Bagian 4
Setelah beberapa hari Dania menjalani perawatan di rumah sakit, hari ini Dania sudah dibolehkan pulang. Saat ini, aku sudah tiba teras rumah milik Jordan. Aku merasa kagum dengan halaman rumahnya. Sangat luas. Bangunan rumahnya terlihat megah.
“Bunda. Dania nggak mau pulang ke rumah Ayah. Dania mau pulang ke rumah Bunda. Dania nggak betah di sini.” Dania memohon kepadaku. Sejak di rumah sakit dia sudah berkata seperti itu. Kini, kata-kata itu kembali keluar dari mulutnya.
“Ada Bunda di sini, Sayang. Bunda akan jaga Dania. Kalau Ayah marah-marah, nanti Bunda akan cubit pipinya. Gimana?” Aku membujuk Dania.
“Beneran?”
“Iya, Dong,” balasku antusias.
Tubuh Dania masih dalam gendonganku. Kami pun masuk ke dalam rumah Jordan. Sungguh, aku takjub dengan desain rumah ini. Sangat luas dan mewah.
“Letakan koper Dania di kamar. Suruh Marina merapikan pakaian Dania pada tempatnya. Pakaian Sabrina, letakkan di kamar yang sudah disiapkan untuknya.”
Perhatianku teralih ke arah Jordan yang sedang memberi perintah pada Alex.
Tubuh kudaratkan di atas sofa karena mulai merasa lelah menggendong dania cukup lama. "Dania mau langsung ke kamar atau tetap di sini sama Bunda? Bunda mau bicara dulu sama Ayah," kataku pada Dania.
“Mau sama Bunda saja. Dania nggak mau ke kamar.” Dania memeluk tubuhku erat.
“Apa tidak lebih baik Dania istirahat saja?” Jordan menghampiri kami.
“Dania belum mau ke kamarnya. Sepertinya dia masih trauma. Biarkan dia bersamaku untuk sementara ini. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Aku memulai obrolan serius.
“Iya. Aku mengikuti apa saja untuk kesembuhan dan membuat anakku kembali seperti sebelumnya.” Jordan membalas.
“Untuk tidur, biarkan Dania tidur bersamaku sampai membuatnya tenang. Untuk makan, aku yang akan mengatur apa saja yang akan Dania makan. Untuk sekolah, aku rasa Dania sudah siap.” Aku mengulas.
“Baik. Saya serahkan semua urusan Dania padamu. Apa saja yang kamu butuhkan mengenai uang, cepat beritahu aku. Masalah kebutuhan rumah, kamu bisa berkordinasi dengan Marina. Jika aku tidak merespon telepon, maka kamu bisa hubungi Damian atau Alex. Untuk transportasi, kamu pun bisa hubungi Alex. Semua keperluan Dania ada di kamarnya. Kamarmu pun sudah siap. Beritahu aku jika ada yang kurang menurutmu.” Jordan menjelaskan.
“Terima kasih.” Aku mengangguk paham.
Obrolan kami terjeda saat terdengar suara langkah alas. Terlihat Alex dan Damian menghampiri kami.
“Tuan. Ada yang ingin saya bicarakan.” Alex bersuara.
“Saya akan ke kamar.” Aku beranjak dari tempat duduk. Dania sudah tertidur dalam dekapanku. Lebih baik aku membawanya ke kamar.
“Damian. Antar Sabrina ke kamarnya.” Jordan menginstruksi adiknya untuk mengantarku.
“Kenapa harus aku?” Damian menolak.
Tak ada jawaban dari Jordan. Damian menghampiriku. Dia melangkah lebih cepat agar di depanku. Bahkan untuk menolongku pun tidak.
“Ini kamarmu.” Damian berhenti di depan pintu warna coklat terbuat dari kayu jati.
“Terima kasih,” balasku ramah.
“Kakakku sudah menjelaskan semua yang ada di rumah ini bukan? Jadi aku tak perlu menjelaskan padamu.”
Siapa yang ingin meminta penjelasan darinya?
Damian akan berlalu, tapi aku menghentikannya, “Tunggu,” panggilku.
Dia menghentikan langkah tanpa membalikkan tubuh.
“Bisa tolong panggilkan pembantu untuk menemuiku? Aku ingin mereka membantuku mengambil pakaian Dania dan membawanya ke kamarku.”
“Ada lagi?” tanyanya.
“Tidak ada.” Aku tersenyum getir. Dia sangat berbeda, tidak seperti ketika pertama kali bertemu.
Langkah kuayun untuk masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh Dania di atas tempat tidur. Aku meraih koper berisi pakaian yang Alex ambil dari rumah. Sambil menunggu Dania bangun dari tidurnya, lebih baik aku mandi. Selama di rumah sakit, aku tak puas mandi karena Dania tak memberi waktu lama untuk membersihkan tubuh.
Dania masih belum bangun setelah aku selesai mandi. Lebih baik waktu kugunakan untuk merapikan pakaian sambil menunggu Dania bangun. Selama di rumah sakit, dia merengek minta pulang sedangkan dokter masih melarang untuk pulang karena hasil medis belum keluar. Setiap malam dia bangun dan meminta pulang. Aku berusaha membujuknya agar bertahan sampai kakinya membaik.
“Bunda.”
Gerakanku terhenti saat Dania memanggil. “Iya, Sayang.” Aku menoleh ke arahnya.
“Kita di mana?” tanyanya, lalu pandangannya menjelajah kamar ini.
“Di kamar Bunda. Eum ... lebih tepatnya kamar kita.” Aku meralat.
“Di rumah Bunda?” Dania menatapku.
“Bukan. Masih di rumah Ayah.” Aku tersenyum.
Ekspresi wajah Dania berubah murung. Aku memahami jika dia masih takut tinggal di sini. Entah apa yang terjadi sehingga membuatnya seperti ini. Aku hanya mendengar kejadiannya dari Jordan. Apa kejadian itu sangat parah sehingga membuat Dania merasa takut seperti ini? Tidak biasanya Dania merasa trauma seperti ini. Dania merasa tertekan.
“Kapan Dania ketemu Mami lagi, Bunda?”
Pertanyaan Dania membuat lidahku kelu. Dia belum tahu jika Kak Diana meninggal. Terakhir, Dania melihat Kak Diana saat di rumah sakit. Aku selalu mengatakan padanya jika Kak Diana sakit. Seketika mataku berkaca.
“Bunda kenapa diam terus?”
“Nanti, ya. Dania sekarang mandi. Habis itu makan. Dania mau makan pakai apa?” Aku mengalihkan obrolan.
“Dania mau makan nasi goreng pakai sosis sama telor.”
“Oke. Sekarang Dania mandi.” Aku membantu Dania membuka pakaian.
Sudah lama Dania tidak mandi. Selama di rumah sakit dia hanya dilap saja. Aku pun menggendong Dania dan memandikannya di kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku menggendongnya menuju ruang tengah. Di sana sudah ada Jordan yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
“Bisa titip Dania sebentar? Aku mau bikin nasi goreng buat Dania. Tadi siang dia hanya makan sedikit,” kataku pada Jordan ketika tiba di dekatnya.
“Tentu saja. Kemari, Dania.” Jordan menepuk sofa yang ada di sampingnya.
“Dania tunggu di sini sama Ayah. Bunda mau bikin nasi goreng dulu buat Dania,” kataku pada Dania.
“Dania nggak mau sama Ayah. Dania mau sama Bunda.” Dania menggeleng.
Napas kuhela. “Ya sudah, Dania ikut Bunda ke dapur.” Aku pun berlalu. Langkahku terhenti ketika mengingat sesuatu. Aku membalikkan tubuh. “Maaf. Alangkah baiknya jika di ruang tengah depan tivi ada karpet untuk bermain Dania,” kataku pada Jordan.
“Iya. Nanti akan kusuruh Alex untuk memasang karpet di area sini.” Jordan menimpali.
Aku mengangguk, berlalu menuju dapur. Tak lama, Jordan menyerukan nama Marina untuk menemuinya. Entah apa yang dia butuhkan.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya salah satu pembantu.
“Jangan berlebihan seperti itu. Panggil saya Ana. Kita seperti seumuran.” Aku tersenyum padanya.
Dia hanya menunduk.
“Siapa namamu?” tanyaku.
“Zakira, Nona. Panggil saja Ira.”
Tubuh Dania kudaratkan di kursi dekat meja bar. “Dania tunggu sini, ya. Bunda mau masak dulu. Kalau Dania gendong terus, nanti gimana Bunda mau masak nasi gorengnya? Di sini sudah nggak ada Ayah.”
Dania mengangguk.
“Mulai sekarang, kalian panggil aku, Mbak Ana. Nggak ada nyonya atau nona di sini.” Aku menerima celemek dari Ira. Dan kebetulan Marina sudah ada di dapur.
“Tapi, No-“
“Aku tidak mau ada bantahan.” Aku berjalan menuju penanak nasi. “Di mana tempat piring?” tanyaku pada mereka.
“No-. Maksudku, Mbak Ana mau masak apa? Biar saya yang masak.” Marina menimpali.
“Dania mau makan nasi goreng buatanku. Bisa kalian bantu aku?” Aku menatap Marina dan Zakira bergantian.
Mereka mengangguk.
“Tolong ambilkan nasi, bumbu-bumbu untuk bikin nasi goreng, dan alat masaknya. Jika kalian mau, kita akan membuat nasi goreng untuk bersama.”
Marina dan Zakira bergerak sebelum aku selesai berkata. Dalam hitungan beberapa menit, semua sudah tersaji di atas kitchen. Mereka benar-benar cepat dalam bekerja. Apa Jordan sangat otoriter sehingga mereka melakukan perintah secepat ini?
“Hari ini kalian masak apa?” tanyaku pada mereka.
“Kami tidak masak, Mbak. Nanti ada yang mengantar makanan dari restoran Tuan Jordan untuk makan siang dan makan malam. Kami biasanya hanya membuat roti bakar dan jus saja untuk sarapan.” Marina membalas pertanyaanku.
“Tapi di rumah ini ada bahan-bahan untuk memasak, ‘kan?” Aku kembali bertanya sambil berkutat di dapur.
“Kami sengaja membelinya untuk jaga-jaga. Kadang Pak Alex ingin memasak mie atau Tuan Damian.”
Setidaknya pekerjaan mereka berkurang karena tidak memasak. Lebih baik aku fokus memasak nasi goreng. Kasihan Dania jika lama-lama di dapur. Bau asap.
“Untuk kalian bisa tambahkan cabai bubuk sendiri. Aku memasaknya tidak pedas karena untuk Dania.” Aku menuangkan nasi goreng ke piring.
“Iya, Mbak.” Ira membalas.
Aku menghampiri Dania dan meletakkan nasi goreng di hadapannya. Matanya berbinar karena melihat sosis yang sengaja aku lebihkan dalam nasi gorengnya. Dia melahap nasi goreng buatanku. Sambil mengawasi Dania makan, aku banyak bertanya pada Ira tentang rumah ini.
***
Hari ini, Jordan berencana mengajak Dania untuk meninjau salah satu sekolah yang direkomendasikan. Sudah tentu aku akan ikut bersama mereka karena Dania masih takut dengan ayahnya. Dania sudah mau belajar sendiri tanpa bantuanku. Aku dan Dania menghampiri meja makan.
“Selamat pagi,” sapaku pada Jordan.
“Selamat pagi.” Jordan membalas sapaanku. "Anak Ayah rupanya sudah siap sekolah,” lanjutnya.
Ira menarik kursi untuk aku dan Dania. Setelah Dania duduk, aku pun duduk di sampingnya.
“Dania mau sarapan apa?” Aku menawari Dania sambil membuka piring untuknya.
“Nasi goreng.” Dania meraih garpu dan sendok.
Aku menyendok nasi goreng untuk Dania.
“Setelah dari sekolah, kita akan ke mal untuk membeli peralatan sekolah dan apa saja kebutuhan untuk Dania.” Jordan membuka obrolan.
“Bukankah peralatan sekolah Dania yang lama masih bisa dipakai?”Aku memastikan.
“Aku ingin semuanya baru ketika Dania masuk ke sekolah baru.” Jordan menimpali.
“Iya,” balasku singkat tanpa ingin memperpanjang obrolan. Jika sudah menyangkut Dania, Jordan akan terus mencari kata untuk mengalahkan pendapatku.
“Dania. Ayah tunggu di depan. Habiskan makanan Dania, nanti jika sudah selesai, kita langsung berangkat ke sekolah.” Jordan mengusap mulutnya dan beranjak meninggalkan ruangan ini.
“Ayo. Habiskan sarapan Dania.” Aku menatap Dania.
“Sudah, Bunda.” Dania meraih air putih dan meminumnya.
“Mbak Ira,” panggilku.
“Iya, Mbak.” Ira menyahut.
“Aku dan Dania ke sekolah sekarang. Nanti sebelum aku pulang, usahakan daging giling sudah tidak beku.” Aku mengingatkannya.
“Iya, Mbak. Ada yang bisa aku bantu bawa ke luar?” Ira menawari.
“Nggak, Mbak. Terima kasih. Mbak bereskan saja semua ini.” Aku tersenyum.
“Iya, Mbak.”
“Ayo, Dania,” ajakku sambil membantunya turun dari kursi. “Aku pamit, Mbak.” Aku meninggalkan ruang makan.
Aku dan Dania masuk ke dalam mobil ketika Alex membukakan pintu untuk kami. Setelah siap, mobil ini melaju menuju sekolah yang akan Jordan tawarkan pada Dania.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, kami tiba di sekolah yang dituju. Aku kagum melihat pemandangan taman di sekolah ini. Tidak terlihat seperti sekolah pada umumnya. Terlihat seperti rumah. Aku mengikuti langkah Alex menuju ke dalam sambil menggandeng Dania.
“Bunda. Nia nggak mau masuk ke dalam. Nia mau mainan itu saja.” Dania menolak ikut. Dia rupanya tertarik dengan permainan pasir.
“Kamu temani saja. Biar aku yang menemui kepala sekolah.” Jordan mengizinkan.
Kemenangan untuk Dania karena mendapat izin untuk bermain.
“Dania mau sekolah di sini?” tanyaku Dania.
“Mau. Tapi sama Bunda.” Dia tak menatapku.
Lebih baik aku biarkan Dania fokus bermain. Dia sangat menikmati.
“Nona Sabrina. Bisa ajak Nona Dania ke ruang kepala sekolah?”
Perhatianku teralih pada Alex. Aku mengangguk padanya.
“Dania. Kita ketemu Ayah dulu, yuk? Mainannya kita lanjutkan nanti.” Aku membujuk Dania.
“Tapi Dania masih mau main, Bunda.” Dania menolak.
“Hanya untuk memastikan Nona Dania mau sekolah di sini.” Alex menambahi.
“Katakan pada Kak Jordan jika Dania mau sekolah di sini. Tadi aku sudah membujuknya,” kataku pada Alex.
Alex mengangguk, lalu beranjak dari hadapanku. Aku masih memerhatikan Dania yang sedang bermainan di tempat lain. Kali ini dia bermain lego. Anak-anak memang seperti itu. Mereka mudah bosan.
“Kamu yakin Dania mau sekolah di sini?”
Perhatianku kembali teralih saat mendengar pertanyaan dari Jordan. Aku menatapnya. “Tadi aku sudah menanyainya. Dia mau sekolah di sini asal ada aku di sampingnya.”
“Baiklah. Kita jalan sekarang.” Jordan percaya padaku.
“Dania. Ayo kita pulang. Nanti kalau sudah masuk sekolah, Dania bisa main sepuasnya.” Aku mengajak Dania pulang.
“Beneran, Bunda?” Dania menatapku.
“Iya,” balasku singkat.
Dania menghampiriku. Kami bergegas menuju mobil.
“Bunda. Dania mau mainan seperti yang di sekolah tadi,” pinta Dania.
“Dania mau mainan apa?” tanya Jordan.
“Bunda,” lirih Dania padaku.
“Minta sama Ayah.” Aku membalas.
“Nggak mau. Dania maunya sama Bunda.” Dania masih merengek.
“Bunda belum bisa janjiin sekarang karena Bunda belum punya uang. Kalau sama Ayah, mungkin Ayah bisa beliin sekarang,” lirihku pada Dania. Ini kesempatanku untuk mendekatkan Dania pada ayahnya.
“Akan Ayah belikan. Dania mau mainan apa?”
Dania terdiam. Aku yakin dia menginginkan mainan itu dariku.
“Akan Bunda belikan, tapi Dania harus janji nggak marah lagi sama Ayah?” Aku memberi pilihan padanya.
Dania kembali terdiam.
“Ya sudah kalau nggak mau. Kita pulang saja, ya.” Aku mengusulkan.
“Dania mau, Bunda. Tapi Ayah juga janji nggak marah-marah lagi sama Dania.”
Senyum kusungging. “Janji?” Aku mengajukan jari kelingking.
Dania menautkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku.
“Janji sama Ayah kalau Dania nggak akan marah lagi sama Ayah? Dan Ayah juga harus janji nggak akan marah-marah lagi sama Dania?” Aku membujuk Dania.
Jordan mengajukan jari kelingkingnya pada Dania. Dania menatapku. Aku mengangguk. Dia perlahan menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Jordan.
Syukurlah. Setidaknya, aku perlahan membuat Dania mau berinteraksi dengan ayahnya. Ini karena kesabaran aku dan Jordan meluluhkan hati Dania. Semoga Dania ke depannya lebih dekat lagi dengan Jordan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top