Pulang


~

Isabella kembali pulang!

Ini hari ke empat sejak dia kembali bangun dari koma. Gak masuk akal memang. Isabel masih enggan percaya berbagai kejadian yang ia alami ternyata hanya sebuah mimpi belaka meski terasa begitu nyata.

Mas Rian, Mbak Hani dan Mas Hilman datang ke rumahnya sejak mendengar kabar soal kepulangannya dari rumah sakit.

"Mau minum apa Mas? Mbak?" Isabel tentu harus melayani.

Rumah Isabel terlihat sangat ramai sekarang. Bukan hanya rekan-rekannya saja yang ada di sana. Keenam anak Tante Aini, juga Om Will suami Tante Aini juga hadir. Sepertinya mereka tidak akan pergi meninggalkan Isabel kali ini. Meski beberapa kali kena usir, tapi mereka sudah terbiasa dengan sikap Isabel.

Tentu saja, Isabel pun harus terbiasa dengan keramaian ini. Karena tak ada manusia yang bisa hidup sendirian.

Tante Aini dan Om Will sedang pergi membeli bahan makanan. Anak-anak kecil itu mana ada yang bisa diandalkan. Terpaksa Isabel melayani tamu sendiri. Padahal ceritanya dia sebagai orang sakit.

"Udah.. Diem aja Beib.. Duduk bae udah. Kita ambil sendiri kalau aus.." Mbak Hani langsung melarang Isabel untuk pergi.

"Iya Bel.. Orang sakit mah diem aja.." Tambah Rian.

"Gue gak sakit Mas.." Elak Isabel. Ia selalu ngeles kalau ada orang yang menyebutnya sakit. Mungkin tertular Angkasa? Gengsinya tinggi. Oops.

"Gak sakit apaan? Bikin orang panik aja lu.." Gerak gemulai khas Mas Rian yang  benar-benar dirindukan. Isabel akhirnya bisa melihat mereka lagi.

"Eh.. Itu mereka ngapain?" Mbak Hani bergidik sendiri melihat tingkah anak-anak Tante Aini. Mereka naik meja makan bersama selagi lompat-lompat di atas.

"Bodo ah Mbak. Mereka brutal semua. Kagak ada yang bisa di atur. Tante Aini agak sengklek. Anak-anaknya semua malah di tinggal. Pusing.." Isabel tak mau peduli lagi.

"Heh.. Heh! Ayok bantuin!" Mbak Hani menepuk tangan Mas Hilman untuk mengamankan anak-anak itu.

"Jiwa Ibunya keluar." Mas Rian langsung berkomentar mengenai sikap Mbak Hani. "Mereka udah cocok jadi couple. Tinggal sebar undangan." Tambah Rian.

"Mereka Couple sekarang?" Tanya Isabel.

Rian hanya mengangguk selagi tersenyum meledek.

"Ommo.. Gue ketinggalan berita.." Isabel terkekeh senang. Apalagi saat melihat kekompakan Mbak Hani dan Mas Hilman mengamankan anak-anak setan itu. Eh..?

"Bel?"

"Hmm?"

"Soal novel Wangja.."

"Apaan sih? Gue mana tau! Jangan sebut-sebut Wangja lagi." Elak Isabel. Bukan apa-apa, setiap kali mendengar nama Wangja, ingatan soal Angkasa kembali mencuat. Getaran hebat di dadanya tak terkendali. Entah harus meluap kemana, tapi rasa itu membuatnya sesak.

Pantas, DYLAN bilang jangan Rindu.. Berat!

"Bukan.." Rian masih penasaran sesuatu.

"Apa?!" Isabel malas dan gemas karena Rian kembali membahasnya.

"Ternyata Nyonya Arini udah bikin bab lanjutan sebelum meninggal?"

Isabel tertegun. Maklum, setelah koma otaknya suka agak telat.

"Berapa Bab?" Tanya Isabel.

"Dari seminggu lo tidur, kayaknya udah sekitar empat belas Bab. Awalnya cuma lima Bab." Jawab Rian. "Tapi kalau di rasa-rasa, tulisannya agak beda.." Lanjutnya.

Deg!

"Mana coba liat!" Isabel makin penasaran. Sejak mendapat nasehat dari dokter Nana, Isabel tidak berani membuka kembali komputer itu. Tante Aini juga melarang. Dia bahkan hendak menjualnya.

Rian membuka novel on going itu untuknya. Sudah ada sembilan belas bab. Bahkan Isabel kaget saat ada pemberitahuan baru soal update bab ke dua puluh.

Sontak Isabel langsung berlari ke kamar Nyonya Arini. Ternyata komputer itu sudah menghilang.

Suara mobil Om Will sepertinya baru saja masuk garasi. Isabel langsung berlari ke luar. Rian heran dan hanya bisa ikut berlari kesana-kemari.

"TANTEE! Komputer Nyonya kemana?" Tanya Isabel. Bahkan Aini baru saja membuka pintu mobil.

"Lah.. Tadi baru aja Tante jual. Katanya gak papa?" Lemas. Isabel mencoba memutar otak. Namun tak ada pilihan lain selain menyusul kembali komputer itu.

"Di jual kemana Tan?"

"Toko di depan itu. Kayaknya kalau di susul sekarang masih sempet deh." Ujar Tante Aini.

"Mas Rian! Cepetan!" Isabel menepuk jok motor milik Rian meminta supaya dia mengantar. Tante Aini sempat mengangguk pada Rian dan akhirnya mereka pergi menyusul komputer itu.

"Ada apa sih?" Tanya Will.

"Gak tau. Kemarin katanya boleh di jual, sekarang nyariin. Plin plan banget. Semenjak koma dia agak aneh." Aini menjawab selagi melengos ke dalam.

~

Beruntung toko itu tak jauh dari rumahnya. Dan Isabel masih bisa melihat komputer itu masih ada. Lengkap.

Syukurlah..

"Permisi Pak.. Barusan Tante saya jual komputer ini, tapi saya masih butuh Pak, bisa di ambil lagi?" Tanya Isabel langsung.

"Bisa.. Asal ada uang aja. Dan saya ada untung dikit.. Hehe.. " Isabel bergidik. Matre. Padahal belum dua hari.

Oh?

Sial! Lupa bawa uang

"Mas! Bawa duit gak?" Tanya Isabel.

"Tas gue di rumah lu. Kenapa Lu buru-buru tadi?"

"Hp bawa gak? Punya saldo gak lu?"

"Hp juga di sana! Bukannya tadi lo yang lempar ke meja?!"

Benar. Isabel lupa.

"Tolongin gue dong Mas, Bawain duit gih!" Ujar Isabel memelas.

"Nyusahin aja lu!" Meski kesal, Rian kembali menaiki motornya untuk membawakan Isabel uang.

"Hehe.." Isabel masuk ke dalam toko, kemudian memeluk komputernya. "Maaf Pak, bisa numpang nyalain?" Tanya Isabel.

"Bisa.. Tapi nanti ada tagihannya." Penjaga toko itu ramah sebenarnya. Tapi segalanya ia hitung dengan uang.

"Oke Pak! Makasih ya.." Isabel tersenyum selagi menyodorkan colokan meski tak enak hati.

Komputer on!

Oke, pertama periksa draf.

Kosong.

Baiklah, mulai baca bab enam.

Ada sekitar dua ribu kata. Isabel membacanya sekitar tujuh menit.

Persis. Bab itu bercerita saat ia berada di rumah sakit karena sayatan di tangan itu. Penasaran, Isabel membaca bab sebelumnya juga. Alasan Pabella menyayat tangannya ternyata karena stress. Tekanan Aksara yang tak mau melepasnya, tekanan Sandra, juga tuntutan pelajaran. Begitu yang tertulis. Padahal yang Isabel tau, Pabella kabur dan menyeretnya untuk menggantikan.

Lanjut Bab tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Benar. Bahkan semua bab itu pernah ia alami. Termasuk cerita soal Angkasa yang sama persis seperti ingatannya.

Perlahan Isabel mulai percaya jika semua itu ternyata bukan mimpi.

Dan saat mencapai bab dua puluh, cerita sial di Gunung Amazon. Semua sama persis seperti ingatannya.

Isabel sempat menyangkal jika segala yang ia ingat hanyalah masalah mental. Tapi nyatanya bukan soal mental. Isabel baik-baik saja.

Lihatlah narasi yang membuat Isabel menangis tak tertahankan.

Wangja
Bab 20

Pabella dan Gandi ditemukan mengenaskan setelah dua hari. Beruntung! Pabella bertahan namun masih juga enggan membuka mata. Dan Gandi, ditemukan tak bernyawa dengan kondisi yang menyedihkan.

Angkasa menyibak kain yang menutupi wajah Gandi. Meski tau dia tidak akan kuat, Angkasa tetap kekeuh ingin melihat sahabatnya itu untuk kali terakhir.

Perlakuan itu ia hitung sebagai penghormatan pamungkas. Meski akhirnya Angkasa kembali terkapar setelah melihat jenazah Gandi.

Orang tua Angkasa, kini kembali berusaha keras untuk menyelamatkan nyawa anaknya. Jantung itu sudah terlalu lelah. Sejak awal dia juga tidak bersahabat dengan tubuh Angkasa. Mereka berupaya untuk kembali melakukan operasi meski harus menyakiti tusuk-tusuk itu lagi. Angkasa sebenarnya tak menginginkan ini. Namun orang tuanya tak akan membiarkan Angkasa pergi dengan mudah.

"Bos! Lo harus kuat!" Adrian dan Dirga masih setia menemani Angkasa di rumah sakit. Meski setiap kali memberi semangat, Air matanya mengucur tanpa permisi.

Angkasa pun sama. Kini anggotanya berkurang satu. Kehilangan Gandi, seperti kehilangan separuh nyawanya. Angkasa jatuh terpuruk.

"Pabella gimana?" Tanya Angkasa lemah. Peralatan medis masih terpasang lengkap. Tak ada satupun diantara mereka yang berani menjawab. Melihat tingkah mereka, Angkasa tau jawabannya masih juga kurang baik. Jika masih sama, ia pun tak bisa berbuat apa-apa.

"Kalau Pabella bangun, sedangkan gue udah lewat duluan, tolong bilang sama dia.. Sejak awal gue suka. Sampaikan juga permintaan maaf gue karena sempat kasar sama dia.." Ucap Angkasa masih dengan suara parau-nya.

Adrian makin membanjir. Dirga yang masih kuat menahan, akhirnya maju. Mencoba kembali mendengarkan apa yang akan Angkasa katakan selanjutnya.

"Tolong bilang juga sama dia, bukan dia yang ngejar-ngejar, tapi gue. Dia sesumbar tapi gak pernah benar-benar ngejar gue. Ujung-ujungnya malah gue yang ngejar dia.."  Angkasa masih bisa terkekeh meski lemah.

Stop!

Air mata Isabel sudah tak terbendung. Bab itu bahkan belum selesai namun Isabel sudah tak tahan dan bahkan meraung-raung sendiri.

"Bel.. Sorry lama.." Rian datang dengan uang yang Isabel minta.

"Dia nangis-nangis sendiri dari tadi Mas.." Ujar sang penjaga toko.

Asap abu-abu itu tiba-tiba kembali terlihat di belakang komputer. Isabel melihatnya. Ia mencoba menyentuhnya, dan..

Deg!

Bisakah dia kembali?

🍃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top