania menyapa ayah dan omnya ketika kami tiba di ruang makan.

“Pagi juga kesayangan Papa.” Jordan mengecup pipi Dania.

Tidak biasanya Damian pagi-pagi seperti ini ada di ruang makan.

“Om Damian tumben pagi-pagi sudah bangun?" tanya Dania mewakili pertanyaan hatiku.

”Uhuk.” Damian tersedak.

“Om Damian akan mengantar Dania ke sekolah. Om Damian juga akan menjemput Dania.” Jordan membuka obrolan.

Aku hanya mendengar obrolan mereka sambil mengoles selai pada roti untuk Dania.

“Om Alex ke mana?” tanya Dania.

“Om Alex mau antar Ayah ke dokter.” Jordan menyahuti.

“Ayah sakit?” Dania menatap Ayahnya.

“Dania makan rotinya, ya. Jangan lupa baca doa.” Aku mengingatkan Dania sambil mengalihkan obrolan.

Dia belum waktunya tahu mengenai sakit yang diderita Jordan. Aku pun masih belum tahu tentang sakit yang diderita Jordan sehingga dia masih menggunakan kursi roda.

“Om tunggu di mobil. Jangan lama-lama.” Damian mengakhiri sarapannya dan berlalu dari ruang makan.

“Ayo, Dania habiskan sarapannya. Bunda mau ambil tas Dania dulu di kamar.” Aku pun beranjak dari ruang makan.

Setelah meraih tas Dania, aku segera keluar rumah untuk memasuki mobil. Dania sudah berada di dalam mobil bersama Damian.

“Jangan bawa mobil dengan kecepatan tinggi. Kamu membawa Dania dan Sabrina.” Jordan mengingatkan Damian.

Damian hanya cuek.

“Kami berangkat dulu, Kak.” Aku berpamitan.

“Dadah, Ayah.” Dania melambaikan tangan pada Jordan.

Jordan pun melambaikan tangan pada Dania.

Mobil yang kunaiki meninggalkan halaman rumah Jordan. Aku kembali satu mobil bersama Damian. Seperti biasa, dia hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Ini untukmu.”

Pandanganku terali ke arah Damian. Dia menyodorkan amplop coklat padaku. “Apa itu?” tanyaku.

“Terima saja. Jangan jual mahal,” katanya tanpa mengoreksi kalimat.

“Bisa haluskan kata-katamu? Ada Dania di sini.” Aku mengingatkan.

“Kamu membuatku susah. Apa susahnya menerima uang pemberian Jordan? Aku harap ini pertama dan terakhir kalinya aku melakukan hal ini padamu.”

“Simpan saja uang itu. Aku tidak butuh.” Aku menolak.

“Dania. Apa Dania mau es krim setelah pulang sekolah?”

“Jangan memanfaatkan Dania untuk melakukan hal itu,” kataku tegas pada Damian.

“Mau, Om.” Dania langsung antusias.

“Kamu terima atau aku menyuruh Dania agar memaksamu menerima uang ini?” Damian memaksaku.

Kenapa Kak Jordan menyuruhnya agar memberikan uang ini padaku?

“Ada syarat kalau Dania mau es krim.” Damian masih memancingku.

“Aku nggak suka cara kamu.” Aku terpaksa menerima aplop itu.

Jika tahu akan seperti ini, mungkin aku akan memilih menerima langsung dari Jordan daripada melalui Damian.

Kami pun tiba di sekolah Dania. Aku dan Dania turun dari mobil.

“Pukul sebelas aku tunggu di sini. Jangan terlambat.” Damian mengingatkan.

Aku mengabaikan perkataannya, masuk ke gerbang sekolah tanpa ingin mendengar perkataan Damian selanjutnya. Entah kenapa dia tak pernah lembut padaku. Dia kasar dan acuh.

***

Aku keluar dari dalam kamar untuk menuju dapur. Dahaga menyerangku saat tengah malam seperti ini. Sepertinya semua penghuni rumah sudah tidur. Pandanganku beralih pada jam dinding di ruang makan. Waktu menunjukkan pukul satu lebih lima menit. Tubuhku merapat pada dinding saat mendengar pintu terbuka. Bukan khawatir ada maling karena keamanan rumah ini cukup ketat. Aku hanya risih jika ada yang melihat di jam malam seperti ini belum tidur.

“Sonia.”

Seperti suara Damian. Aku pun perlahan berjalan menuju ruang tengah. Benar saja. Damian baru pulang. Dia seperti mabuk. Damian menggumamkan nama 'Sonia'.

“Mbak Ana.”

Jantungku seakan ingin lepas dari tempatnya karena kaget mendengar ucapan Ira. “Kamu bikin aku kaget saja,” kataku padanya.

“Maaf, Mbak.” Ira menunduk.

“Apa dia selalu seperti ini?” tanyaku pada Ira mengenai Damian.

“Kadang-kadang, Mbak. Padahal Tuan Jordan sudah sering memarahi Tuan Damian, tapi Tuan Damian keras kepala.” Ira menjelaskan.

Dia memang keras kepala.

“Kalau begitu, saya mau kompres dulu luka di wajah Tuan Damian.”

“Memang kenapa wajah dia?” tanyaku ingin tahu.

“Kalau sudah mabuk seperti itu, pasti pulang-pulang wajahnya luka-luka seperti habis berantem.”

“Ya sudah, aku akan menemanimu mengompres wajah Damian.” Aku tidak mungkin membiarkan Ira sendirian menangani Damian.

Ira mengangguk.

Langkah kuayun untuk mengikuti Ira menuju ruang tamu. Damian masih sempoyongan berjalan. Ira meletakan mangkuk berisi air di atas meja, lalu mendekati Damian untuk membantunya berjalan menuju sofa.

“Sonia.” Langkah Damian terhenti. Dia menatapku.

Aku terdiam, melangkah mundur ketika Damian mengempaskan tangan Ira lalu berjalan ke arahku.

“Kamu di sini rupanya.” Damian tersenyum menyeringai padaku.


Langkahku terhenti ketika menabrak meja. Damian akan memelukku, tapi aku segera menghindar. Tak sengaja aku menyenggol vas bunga sehingga membuatnya terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara keras.

“Sonia. Jangan jual mahal padaku.” Damian masih menatapku dengan tatapan tak mengerti.

“Damian. Ini aku, Sabrina.” Aku mengingatkannya.

“Ada apa ini?”

Pandangan kualihkan pada sumber suara pertanyaan. Aku bernapas lega karena Jordan tiba di ruangan ini. Damian seketika memeluk tubuhku membuat aku terkejut. Aku berusaha melepas pelukannya, tapi tak berhasil. Karena gerakanku terbatas dan Damian tak bisa mengimbangi pijakannya, kami terjatuh di atas lantai dengan posisi aku di bawah dan Damian di atas tubuhku. Aku masih berusaha untuk terlepas dari Damian, tapi dia semakin mengurungku.

“Damian. Apa yang kamu lakukan?!” Jordan membentak adiknya.

“Damian. Tolong lepaskan aku.” Aku memberontak dari pelukannya.

“Jangan sok suci kau, Sonia. Aku bisa membelimu sesuai harga yang kau inginkan,” katanya persis di hadapan wajahku.

Aku merasa mual ketika menghirup aroma napas Damian.

“Lepaskan Sabrina, Damian!” Jordan menarik kerah pakaian Damian.

Damian tidak tinggal diam. Dia mendorong kursi roda Jordan. Aku memiliki kesempatan untuk kabur, tapi Damian justru menggenggam dua lapis antara jilbab dan pakaianku.

“Damian. Tolong jangan lakukan ini.” Aku memohon pada Damian dengan mata berkaca.

“Jangan harap aku akan melepaskanmu, Sonia.”

“Damian. Aku bukan Sonia.” Air mata tak kuasa kubendung.

Damian akan kembali memelukku, tapi aku menghindar. Terjadilah pakaianku terkoyak.

“ALEXXX!!!” seru Jordan.

Aku bergegas meninggalkan ruangan ini untuk menuju kamar karena Damian masih mengejar. Air mata mengalir di pipi. Aku menutup pintu setelah tiba di kamar dan menguncinya. Napasku naik turun. Pertama kali diperlakukan seperti ini oleh laki-laki. Entah kenapa Damian menuduhku seperti wanita bayaran. Tubuhku merosok ke lantai karena merasa terhina.

“SONIA!!!”

Mataku membulat saat mendengar seruan Damian sambil menggedor pintu kamar ini. Semoga Jordan cepat membuatnya sadar. Terdengar suara gaduh di luar sana. Entah apa yang terjadi.

“Sabrina! Apa kamu baik-baik saja?!” Kali ini bukan suara Damian, tapi suara Jordan.

"Aku baik-baik saja!” Aku membalasnya.

"Apa aku boleh masuk?!”

“Aku ingin sendiri!”

“Baiklah! Semoga kamu baik-baik saja!”

Aku tak membalas, bergegas menghampiri tempat tidur, merebahkan tubuh, lalu memeluk Dania untuk mencari kekuatan. Berharap kejadian tadi hanya mimpi.

***

Kejadian semalam membuatku malu untuk keluar dari kamar. Mungkin akan menjadi perbincangan hangat oleh penghuni rumah ini. Aku sampai tak mengantar Dania ke sekolah. Dania berangkat sekolah bersama Marina. Sarapan pun sampai diantar ke kamar karena aku enggan menampakkan diri. Perhatianku teralih saat mendengar ketukan pintu, lalu disusul pintu kamar ini terbuka. Ira masuk ke dalam kamar ini, lalu menghampiriku. Aku beranjak duduk.

“Mbak. Tuan Jordan mau bicara,” katanya.

“Aku ganti baju dulu.” Aku beranjak dari tempat tidur.

Langkah kuayun menuju lemari, lalu meraih pakaian, dan masuk ke kamar mandi. Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Setelah cukup tenang dan merasa rapi, aku keluar dari kamar mandi.

“Apa aku mengganggumu?”

Aku terkesiap ketika mendengar pertanyaan Jordan. Dia sudah ada di kamar ini.

Senyum tipis kusungging, lalu menggeleng lemah.

“Bagaimana keadaanmu?” tanya Jordan.

“Aku baik-baik saja,” balasku sekenanya.

“Atas nama Damian, aku meminta maaf,” ucapnya tulus.

Seharusnya bukan Jordan yang meminta maaf, tapi Damian yang harusnya meminta maaf padaku.

“Aku pastikan kejadian semalam tidak akan terulang lagi.” Jordan berjanji.

Tubuh kudaratkan di tepi ranjang. Aku menundukan kepala di depan Jordan. Entah kalimat apa yang harus kuucapkan untuk membalas perkataannya. Aku masih merasa malu dengan kejadian semalam.

“Aku tahu kamu masih merasa malu karena kejadian semalam. Kamu tak perlu khawatir. Kejadian semalam hanya aku, kamu, dan Ira saja yang tahu. Damian belum tahu. Aku rasa dia lupa karena semalam terpengaruh alkohol.”

Aku masih diam tanpa ingin membalasnya.

“Aku sudah tak tahu harus berbuat apa untuk mengingatkannya. kami memang sedarah, tapi berbeda ibu. Ibu kita sama-sama orang Indonesia. Papaku asli orang Turki. Dia dibesarkan oleh ibunya, sedangkan aku dibesarkan oleh saudara Papa di Turki. Sejak Papa meninggal, aku mulai mencari keberadaan Damian. Ternyata dia ada di sini. Dia menjalankan bisnis dari Papa. Bisnis yang dia jalani di ambang kebangkrutan. Aku pun berusaha membuat bisnis itu kembali bangkit. Dan perlu kamu tahu. Kakiku seperti ini karena dia.”

Kepalaku terangkat untuk menatapnya. Tatapan kami bertemu.

“Dia sering terlibat balap mobil di Ausie. Suka minum alkohol. Sering berkelahi dengan temannya masalah perempuan. Masalah dalam hidupnya tak pernah habis. Dia putus dengan kekasihnya tanpa sebab yang pasti. Kejadian yang membuatku seperti ini adalah mengenai Damian berjudi. Dia berhutang pada bandar judi dan tak bisa mengembalikannya. Damian dikejar oleh anak buah dari beberapa bandar judi. Karena Damian tidak bisa membayar, pada akhirnya mereka menghajar Damian. Aku datang untuk membantunya. Naas. Aku harus terkena pukulan benda keras di bagian kedua kakiku. Singkat cerita seperti itu. Sejak kejadian itu, dia mau menurutiku jika ingin masih hidup.”

Mereka saudara tiri? Tapi Jordan peduli pada Damian. Dari cerita Jordan, aku mulai bisa mengambil kesimpulan. Damian keras kepala, sombong, dan angkuh.

“Sekali lagi, aku meminta maaf atas nama Damian. Semoga kamu masih mau tinggal di sini demi Dania dan untuk membantuku.”

Egoiskah aku jika meninggalkan Jordan sedangkan dia masih membutuhkan bantuanku.

“Oh, iya. Nanti sore Dania ada kelas renang. Siang ini aku yang akan menjemputnya. Aku akan mengajaknya ke kantor untuk sementara sampai kamu merasa tenang. Aku tak ingin Dania mengganggu ketenanganmu untuk saat ini. Setelah dari kantor, aku akan langsung mengantar Dania ke tempat renang.”

“Aku akan ikut denganmu. Dia pasti akan mencariku. Aku sudah janji akan menjemputnya.”

“Kamu yakin sudah baik-baik saja?”

Senyum kusungging, lalu mengangguk lemah.

“Baiklah. Aku tunggu di luar.” Jordan berlalu dari kamarku.
Aku bergegas menuju lemari, meraih pakaian untuk pergi, dan bergegas mengenakan pakaian itu dengan cepat agar Jordan tidak menunggu lama. Langkah kuayun untuk keluar dari kamar setelah merasa semuanya rapi. Jordan sudah menungguku di halaman rumah.

“Aku sudah siap,” kataku ketika tiba di dekat Jordan.

Perhatianku teralih saat melihat Damian keluar dari rumah, lalu menghampiri mobilnya, dan melajukannya meninggalkan halaman rumah ini. Dia bahkan tak menatap atau menyapa kami. Apa dia mengingat kejadian semalam?

“Ayo, Sabrina.”

Tanpa ingin berpikir panjang, aku pun masuk ke dalam mobil. Alex melajukan mobil menuju sekolah Dania.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top