Telepati
~
Keesokan harinya, sejak pagi Isabel sama sekali tidak ingin bertegur sapa dengan siapa pun. Termasuk Angkasa. Ia masih harus mencari jalan pulang.
Jika dirasa-rasa, selama ini dia hanya buang-buang waktu. Misi untuk membuat Angkasa jatuh cinta pun sepertinya mustahil. Angkasa masih saja tak berpaling dari Sandra. Lalu apalagi yang bisa ia lakukan selanjutnya?
Saat makan siang, Isabel tak lagi mengunjungi kantin. Dia malah naik ke atap sendirian. Semakin lama, menu-menu itu tak lagi istimewa. Kini ia merindukan menu EDR di hotel. Meski hanya sayuran dan lauk sederhana, setidaknya tak ada misi apapun di sana. Ia bisa hidup sesukanya.
Ah.. Sudahlah. Peduli bangsatd dengan misi. Mungkin di sini Isabel bisa melakukan hal yang sama. Hidup sesuka hati. Kalaupun dia harus selamanya tinggal disini, tak masalah. Ia hanya ingin melakukan semuanya sesuai keinginan. Bahkan buku catatan itu masih berisi hal yang sama. Sama sekali tak ada misi baru lagi.
Lupakan Angkasa. Isabel hanya harus menikmati semua ini. Setidaknya di sini dia tak perlu memikirkan penghasilan atau desakan menikah dari Tante Aini.
Baiklah.
Isabel kembali keluar dari pintu atap. Turun menuju koridor kelas. Di luar jendela kaca itu, pemandangannya sangat indah. Kenapa baru sadar sekarang? Hamparan luas Antariksa dan susunan apik jejeran gedung, taman, lapangan, dan pohon Pinus yang rapi dan bersih. Penampakan itu membuatnya tenang.
Apalagi saat kembali menoleh ke depan. Pemandangan indah lain yang tak sempat ia temukan di dunianya kembali terlihat menyejukkan mata.
Itu Aksara.
Dia tersenyum menatap Isabel dari kejauhan. Perlahan mereka bertemu di titik tengah. Tepat di depan kelas mereka. Angkasa tentu bisa melihat secara langsung dari dalam.
"Ra.." Isabel menatapnya lekat. Sebenarnya ia ingin bertanya soal kejadian di kolam renang waktu itu. Namun tertahan melihat senyuman Aksara yang masih terlihat nyaman. Sudahlah. Tak perlu memikirkan Angkasa lagi. Isabel hanya ingin melakukan apa yang ia mau mulai sekarang.
"Bel.. ?"
"Hmm?"
"Pulang sekolah jalan yuk!" Ajak Aksara tiba-tiba. Angkasa masih memperhatikan. Padahal yang lain sama sekali tidak sadar Aksara dan Pabella sedang berbincang di luar. Begitupun dengan Sandra yang sama-sama memperhatikan dari dalam.
Isabel sempat berpikir sejenak. Lalu, "Yuk!" Jawab Isabel. Kali ini terserah. Ia tak ingin memikirkan misi. Mati ya mati. Pikir Isabel.
Aksara dan Isabel saling melempar senyum kemudian masuk beriringan ke dalam kelas.
Sepasang mata Isabel sempat beradu dengan mata coklat pekat milik Angkasa. Tatapannya tajam seolah siap menantang. Namun Angkasa hanya bisa membuang muka. Hingga menyisakan tanya di benak Isabel. Apalagi tak lama kemudian seorang guru masuk ke dalam kelas.
Isabel duduk bersebelahan dengan Aksara seperti biasanya. Ia sempat melihat ke arah bangku Angkasa. Memikirkan kesalahan yang mungkin tak sadar ia lakukan. Kenapa? Karena tatapan tajamnya tadi, Isabel tau sekarang Angkasa sedang sangat marah. Tapi marah kenapa? Bukankah kemarin dia sudah membantunya untuk tidak menuntaskan hukuman? Harusnya dia berterimakasih kan? Kenapa malah judes kayak gitu?
Tapi sudahlah. Dia memang seperti itu. Tatapannya selalu tak ramah. Semua orang pun sudah tau. Pikir Isabel.
Di tengah-tengah pelajaran, Isabel kembali membuka catatan cokelat itu. Siapa tau ada misi baru. Kali ini dia akan mencoba untuk menggagalkan misi dengan sengaja.
Mata Isabel kembali menangkap satu poin tulisan. Mungkin itu misi. Tapi agak ambigu.
Buat Angkasa jatuh cinta pada Pabella!
• Masuk sanggar Boxing!
• Telepati, empati, koneksi, terhubung.
Poin ketiga membuat Isabel tertegun. Darimana dia bisa mendapatkan Telepati, empati, dan apa itu tadi? Di sini ada tokonya kah? Isabel terkekeh sendiri dengan pemikiran konyolnya.
Telepati..?
Mungkinkah dia sekarang bisa tau apa yang mereka pikirkan?
Di sebelah kiri, Aksara. Baiklah. Kita coba. Mungkin kalau konsentrasi, Isabel akan bisa membaca pikiran Aksara.
Dipandangi dari samping pun, Aksara benar-benar sempurna. Pantas ini disebut dunia khayalan. Mana ada manusia biasa yang sempurna seperti ini. Isabel malah sibuk mengagumi ketampanan Aksara.
Merasa di perhatikan, Aksara menoleh kemudian tersenyum manis. Refleks, Aksara mengusap pelan pucuk kepala Isabel. Perlakuan itu membuat Isabel tersipu.
Sudahlah. Mungkin tidak bisa menemukan telepati sekarang. Pikir Isabel yang lalu menoleh ke kanan. Tepat di saat itu, Angkasa terlihat sedang memperhatikan gerak geriknya sejak tadi. Mata tajamnya masih sama. Isabel langsung berpaling ketakutan. Memang tidak seharusnya melihat ke arah sana. Gumam Isabel.
Angkasa makin geram. Begitu-kah sikap seseorang yang katanya suka? Saking gemasnya dengan kelakuan Pabella, otak dan hatinya mulai kacau. Angkasa mulai merasakan tusukan-tusukan menyakitkan di dadanya. Beberapa kali ia tahan, namun malah semakin sesak. Pijatan tangannya pun sia-sia. Rasa sakit itu semakin menjalar. Sangat menyiksa.
Arrggh..
Angkasa mulai tak tahan. Dirga mulai menyadari ada yang tidak beres.
"Kenapa?" Dirga menahan Angkasa yang hampir jatuh. Seisi kelas mulai memperhatikan ke arah bangku Angkasa dan Dirga yang terlihat panik dan mencoba menahan Angkasa yang hampir terkulai.Namun percuma. Angkasa tetap terjatuh ke lantai dan tak sadarkan diri. Semua orang panik. Termasuk guru yang sedang mengajar. Adrian langsung memberikan punggungnya untuk Angkasa. Gandi dan Dirga membantu. Guru pun ikut berlari.
Debaran jantung Isabel makin cepat. Heran, khawatir, gelisah, dan was was. Kenapa Angkasa pingsan lagi? Dan kenapa dadanya pun terasa begitu sesak dan sakit?
Dan yang teraneh, kenapa semakin lama, matanya semakin berat, pusing, sesak, dan..
BRUKKK..
"PABELLA!" Aksara tiba-tiba menangkap Isabel yang juga mendadak pingsan.
Kenapa?
Ada apa?
Dua orang pingsan di waktu yang hampir bersamaan.
~
UKS..
Angkasa sadar beberapa menit setelah pingsan. Guru jaga membiarkannya istirahat setelah Gandi memberi obat-obatan yang biasa ia minum. Mereka tau betul apa yang Angkasa butuhkan ketika dalam kondisi seperti itu.
Kini hanya ada Isabel dan Angkasa di ruang kesehatan itu. Sama halnya dengan Angkasa, Isabel sadar beberapa saat setelah terbaring di ruang UKS.
Mereka hanya terpisah oleh selembar tirai putih. Isabel sadar betul di sampingnya ada Angkasa. Ia masih menerawang kenapa ia bisa tiba-tiba pingsan bersamaan dengan Angkasa.
Dan Angkasa kenapa? Obat yang mereka bicarakan tadi juga apa? Makin memikirkannya, entah mengapa makin membuat Isabel cemas. Haruskah ia menyingkap tirai nya sekarang dan melihat langsung keadaan Angkasa?
"Uhuk uhuk uhuk uhuk.. uhuk.. uhuk.. uhuk.." Suara batuk Angkasa mengkhawatirkan. Terdengar sesak dan pasti sakit.
Isabel perlahan bangun, kemudian mencoba mendekat dan membuka tirai. Sial! Tubuhnya kenapa ikut-ikutan lemas? Dan gilanya lagi, melihat Angkasa sesak dengan batuknya, Isabel malah bergegas mengambilkan air putih hangat meski tertatih.
"Minum.." Sodor Isabel. Angkasa bangun setelah sempat tertegun melihat Isabel tiba-tiba ada di sana dan menyodorkan sebuah gelas. Namun ia kemudian meraih segelas air hangat itu juga. Lagi pula, Angkasa membutuhkannya.
"Kenapa lo di sini? Uhuk.." Tanya Angkasa sebelum meminum air. Batuknya baru berhenti setelah meminum air hangat itu beberapa teguk.
Angkasa terlihat lebih payah dari Isabel. Ia hanya bisa bersandar tanpa daya.
"Ini udah kali kedua lo pingsan depan gue." Ujar Isabel.
Angkasa tak menjawab. Ia hanya menyimpan gelas minum itu di rak sebelahnya. Isabel paham betul jika hanya menunggu saja, ia tak akan pernah dapat jawaban.
"Sa.." Isabel sengaja memberanikan diri menatap mata cokelat pekat itu lagi. "Lo sakit?" Tanya Isabel. Namun kali ini Angkasa hanya bisa menunduk tanpa menjawab.
"Gue pergi.." Ujar Isabel gemas sendiri karena tidak mendapat jawaban apapun.
"Eh!" Angkasa menahan tangan Isabel. Entah mengapa, suara dentuman jantung keduanya terdengar seirama! Sama-sama bergetar hebat, sama-sama tak terkendali.
"Apa?" Tanya Isabel.
"Mau kemana sama Aksara?" Pertanyaan Angkasa terasa menggelitik. Isabel pun terkekeh.
"Cemburu?" Tebak Isabel.
"Gak mungkin.." Elak Angkasa.
"Kita mau kencan. Masih gak cemburu?" Goda Isabel.
"Terserah.." Angkasa langsung menyibak selimutnya kemudian mencoba pergi dari sana. Mulut dan sikapnya sangat berlainan. Angkasa bahkan sampai menyenggol ujung ranjang yang tajam dan langsung melukai tangan kanannya.
Aawwggh..
Aawwggh..
Ketika Angkasa terluka, Isabel pun ikut merasakan sakit dan perih di tangan yang sama. Luka Angkasa mengeluarkan darah. Perih, panas, dan sakit.
Anehnya, semua rasa itu Isabel merasakannya juga.
TELEPATI..?
Inikah TELEPATI yang dimaksud? Gumam Isabel.
🍃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top