Sa.. Gue pulang,..





~

Pulang sekolah, mata tajam Isabel sudah memantau Angkasa. Sayang, Sandra duduk sangat dekat hingga makin sulit untuk memisahkan mereka. Tapi peduli amat. Kalau gak turun tangan sekarang, kapan lagi? Pikir Isabel.

Tuk
Tuk
Tuk

Angkasa mendongkak langsung melihat sinis ke arah Isabel. Sandra sempat menepuk pelan tangan Angkasa memintanya untuk pergi.

Sreet..

Isabel langsung menepis kasar tangan Sandra namun membuat Angkasa malah mendorong pelan bahu Isabel. Jika terlalu kasar, Angkasa mana berani.

Sempat tertegun, Isabel menatap heran. Ia hampir tidak mengenali Angkasa. Tak bisa berkomentar apapun soal sikap Angkasa, Isabel langsung mengintimidasi Sandra.

"Gue mau ngomong sama dia!" Isabel langsung menatap tajam pada Sandra dan berkata dengan tegas. Sorot kekecewaan dalam mata Isabel terasa memalukan sekarang. Sandra pasti menyadarinya.

Angkasa bahkan tidak berniat untuk mengiyakan atau mungkin menolak. Ia hanya diam terduduk tanpa berani melihat ke arah Isabel.

"Aku pergi dulu.." Pamit Sandra yang kemudian pergi berlalu bersama beberapa siswa lain yang berhamburan ke luar. Isabel duduk tak jauh dari sana.

Entah dua, atau tiga menit, mereka hanya saling diam. Kelas itu sudah sangat kosong. Isabel masih memutar otak supaya pembicaraannya langsung tepat sasaran. Hingga akhirnya, Isabel mulai memberanikan diri untuk memulai. Kali ini tidak boleh kehilangan kesempatan sekecil apapun. Pengorbanannya untuk kembali ke sini, kalau di rasa-rasa cukup pantas kan? Pantas untuk di akui Angkasa.

"Sa..?"

Isabel kembali mencoba mendekat dengan duduk di bangku depannya. Tapi tak ada jawaban apapun. Angkasa hanya diam tanpa berani mengangkat wajah. Entah apa yang dia pikirkan.

"Gue ada salah sama Lo?" Tanya Isabel. Hanya bertanya seperti itu saja, entah mengapa hati Isabel bergetar hebat. Matanya memanas. Jika memang bersalah ya sudah. Isabel berani lantang meminta maaf. Tapi yang jadi masalah, ia tidak tau menahu dimana letak kesalahannya.

Angkasa makin diam. Isabel gemas sendiri. Marah, kecewa, sakit hati, semua diaduk-aduk menjadi satu.

Please.. DIAM kayak gini makin merobek-robek hati Isabel.

"Gue berusaha keras supaya bisa bangun dan nemuin Lo lagi.. Tapi Lo bahkan sama sekali gak nanyain keadaan gue?" Suara Isabel makin tercekat. Angkasa lebih dalam menunduk. Entah apa yang masih ia tahan, yang jelas mata coklat pekat itu pun sama-sama mulai mencair. Namun jangan sampai Isabel melihatnya. Sembunyi serapat mungkin jangan sampai ketahuan.

"Kalau soal Gandi.. Gue bener-bener minta maaf. Sama sekali gue gak berharap Gandi sampai kayak gitu.." Air mata Isabel mulai berjatuhan. Kali ini dia tak bisa menahannya lagi, meski di hapus cepat beberapa kali masih saja aliran itu terlalu deras. Hatinya sakit. Isabel yakin ia lebih sakit lagi jika membahas soal Gandi.

Angkasa mengusap kasar air matanya tanpa berani melihat wajah Isabel. Ingatan menyakitkan itu, tak mudah hilang begitu saja. Dada Angkasa mulai sesak. Jantung rusak itu selalu saja berulah. Kenapa kemarin-kemarin dia tidak berhenti berdetak saja? Gumamnya.

Angkasa berusaha berpaling supaya Isabel tidak bisa melihatnya menangis. Ini memalukan. Akan terlihat lemah dan kalah nanti. Tahan. Jika bisa, Angkasa harus lebih terlihat menjaga jarak. Ada alasan yang harus di tuntaskan.

"Sa.. Maafin gue.. Maaf juga udah ninggalin Lo kemarin." Isabel makin berderai. Angkasa pun sama. Seberapa keras pun menahan, tetap saja perasaan itu tak terbendung. Angkasa kalah.

"Maaf karena Lo kehilangan Gandi.." Isabel menggulung tangannya. Suaranya terdengar gelagapan. Berseling dengan kucuran air mata yang masih juga belum mau surut.

"Maaf karena gue pergi terlalu lama.." Ini permintaan maaf soal dua minggu yang sudah terlewatkan begitu saja.

"Sa.. Gue udah pulang.." Sambung Isabel yang berusaha mencari mata coklat pekat itu.

Angkasa sempat tertegun. Mereka bertatapan dalam seolah tak mau lepas. Batin mereka mulai terkoneksi hingga akhirnya terkekeh pelan selagi memutus pandangan. Akhirnya, mereka berulang kali saling melempar senyuman lega meski tangis haru masih saja menyelimuti.

Ini sudah selesai kah?

Angkasa bahkan tidak berkata apapun sejak tadi. Dia hanya menangis dan diam menunduk. Tapi Isabel tau betul. Senyuman itu pertanda runtuhnya pertahanan Angkasa.

"Pertanyaan gue gak di jawab?" Tanya Isabel.

"Yang mana?" Angkasa malah balik bertanya.

"Gue ada salah sama Lo?" Ulang Isabel. Angkasa hanya menggeleng kemudian kembali tersenyum.

"Sa.."

"Hmm?" Kali ini ada jawaban.

"Lo sama Sandra..?" Bukan ragu. Isabel hanya hati-hati. Siapa tau mereka benar-benar menjalin hubungan.

"Sandra lagi manas-manasin Aksara.." Jawab Angkasa.

"Terus kenapa lu judes sama gue?"

"Lebay Lo! Gitu doang.." Elak Angkasa yang kemudian bangkit dari duduknya untuk pergi dari sana.

"Sa!"

"Apa?" Angkasa kembali berbalik. Wajahnya sudah kembali ramah kali ini. Bahkan senyum manis terhias di paras sempurna itu. Pesona Angkasa kian terbang kemana-mana.

"Gue suka sama Lo!"

Deg!

Angkasa mematung. Ia tak bisa menjawab apapun. Heran. Seharusnya dia membalas dan mengatakan hal yang sama. Tapi Angkasa malah semakin tertahan. Dadanya sakit, seperti di tusuk-tusuk. Menjalar hingga bahu dan belakang punggung. Makin lama semakin kuat. Rasa sakit itu seolah tamparan keras. Apa mungkin tak seharusnya ia mendapat kebahagiaan secepat ini?

Angkasa masih mencoba menahan. Bahkan berbalik membelakangi Isabel. Tapi jangan salah. Rasa sakit itu, Isabel pun merasakannya. Apalagi semakin kuat saat Angkasa mencoba untuk pergi keluar kelas. Ingat Telepati atau sejenis ikatan batin itu? Ternyata masih berfungsi dengan baik.

Isabel sampai harus memukul-mukul dada saking sakitnya. Isabel berlari mengejar. Lama-lama, khawatir juga. Jika rasa sakitnya sesakit ini, kira-kira bisakah dia bertahan?

Benar saja. Angkasa ambruk di koridor. Mengerang kesakitan tanpa suara. Isabel langsung menghambur ke arahnya. Merebut ransel yang semula sedang Angkasa obrak-abrik dengan tangan yang bergetar.

Isabel langsung mengambil alih, kemudian menemukan tabung kecil lagi. Ia membuka lalu memberikannya pada Angkasa yang langsung menelan bulat-bulat pil-pil pahit itu. Beruntung Isabel membawa air minum dalam ranselnya.

Rasa sakit tak langsung otomatis hilang setelah menelan obat. Entah dua atau tiga menit setelahnya, siksaan itu mulai membaik. Isabel sempat kebingungan karena Angkasa masih terlihat sesak. Ia perlahan meraih tangan Angkasa, dan menggenggamnya erat berharap bisa mengurangi rasa sakit itu.

Hingga akhirnya, obat mulai mengatasinya. Angkasa kelelahan. Genggaman tangan Isabel yang semula ia hindari, kini malah enggan ia lepaskan.

"Bel.."

"Apa?" Isabel bersiap mendengarkan. Angkasa terlihat sedikit berpikir, kemudian dengan yakin mencoba menjelaskan sesuatu.

"Kalau sama gue bikin Lo tersiksa, sekarang gue kasih kesempatan buat Lo pergi.." Ucapan itu terdengar janggal. Isabel mengerut heran. Maksudnya dia tak mau menjadi beban kah?

Dan justru, ucapan seperti ini malah makin menyakiti Isabel sebenarnya.

"Lo gak bisa ngatasin ini sendirian." Tunjuk Isabel tepat pada jantung Angkasa. "Percaya atau enggak, ketika Lo sakit, gue juga bisa ngerasain." Jujur Isabel. Angkasa tersenyum kemudian mendekap tangan Isabel, menempelkan di dada, memeluknya seolah enggan ia lepaskan.

Isabel membalas senyuman Angkasa kemudian mengusap pipi, juga dahi Angkasa yang penuh dengan keringat dingin. "Udah gak sakit?" Tanya Isabel.

"Udah ada obatnya." Angkasa menunjuk tangan Isabel yang sedang ia genggam. Perlakuan itu membuat Isabel salting sendiri.

"Tapi.." Masih ada sesuatu yang mengganjal dipikiran Angkasa. Namun setelah menimbang-nimbang, akan terlalu rumit jika dibahas sekarang.

"Apa?" Tanya Isabel yang tentu penasaran.

"Gak jadi." Angkasa kembali tersenyum. Tapi jangan seperti ini. Isabel sangat menyukai senyuman itu. Tapi segala hal yang tertahan, Ia sangat tidak menyukainya.

Isabel selalu spontan. Apapun itu, ia ingin semuanya segera selesai. Lain dengan Angkasa yang penuh dengan pertimbangan.

"Apa sih?" Isabel masih penasaran. "Kalau gak bilang, gue gak mau pergi dari sini." Isabel merajuk. Ia bahkan merebut kembali tangannya dan ber-sidekap selagi mendilak.

Namun sikap Isabel hanya membuat Angkasa terkekeh geli. Ia bahkan dengan santainya bangkit dan melangkah pergi dari sana. Namun Angkasa yakin Isabel pasti mengejar.

"Angkasa!" Teriak Isabel yang tentu tanpa membuang-buang waktu, langsung mengekor.

Angkasa kembali terkekeh dan berusaha menghindari amukan Isabel.

"Gue beneran marah nih..!" Ancam Isabel. Namun sayang, ancamannya hanya berupa kekehan kecil. Sama sekali tak menakutkan.

Angkasa malah menelungkup kedua pipi Isabel lalu secepat kilat mengecup dahinya kemudian pergi.

Isabel melongo. Hatinya melebur, luluh lantak sudah.

Angkasa meresahkan!

🍃


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top