Pistol
~
Nyonya Kirana.
Malam itu dia hadir dengan setelan necis ala-ala Prancis. Tepat saat Dirga jatuh tersungkur kerena mereka berhasil mendobrak pintu ruang emergency.
Dia tak sendirian. Jejeran bodyguard berbadan besar langsung menerobos masuk menyibak kroni Pak Jenderal, kemudian mengerubungi Isabel dan Angkasa. Mereka menahan serangan dari para bodyguard Pak Jenderal. Entah harus senang atau mungkin waspada, namun Angkasa masih terlihat berjaga-jaga. Tapi kalau dipikir lagi, dia memang selalu seperti itu. Tidak ramah.
"Sayang.." Nyonya Kirana langsung mengusap pipi Angkasa begitu melihatnya. Namun entah mengapa Angkasa menepis kasar. Ia bahkan meminta Isabel untuk kembali membawanya pergi.
"Sebentar.. " Tahan Nyonya Kirana.
"Kirana! Sedang apa kamu?!" Pak Jenderal berteriak tak jauh dari sana. Dia tak bisa mendekat karena terhalang bodyguard Kirana.
Suara Pak Jenderal terdengar jelas sebenarnya, namun Nyonya Kirana enggan menanggapi.
"Kamu Pabella..?" Tanya Kirana. Isabel tertegun. Angkasa langsung pasang badan. Ia tak yakin dengan Ibunya sendiri. Jika ingin menyakiti Isabel, sebaiknya hadapi dia dulu. Gumam Angkasa.
"Biarkan Mamah bicara sama dia.." Ucap Kirana sambil kembali mengelus lembut pipi Angkasa. Namun tak mudah. Angkasa menggeleng tak mengizinkan.
"Angkasa.." Pinta Kirana.
"Gak!" Angkasa makin menyembunyikan Isabel di belakang punggungnya.
"Mamah cuma bicara sebentar.." Pinta Kirana lagi.
"Aku gak percaya sama Mamah.." Ucapan Angkasa sangat dalam. Entah berapa kali ia dikecewakan hingga sampai ke tahap tak percaya sama sekali. Kirana sempat tertegun dan mengangguk beberapa kali.
"Oke.. Mamah gak akan nyentuh dia." Kirana menyerah. Mengangkat kedua tangannya pertanda melepaskan Isabel."Tapi kamu harus ikut sama Mamah ke Jerman." Ah.. Jerman. Bukan Prancis. Setelan itu, setelan khas Jerman. Maafkan.. Hehe..
"Gak! Gak ada. Angkasa gak boleh pergi!" Pak Jenderal langsung membantah.
"Kamu jangan ikut campur!" Tunjuk Kirana makin geram. "Lihat apa yang kamu lakukan sama anak sendiri? Bajingan!" Cecar Kirana. Semua orang terdiam. Tak ada yang berani bersuara. Termasuk tenaga medis yang mulai berdatangan.
"Mamah sama aja.." Ungkap Angkasa pelan. Ia lalu meraih tangan Isabel kemudian mengajaknya pergi.
Namun jika semudah itu, apa fungsinya bodyguard berbadan besar itu? Mereka tentu menghalangi jalan Isabel dan Angkasa. Tak membiarkannya pergi tanpa perintah.
"Biarin aku pergi Mah.." Angkasa menatap tajam ke arah Ibunya seolah mengancam.
"Mamah sudah susah payah mempersiapkan transplantasi untuk kamu di Jerman." Ujar Kirana.
"Bukannya Mamah udah ninggalin aku..?" Angkasa menatap Ibunya dalam. Ekspresinya sama sekali sulit dijelaskan.
"Maaf.." Kirana berusaha mengamit tangan Angkasa namun tentu langsung ditepis. "Tunggu! Bella.. Tolong biarkan Angkasa pergi bersama saya.." Pinta Kirana. Angkasa kembali menggenggam erat tangan Isabel.
"Sa.." Isabel menatap wajah Angkasa seolah meminta izin untuk bicara dengan Kirana. Angkasa membuang muka tak bisa bertindak banyak. Mungkin ia bisa percaya pada Isabel.
"Kalau untuk kesembuhan Angkasa, silahkan bawa dia pergi.." Angkasa kembali menarik tangan Isabel, mencoba mencari jawaban di matanya. Sayang, Isabel kali ini terlihat sangat yakin.
Senyuman Kirana mengembang seketika. Dirga hanya bisa menunduk. Sudahlah. Semoga Kirana bisa dipercaya. Ini hanya soal waktu.
"Gak!" Angkasa menatap wajah Isabel lekat. "Kalau gue pergi, kita gak akan pernah tau kapan ketemu lagi.." Angkasa marah karena Isabel melepasnya begitu saja. Ia berharap wanitanya kembali menahan untuk tetap tinggal. Jika Isabel berkeras untuk membuatnya pergi, bagaimana caranya dia menolak?
"Pergi aja.."
"Bel.." Genggaman Angkasa kembali mengerat tak mau melepaskan.
"Gue janji kita pasti bakal ketemu lagi. Percaya sama gue." Ujar Isabel.
Angkasa tak bisa menjawab. Isabel sudah memintanya pergi. Mungkinkah artinya ini selesai?
~
Mereka benar-benar membawa Angkasa pergi. Meninggalkan Isabel yang penuh dengan rasa cemas. Angkasa bahkan tak lagi menoleh dan membuat hati Isabel mencelos. Apa dia menyakiti Angkasa? Pikir Isabel dalam hati.
Kini tersisa Pak Jenderal dan para bodyguardnya. Mampus! Mereka mungkin bakal menggantung Isabel dan Dirga.
"Kita bicara!" Ujar Pak Jendral.
Tak ada penolakan. Bahkan saat Isabel mencoba menghindar, para bodyguard itu langsung mencegat. Akhirnya mau tak mau mereka ikut membuntuti sang Jenderal.
"Tenang.. Ada gue." Bisik Dirga. Tenangkah Isabel mendengar bisikan Dirga? Tentu tidak. Siapa dia? Dirga bahkan selalu ragu dalam bertindak. Tak bisa diandalkan.
Mereka membawa Isabel dan Dirga masuk ke dalam mobil. Akan se-gila apa Jendral abal-abal ini? Dirga dan Isabel tak henti-hentinya saling pandang berusaha memahami skema mereka. Tapi nihil, mereka tak bisa paham.
Mereka melaju mengikuti mobil Pak Jenderal yang sudah lebih dulu pergi.
"Dirga.. Gimana caranya kita kabur?" Bisik Isabel yang tengah dihimpit oleh para pria berbadan besar itu.
"Ekhm ekhm..!" Sekecil apapun suara Isabel, tetap saja terdengar. Mereka terlalu berhimpitan satu sama lain. Sama sekali tidak ada celah.
Di luar, terlihat sudah sangat larut. Mungkin sekitar pukul sebelas atau dua belas?
Fiona. Nyonya Fiona bisakah membantu? Mungkin dia bisa merayu Jendral itu supaya melepaskan mereka. Namun sial. Bahkan saat Isabel baru mengeluarkan ponsel saja sudah di rebut cepat. Pria sangar itu melempar ponsel Isabel ke belakang. Dirga pikir ponselnya aman karena masih tersimpan rapi dalam saku celananya.
Tapi jangan harap! Pria sangar di sisi lain juga menggeledah ponsel Dirga dan melemparnya juga ke belakang. Sial!
"Kenapa lu kasih bego!" Bisik Isabel.
"Lu juga ngasih tadi.."
"Ck! Apa gunanya sabuk hitam?" Isabel mendelik tak suka. Dirga mengendus kesal. Jika satu lawan satu boleh saja. Tapi jika empat orang seperti ini cari mati namanya. Pikir Dirga. Sudahlah. Percuma saja berdebat dengan Isabel.
Mereka sampai di sebuah rumah besar. Bukan. Bukan rumah keluarga Jenderal yang mereka kunjungi tadi. Tapi rumah lain. Rumah besar dengan parkiran luas. Ada bunderan air mancur saat masuk ke dalam. Udah kayak pintu masuk istana berkuda. Mungkin bukan? Isabel masih menerka-nerka.
Mereka menggusur Isabel dan Dirga keluar dari mobil, menggiringnya memasuki sebuah rumah berpintu besar. Sepertinya arena tembak. Sangat luas dan gelap karena malam pun semakin larut.
Ada seorang pria yang menyambut kedatangan Jendral. Ia mengangguk saat mendapat sebuah perintah. Entah perintah apa, yang jelas mereka langsung bergegas mempersiapkan sesuatu.
Pria-pria besar tadi mulai mengikat tangan Dirga dan Isabel. Saatnya berontak?
Ya! Setidaknya coba dulu.
Isabel dan Dirga sontak melawan. Mengerahkan segala macam pukulan yang pernah mereka pelajari.
Sang Jenderal masih santai memperhatikan hingga beberapa orang datang membawa perlengkapan yang ia minta.
Itu senjata api. Berbagai jenis pistol mereka jejer-kan di atas meja.
"Heh!"
DUARR..
Jendral menembak langit-langit untuk menghentikan kebrutalan Dirga dan Isabel. Dia menodongkan pistol ke arahnya.
"Diam!" Teriak Jendral. "Ikat!" Titahnya lagi. Pria-pria itu bergegas menurut. Mereka bahkan membawa Isabel dan Dirga ke ujung tempat sasaran itu berada. Jendral itu benar-benar gila! Meski kebal hukum, bukankah ini keterlaluan? Mereka bahkan masih SMA.
Dirga dan Isabel sudah terikat masing-masing di atas sebuah kursi. Sang Jendral mengacungkan pistolnya ke arah mereka dan..
DUARRR....
~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top