Bagian 2

Semua pintu kelas sudah tertutup. Taman bermain pun sepi. Pandanganku mengitari sekolah Dania. Tidak ada siapa pun di sini. Ke mana Dania? Apa dia sudah pulang ke rumah? Tapi belum ada yang tahu rumahku.

Langkah kuayun menuju ruang guru. Syukurlah, masih ada guru yang belum pulang. Aku segera mengetuk pintu, "Permisi," ucapku sambil mengetuk pintu.

"Iya." Guru itu menatapku, lalu beranjak dari kursi dan menghampiriku.

"Saya tantenya Dania Jordania. Apa keponakan saya sudah pulang?" tanyaku pada guru itu.

"Oh, tadi Dania sudah dijemput sama Omnya," kata guru itu.

"Omnya?" gumamku.

"Iya, Mbak. Dania sudah pulang sekitar empat puluh menit yang lalu." Guru itu menambahi.

"Bisa sebutkan ciri-ciri orang yang menjemput Dania? Masalahnya Dania nggak punya siapa-siapa di sini kecuali aku."

"Dia tinggi, kulitnya putih, pakai kaus hitam dilapisi jaket biru, celana jins biru, dan dia bernama ..." Guru itu menggangtungkan kalimatnya.

"Siapa, Bu?" Aku memastikan.

"Maaf, Mbak, saya lupa namanya. Tadi dia sudah izin dengan gurunya Dania. Saya hanya menyampaikan saja pesan gurunya Dania."

Napas kuhela. "Terima kasih. Saya pamit."

Guru itu mengangguk.

Langkahku mengayun cepat untuk meninggalkan sekolah. Barangkali Dania sudah sampai di rumah, lebih baik aku pulang ke rumah. Hatiku masih bertanya-tanya tentang sosok laki-laki yang menjemput Dania. Apa Damian yang menjemput Dania? Tapi, kenapa dia tak izin padaku terlebih dulu?

Setibanya di depan gerbang rumah, aku melihat mobil putih berhenti di bahu jalan. Aku segera memasuki gerbang ketika mengenali mobil itu. Terlihat Dania bersama Damian sedang bermain di teras. Aku berjalan cepat menuju teras.

"Dania!" seruku sambil menghampiri teras.

"Bunda." Dania beranjak dari duduknya dan berlari ke arahku.

Aku langsung memeluk Dania, menciumi ubun-ubunnya. "Dania dari mana saja? Bunda mencarimu, Sayang. Kamu bikin Bunda panik." Aku masih memeluk Dania erat. Takut terjadi apa-apa dengannya.

"Aku yang menjemputnya dan mengajak jalan-jalan."

Pandanganku beralih pada sumber suara. Aku merasa kesal dengannya. "Dania masuk ke dalam ganti bajunya. Masukan baju kotor ke dalam keranjang. Jangan lupa cuci kaki." Aku menginstruksi Dania.

"Tapi Dania masih mau main." Dania melepas pelukan.

"Dania masuk ke dalam atau Bunda marah?" Aku menatapnya serius.

"iya, Bunda." Nadanya terdengar ketus.

Aku berjalan menuju pintu, lalu membukanya agar Dania masuk. "Nanti Bunda menyusul. Dania masuk dulu," kataku pada Dania.

Dania hanya patuh tanpa suara. Aku pun menutup pintu, lalu menatap Damian.

"Apa sebenarnya tujuanmu? Kenapa kamu menjemput Dania tanpa izin dariku? Apa kamu tau aku khawatir dengan Dania?" tanyaku mengintimidasi.

"Aku berhak atas Dania. Aku Pamannya." Damian menatapku.

"Tolong, aku serius."

"Aku tidak pernah main-main dengan apa yang sudah keluar dari mulutku." Damian berkata tegas.

Kepala kugelengkan. Tak mengerti dengan ucapannya.

"Jujur saja padaku jika kamu, Ana, istri kakakku. Tak perlu kamu berbohong jika kamu tantenya Dania. Tak perlu bersembunyi di balik jilbabmu itu agar kamu tidak dikenali lagi. Dan tak perlu kamu beralasan jika kamu meninggal dunia untuk mengubah identitas dirimu sendiri." Damian berkata yang tak kumengerti.

"Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu ucapkan." Aku menatapnya bingung.

Tiba-tiba Damian mencengkram bahuku. Dia mendorong tubuhku ke dinding. "Kenapa kamu harus berbohong dan lari dari kakakku? Apa kamu tahu kakakku sangat mencintaimu? Seharusnya kamu tidak melakukan semua ini pada kakakku, meninggalkannya di saat dia sangat mencintaimu," geram Damian.

"Tolong lepaskan aku. Aku benar-benar nggak ngerti dengan kata-katamu. Aku Sabrina, adik dari Kak Diana, ibunya Dania." Aku menjelaskan dengan nada takut.

Tangannya terlepas dari kedua bahuku. "Buktikan semuanya," ucapnya sambil duduk di kursi yang sebelumnya dia duduki.

Ponsel kuraih dari dalam tas, lalu mencari fotoku bersama Kak Diana. "Mungkin ini bisa membuatmu percaya." Aku menyodorkan ponsel pada Damian.

Damian menerima ponselku, lalu mengamati layar benda itu. Digesernya layar ponsel untuk memastikan foto lain. "Lalu di mana Ana?" tanya Damian tanpa menatapku.

"Ana yang mana?" tanyaku.

"Kakakmu."

"Dia sudah meninggal lima belas hari yang lalu. Dia mengalami kanker rahim stadium akhir," ungkapku dengan mata berkaca.

Suasana mendadak hening.

Dia meletakkan ponselku di atas meja. "Lalu siapa namamu? Bukankah nama Sabrina adalah nama ibunya Dania?" tanyanya.

"Aku masih belum percaya padamu. Aku nggak bisa bercerita tentang kehidupanku dan kakakku lebih banyak lagi padamu sebelum aku tau jika kamu benar-benar adik dari ayahnya Dania."

Damian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Dua lembar foto dia letakkan di atas meja. "Itu kakaku dan kakakmu. Mereka menikah tujuh tahun yang lalu. Dua bulan pernikahan mereka, kakakmu hamil. Entah kenapa tiba-tiba kakakmu sengaja menjebak kakakku dan menuduh jika kakakku berselingkuh dengan wanita lain. Dan kakakmu mengaku jika bayi yang dia kandung bukan anak kakakku. Kakakku mengusir kakakmu dari rumahnya. Beberapa bulan yang lalu kakakku bertemu dengan laki-laki yang diakui kakakmu adalah ayah dari Dania. Selanjutnya, kamu akan tahu sendiri dari kakakku," ulasnya.

Apa saat itu Kak Diana tahu jika dirinya mengidap penyakit kanker? Tapi kenapa Kak Diana bisa hamil? Kenapa Kak Diana melanjutkan kehamilannya sedangkan itu berakibat pada kesehatannya? Apa maksud Kak Diana meninggalkan suaminya? Aku tak mengerti dengan semua ini. Lalu Dania anak siapa? Apa Damian sedang menjebakku?

"Kakakku sudah melakukan tes DNA Dania. Lusa dia akan ke sini untuk menjelaskannya padamu dan untuk menjemput Dania. Hasil tes itu positif jika Dania adalah anak kakakku."

Pandanganku beralih pada Damian. "Nggak. Ini nggak mungkin." Aku masih tidak percaya.

"Terserah. Jika kamu masih tidak percaya, maka hukum yang akan berbicara." Damian menatapku serius.

"Nggak. Nggak ada yang boleh bawa Dania pergi. Dia amanah dari kakakku. Dia akan terus bersamaku. Jangan bawa dia pergi." Aku beranjak dari posisi, lalu masuk ke dalam rumah. Rasa takut menyergap hati. Takut kehilangan Dania. Aku sudah kehilangan keluarga dan tak mau kali ini kehilangan Dania.

"Bunda. PR Dania sudah selesai."

Ucapan Dania membuatku terkejut. Segera kuraih tubuhnya dan membawa masuk ke dalam kamar. Tubuh Dania kupeluk erat.

"Bunda kenapa?" tanya Dania.

Aku masih terdiam, memeluk Dania dan menciumi kepalanya.

Ya Allah, jangan pisahkan aku dengan Dania. Dania amanah kakakku. Aku tak mau kehilangan Dania.

***


Sejak malam itu, aku tak bisa tidur nyaman. Pikiranku hanya tertuju pada Dania. Entah kenapa aku merasa takut kehilangan Dania. Hanya Dania yang kupunya saat ini. Aku pun masih teringat dengan ucapan Damian. Dia dan kakaknya akan mengambil Dania dariku.

Terdengar suara ketukan pintu. Aku bergegas menuju ruang tamu, meninggalkan Dania yang sedang terlelap tidur di kamar. Sebelum membuka pintu, aku memastikan orang yang datang untuk menemuiku. Tirai kembali kututup ketika mengetahui orang yang datang. Rasa takut langsung menghantuiku. Takut jika dia akan menjemput Dania. Aku tidak mau berpisah dengan Dania.

"Sabrina! Aku tahu kamu ada di dalam! Keluarlah! Aku ingin bicara baik-baik denganmu!" Damian berseru di balik pintu.


Aku khawtir jika Dania akan terbangun karena seruan Damian.

"Sabrina!" Damian kembali menyerukan namaku.

Napas kuatur perlahan untuk menghilangkan rasa takut. Tidak membuka pintu sama saja akan mengancam keselamatanku dan Dania. Aku membuka pintu ragu.

"Akhirnya kamu keluar juga," ucap Damian ketika pintu terbuka.

"Tolong jangan ambil Dania dariku. Hanya dia yang aku punya saat ini." Aku memohon pada Damian.

Damian tertawa. "Siapa yang akan memisahkan kamu dengan Dania?" tanya Damian setelah tawanya reda.

"Kamu dan kakakmu." Aku masih memasang wajah takut.

"Aku tidak akan memisahkan kamu dengan Dania."

Perhatianku teralih saat mendengar suara lain. Terlihat seorang laki-laki duduk di atas kursi roda.


"Selamat sore. Maaf jika kehadiranku dan Damian mengganggu istirahatmu dan anakku," kata laki-laki itu.

Apa dia suami kakakku? Apa dia ayah Dania?

"Aku tahu kamu pasti masih bingung. Perkenalkan, aku Jordan, suami kakakmu, ayah Dania." Dia mengenalkan diri padaku.

"Nggak. Aku masih nggak percaya." Aku kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, tapi pintu dijegal Damian.

"Kami datang baik-baik. Bersikaplah baik. Jangan membuat kami menggunakan cara kasar padamu," kata Damian menegaskan.

"Damian, biarkan dia berpikir. Kita tak perlu menekannya." Laki-laki yang duduk di kursi roda menegur Damian.

"Bisa kamu keluar dan kita bicarakan baik-baik?" pinta Damian padaku.

Kepalaku mengangguk lemah, melepas tangan dari handel pintu. Mungkin aku terlalu trauma dengan kejadian sebelumnya, kehilangan keluarga. Aku pun keluar dari dalam rumah. "Aku minta maaf. Nggak seharusnya aku seperti ini pada kalian." Aku menunduk.

"Duduklah. Aku akan bicara baik-baik padamu." Laki-laki di atas kursi roda itu menginstruksiku.

Tubuhku mendarat pasrah di atas kursi. Kepala masih menunduk. Takut dengan suasana saat ini.

"Kedatanganku untuk menunjukkan ini padamu." Laki-laki itu menyodorkan sebuah map padaku. "Aku harap, kamu mau membantuku," lanjutnya.

Tanganku bergerak ragu menerima map itu, lalu perlahan membukanya. Isi dari map itu adalah surat pernikahan, tes DNA, dan undangan pernikahan. Dengan teliti aku membaca semua isi dalam map itu. Tatapanku masih terpaku pada tes DNA yang menunjukkan hasil positif. Jadi benar jika Jordan adalah ayah kandung Dania dan Damian adalah pamannya?

"Aku tak tahu alasan Ana meninggalkan aku. Dia menuduhku berselingkuh dan mengaku bayi yang dia kandung adalah anak orang lain sedangkan tes itu mengatakan bahwa Dania adalah anakku." Jordan membuka obrolan.

"Aku tidak tau tentang itu," balasku sesuai kenyataan.

"Kamu adiknya. Kamu tentu tahu banyak tentang istriku." Dia menatapku.

"Bunda!"

Perhatianku teralih saat mendengar suara Dania menyerukan namaku. "Maaf, aku masuk dulu, Dania memanggilku." Aku beranjak dari kursi.

Dania terlihat sedang menangis saat aku tiba di kamar. Aku segera menggendong tubuh Dania dan membawa keluar dari kamar untuk bertemu dengan ayahnya.

"Ada Bunda, Sayang. Dania jangan nangis lagi, ya." Aku mengusap kepalanya.

Tangis Dania mereda ketika melihat Damian berdiri di depan pintu ruang tamu.

"Ada Om Damian?" tanya Dania.

"Iya. Om Damian ke sini mau main sama Dania." Aku berjalan menuju teras.

"Hai, Dania," sapa Damian pada Dania.

Dania hanya tersenyum pada Damian.

Aku kembali duduk di kursi yang sebelumnya kududuki. "Dania salim dulu sama beliau," kataku sambil menatap ayahnya.

Dania menggeleng. Enggan bersalaman dengan orang yang belum dikenalnya.

"Dania. Ini Papa Dania." Aku mengenalkan Dania pada ayahnya.

Dania kembali menggeleng. "Kata Mami, Dania nggak punya Papa," lirih Dania.

"Mungkin Dania butuh penjelasan perlahan. Aku harap Anda bersabar. Aku akan memahamkannya," kataku pada Jordan.

"Aku bisa mengerti." Jordan memaklumi.

"Damian." Jordan menatap Damian.

"Dania mau ikut Om jalan-jalan? Kita beli es krim dekat sini." Damian mengajak Dania.

Aku menatap Dania lalu menggeleng.

"Kamu tak perlu khawatir. Aku hanya ingin bicara serius padamu mengenai Dania. Aku harap kamu percaya pada kami. Tidak mungkin aku menyakiti anakku sendiri." Jordan meyakinkan aku.

Rasa ragu masih menghantui untuk percaya pada mereka.


"Bunda," lirih Dania.

"Aku tidak menjemput kalian sekarang. Mungkin besok atau lusa aku akan kembali untuk menjemput kalian." Jordan menambahi.

"Ayo, Dania ikut Om." Damian merentangkan tangan.

Dania turun dari pangkuanku, lalu mendekati Damian. Aku berusaha percaya.

"Jangan terlalu banyak membelikan Dania es krim. Itu pesan Kak Diana." Aku berkata pada Damian.

"Kamu tak perlu khawatir." Damian menimpali.

Dania melambaikan tangan padaku dengan raut bahagia. Aku pun melambaikan tangan sekilas pada Dania. Entah kenapa aku percaya begitu saja pada mereka. Tapi jika mereka ingin berbuat buruk, tentu sudah mereka lakukan ketika aku pertama kali bertemu dengan Damian.

"Sudah berapa lama istriku sakit?"

Pandangan kualihkan pada sumber suara. "Kurang tau. Kak Diana menyembunyikan sakitnya dariku. Aku sempat curiga, tapi dia selalu berusaha kuat di depanku. Terakhir, dia pamit dan menitipkan Dania padaku untuk pekerjaannya di luar kota. Setiap bulan dalam dua tahun ini dia selalu menitipkan Dania padaku. Aku baru menyadari jika setiap dia menitipkan Dania padaku, dia ternyata cek up ke Singapura." Aku menjelaskan.

"Apa dia pernah bercerita tentang aku?"

"Aku pernah bertanya tentang ayah kandung Dania, tapi Kak Diana selalu mengelak bahwa dia sudah bercerai dengan suaminya. Dia tidak mengatakan siapa nama ayah Dania. Dan selama aku bertemu lagi dengannya selama ini, dia tak pernah dekat dengan laki-laki atau menikah lagi." Aku kembali mengulas.

"Apa kamu tidak bertanya atau tahu tentang catatan medis kakakkmu selama berobat?"

Otakku kembali berpikir. Mungkin Kak Elin tahu tentang hal ini.

"Hei ..."

Aku terkesiap ketika Jordan membuyarkan pikiranku.

"Mungkin Kak Elin lebih tau tentang hal itu karena dia manajernya. Aku sama sekali tidak tahu Kak Diana sakit berapa lama karena dia menyembunyikan semua ini dariku. Aku hanya mendapatkan sedikit penjelasan dari Kak Elin tentang sakit yang diderita Kak Diana."

"Apa aku boleh meminta kartu namanya?"

"Nanti akan aku kasih."

"Aku masih bingung dengan nama kalian. Aku memanggil istriku dengan sebutan Sabrina sesuai dengan nama panggilannya. Kenapa kamu juga memakai nama Sabrina, membuat adikku bingung dan mencurigaimu berpura-pura sebagai istriku?"

Aku tersenyum getir. "Aku sama sekali nggak ingin meniru Kak Diana. Nama asliku memang Sabrina. Kakakku bernama Diana. Kata Kak Diana, dulu nenek selalu tertukar memanggil nama kami. Akhirnya aku dan Kak Diana bersepakat menukar nama panggilan kami. Aku nggak tau kalau Kak Diana masih melakukan hal itu karena aku tetap memakai nama asli ketika tinggal di kota ini. Dan bukankah nama Kak Diana masih sama dalam identitasnya?" tanyaku.

"Tidak. Nama dia Sabrina, bukan Diana."

"Jadi, Kak Diana mengganti identitasnya menjadi aku?"

Jordan mengangguk.

Aneh. Kenapa Kak Diana mengubah namanya menjadi aku?

"Kenapa kamu memilih tinggal di sini? Bukankah istriku berpenghasilan cukup? Apa dia tidak memiliki rumah?"

Mataku seketika berkaca. "Punya. Semua yang dia miliki sudah terjual habis. Rumah, mobil, perhiasan, semuanya sudah dijual untuk membayar tunggakan hutang-hutangnya. Aku rasa itu untuk pengobatan Kak Diana selama di Singapura."

Dia hanya mengangguk. Aku yakin dia pasti sedih.

"Apa Anda serius akan membawa Dania pergi?" tanyaku.

"Iya. Aku akan membawa kalian ke Bali. Aku ingin menebus dosa pada Dania. Sudah lama aku terpisah dari anakku. Sekarang aku ingin membahagiakannya."

"Tapi-"

"Kamu tak perlu khawatir. Kalian akan aman bersamaku. Siapkan saja apa yang akan kalian bawa. Aku akan menjemput kalian lusa."

"Bunda!"

Aku menoleh ke arah halaman. Dania berlari kecil ke arahku. Air mata segera kuusap sebelum jatuh ke pipi. Senyum kusungging ketika Dania tiba di hadapanku.

"Dania beli apa?" tanyaku pada Dania ketia dia sudah berada dalam pelukanku.

"Om Damian beliin Dania es krim, coklat, Oreo, dan itu." Dania menunjuk sebuah boneka yang dipegang oleh Damian.


Jujur, aku masih belum bisa percaya dengan semua ini.

"Bunda mau nggak?" Dania melayangkan suapan es krim padaku.

"Buat Dania saja. Bunda sudah kenyang." Aku menolak.

"Kalau begitu, saya pamit pergi. Ini kartu nama dan alamat rumah saya di Bali. Siapkan semuanya sebelum aku kembali untuk menjemput kalian." Jordan menyodorkan sebuah kartu nama padaku.

"Ini kartu namaku jika kamu masih belum percaya dengan kakakku." Damian pun meletakkan kartu namanya di atas meja untuk meyakinkan aku.

"Dania salim sama Papa sama Om." Aku menyuruh Dania.

Dania menggeleng. Dia tidak mau menjabat tangan ayahnya, tapi dia mau melakukannya dengan Damian. Aku meminta agar Jordan mau bersabar sampai Dania yakin jika dia adalah ayahnya. Mereka pun berlalu dari tempat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top