Pukulan bagai besi
~
Isabel dan Dirga menyusul Angkasa malam itu juga. Kemana lagi kalau bukan rumah Pak Jenderal. Untunglah Dirga jago drift. Jalanan udah kayak sirkuit. Ngebut banget hampir mati beberapa kali.
"Dir, Kalau gue mati di sini, gimana??" Tanya Isabel. Ini bukan sembarang pertanyaan. Isabel sedang ketakutan. Tidak dengan Dirga yang malah terkekeh melihat wajah ketakutan Isabel.
"Kalau kita mati di sini, Lo bakal hidup lagi. Apapun alasannya, pengatur imajinasi dari dunia nyata kayak kita, gak akan pernah bisa mati di sini. Gue udah coba beberapa kali. Lo mau coba? Hehe.." Dirga mengerikan. Isabel mulai takut. Tapi mana boleh ciut. Malu sama umur!
"Sinting Lo!"
"Gue juga masih gak ngerti, gimana caranya Pabella bisa mati dan narik Lo ke sini?" Ujar Dirga.
Pertanyaan itu bukan untuk Isabel. Tentu saja! Isabel pun tak paham soal itu. Dan Dirga? Bisakah dia percaya sepenuhnya pada orang ini? Pikir Isabel.
~
Sampai di depan gerbang tinggi rumah Pak Jenderal, sebuah mobil ambulance sedang terparkir tepat di tengah-tengah. Isabel makin kacau saat melihat Angkasa tergolek lemah tak sadarkan diri. Mereka keluar menggotong Angkasa dengan blangkar bersama Jenderal BRENGSEK yang terlihat mondar-mandir kebingungan.
Isabel hendak keluar dari mobil untuk menghampiri mereka. Setidaknya ia ingin mencaci maki sang Jenderal abal-abal itu.
"Jangan! Biarin mereka selamatkan Angkasa dulu. Kita ikutin di belakang." Tahan Dirga.
Ya. Memang sudah seharusnya mereka menyelamatkan Angkasa dulu. Jika ribut sekarang, akan memakan lebih banyak waktu untuk bisa menolong Angkasa.
"Oke..." Isabel kesal dan kembali membanting pintu mobil yang sempat ia buka tadi.
"Pelan-pelan kali. Mobil gue rusak ntar. Gue baru-baru ini punya peran orang kaya lagi. Ngeselin lu!"
"Cgh.. Asem lu." Celetuk Isabel. Dirga kembali terkekeh.
Ambulance mulai pergi bersama mobil mewah hitam milik Jenderal. Dirga mulai mengikuti mereka untuk sampai ke rumah sakit.
"Lo yakin, Pak Jenderal nyiksa Angkasa?" Isabel masih juga tak percaya. Apalagi saat melihat kekhawatirannya tadi membuat Isabel bertambah ragu.
"Lo bisa liat bekas luka Angkasa. Badannya gak ada yang bener. Tambah lagi bekas sayatan besar di dadanya buat operasi transplantasi. Gue sampai heran kenapa protagonis Wangja itu Aksara? Padahal Angkasa lebih istimewa dari itu.." Jawab Dirga.
"Peduli setan sama protagonis-protagonis lembek itu. Mereka bikin gatel. Pen bogem! Geli banget gue liat mereka." Keluh Isabel. Dirga hanya menggeleng selagi tak henti-hentinya tersenyum. Entahlah. Seharusnya tak ada senyuman apapun dalam kondisi seperti ini.
~
Isabel dan Dirga masih memantau dari kejauhan saat Angkasa ditangani beberapa tim medis. Pak Jendral sempat berteriak-teriak saat berbicara dengan seorang dokter.
Entah karena masalah apa, namun Pak Jenderal sangat lantang. Dia terlihat berkuasa di manapun. Pantas saja, Angkasa pun terkesan seperti itu ketika di sekolah. Ternyata ada gen-nya. Pikir Isabel.
Tak berselang lama, empat orang berpakaian hitam-hitam bergegas datang menghadap sang Jenderal. Mereka langsung bersiaga di sana.
"Kenapa harus ada bodyguard segala?" Tanya Isabel ketika masih memperhatikan mereka dari kejauhan. Dirga hanya bergidik selagi menggeleng. Dia pun tak paham. "Kayaknya kita kurang dekat Dir.." Isabel mencoba kembali mencari tempat yang lebih dekat. Namun lagi-lagi Dirga menahan.
"Ish sabar kali! Kita ke sana setelah Angkasa di tangani dulu! Jangan ganggu petugas medis! Lo mau Angkasa lewat?" Tahan Dirga.
Isabel langsung mendorong kasar Dirga saking kesalnya. Iaduduk kembali di balik tembok. Dirga berjongkok di samping Isabel.
Malam semakin larut. Isabel beberapa kali mendapat panggilan dari Fiona tapi enggan menjawab. Setidaknya ia ingin memastikan keadaan Angkasa terlebih dahulu.
Udara semakin dingin. Isabel mulai mengusap-usap kedua tangannya. Pantas! Isabel hanya memakai seragam pendek juga rok pendek. Dirga yang menyadari Isabel kedinginan, akhirnya membuka jaket dan ia berikan pada Isabel.
"Gak usah!" Tolak Isabel.
"Pake aja!" Dirga memberikannya paksa bahkan memakaikannya langsung. Isabel tak lagi bisa menolak. Sudahlah..
"Udah satu jam Dir.."
"Tunggu aja.." Jawab Dirga santai. Namun jawaban Dirga makin membuat Isabel geram
"Lo temen gue apa musuh gue sih?? Kenapa dari tadi gue gak boleh nyamperin Angkasa? Sialan lu!" Ujar Isabel yang langsung bangkit dan pergi dengan berani mendekati Pak Jenderal dan ruang emergency yang dipakai Angkasa.
Dirga mengejar tanpa bisa menghalang-halangi lagi kali ini. Langkah Isabel terlalu cepat. Para bodyguard itu melihat Isabel menghampiri. Mereka berjaga di depan pintu. Pak Jenderal pun memperhatikan. Ia sangat mengenali wajah itu. Fiona beberapa kali memperlihatkan foto-foto anaknya dan memujinya dengan bangga.
"Saya mau ketemu Angkasa!" Ujar Isabel lantang. Bodyguard itu makin menghalangi pintu saat Isabel mencoba masuk.
"Apa-apaan kamu?" Pak Jenderal mulai ambil sikap. Suaranya bergema di seluruh ruangan. Isabel mulai ketakutan. Di kaca jendela ruang emergency, ia sempat melihat Angkasa menoleh ke arah luar dengan masker oksigen dan beberapa alat medis yang sudah terpasang lengkap di tubuhnya.
Isabel tak tahan dan hanya bisa menangis saat melihat keadaannya. Dan pria tua Bangka ini,..
Bugh..
Isabel sekuat tenaga memukul wajah Pak Jendral dengan bogem kecilnya. Durhaka?? Terserah! Tanggung! Tapi sakit. Pipi itu bagai besi. Tangan Isabel bergetar setelah melayangkan pukulan itu.
Dirga tertegun dengan keberanian Isabel. Dua orang bodyguard berbadan besar itu langsung mencegal tubuh Isabel hingga tak bisa bergerak sama sekali.
"Kamu berani yah?" Pak Jenderal terkekeh kemudian menghampiri Isabel selagi menyundul kepala Isabel beberapa kali hanya dengan telunjuknya. Ia bahkan tak henti-hentinya tergelak seperti orang gila.
Ribut-ribut di dalam ruang emergency tiba-tiba menyita perhatian. Itu Angkasa! Tak terima wanitanya di perlakukan seperti itu oleh sang Ayah, ia berusaha bangkit dengan tubuh setengah sadar.
Dirga menyerobot masuk meski harus baku hantam dulu dengan beberapa bodyguard Pak Jenderal. Dirga bahkan membatu melepaskan Isabel dari cengkraman pria-pria besar itu. Gigitan, tendangan di tempat vital, juga gerakan cepat. Beruntung, Isabel sempat tau teorinya. Latihan yang sedikit itu ternyata ada gunanya juga.
Brukk!
Dirga dan Isabel berhasil masuk ke dalam ruang emergency, mengunci pintu dan menahan mereka untuk masuk.
Isabel langsung menghambur ke arah Angkasa. Memeluknya seakan tak terpisahkan. Angkasa mengecup kepala Isabel beberapa kali meski tubuhnya masih tak bisa leluasa ia gerakkan sesuka hati.
"Bel.."
"Hmm?"
"Kita pergi dari sini.." Pinta Angkasa. Melihat begitu banyak alat medis yang Angkasa butuhkan, membuat Isabel ragu untuk membawanya pergi. Dia butuh alat-alat itu. Sekarang saja, dia terlihat sesak saat setelah membuka masker oksigen beberapa saat yang lalu.
Isabel kembali memakaikan masker oksigen itu, berharap bisa membantu Angkasa.
"Hei! Kalian! Bukan waktunya buat mesra-mesraan sekarang! Kalian mau apa?? Kabur atau disini aja? Cepetan Bella!" Dirga ternyata sedang kesulitan menahan pintu. Beberapa pria besar tadi berusaha mendobraknya.
"Kita pergi aja.." Pinta Angkasa. Isabel makin kebingungan. "Bel.." Angkasa menggenggam erat tangan Isabel berharap ia segera membawanya pergi.
Akhirnya Isabel mengangguk. Ia bisa membawanya ke rumah sakit yang lebih baik dan tak harus dalam tekanan Pak Jenderal setan itu.
Isabel membantu Angkasa untuk bangkit. Ia membantu menutupi dada Angkasa yang sudah terlihat benar-benar cacat. Tubuhnya bergetar hebat ketika berusaha keras untuk bangkit. Angkasa bahkan sempat meringis ketika Isabel meraih tangannya. Dengan cepat, ia menyingkap tangan kemeja Angkasa. Benar! Banyak luka memar di sana. Isabel bahkan menyingkap kemeja Angkasa lagi. Sama saja. Ada banyak luka juga di sana.
Melihat semua itu, membuat Isabel makin yakin untuk membawanya pergi. Isabel mengaitkan tangan Angkasa di bahunya. Meski lebih pendek, tapi setidaknya Isabel masih punya kekuatan.
Brakkkk!
Terlambat!
Dirga kewalahan dan malah terpental jauh dari pintu.
Mereka berhasil mendobrak..!
~
🍃
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top