Kembali untuk ending

~

Pagi itu, Isabel bergegas lari menuju kelasnya. Dia mencari Dirga! Buku sialan itu malah membuat misi tak masuk akal. Haruskah ia percaya?

Isabel menerobos koridor, mendobrak keramaian, berlari sekencang mungkin seolah tak akan ada kesempatan lain.

Dan..

Pemandangan di kelas kali ini berbeda.

Seseorang dengan jaket hitam tebal tengah berbincang bersama Dirga dan Adrian. Beberapa orang juga berkumpul mengerubungi sambil sesekali terkekeh. Isabel mematung. Tak berani menebak siapa pria jangkung itu! Yang jelas, sosoknya entah mengapa membuat hati ketar-ketir.

"Bel! Angkasa balik!" Dirga langsung membalik tubuh pria itu, menunjukkan dengan jelas pada Isabel yang masih juga berdiri di depan pintu. Napasnya bahkan belum kembali normal sejak berlari kencang tadi.

Pria itu tersenyum lembut kemudian membuka lebar-lebar kedua tangannya seolah meminta Isabel menghambur ke dalam pelukannya. Setengah tak percaya, Isabel malah berbalik pergi.

Angkasa tentu heran termangu sampai akhirnya Dirga memintanya mengejar.

"Kejar Bro!" Titah Dirga. Sadar Isabel makin menjauh, Angkasa pun bergegas mengejar. Semua orang melihatnya. Mereka seperti pasangan yang sedang berkelahi.

Kalau dihitung-hitung, memang terlalu lama. Setidaknya, Isabel hanya ingin satu atau dua kabar saja sudah cukup. Kabar tentang dia yang bisa selamat saat bergelut dengan kematian.

Sepanjang jalan Isabel tak kuasa menahan tangis. Tunggu! Sebentar saja. Isabel ingin mempersiapkan diri sebelum kembali menuangkan rindu pada orang itu.

"Bel.." Kali ini Angkasa berhasil menahan. Mereka sudah berada di depan gedung olahraga. Tempat dimana dulu Angkasa sempat di-sandung oleh kaki Isabel. Di sana sepi. Tak ada seorangpun yang bisa melihat. Apalagi tangis Isabel makin tak terbendung. "Lo gak kangen sama gue?" Tanya Angkasa yang dengan polos lalu mengusap air mata di pipi Isabel sambil tersenyum tanpa dosa.

"Kenapa lama banget sih?" Ia memukul pelan tangan Angkasa sambil mengeluh dengan tangis yang kian deras.

"Maaf..." Angkasa mendekap erat tubuh mungil Isabel dan membiarkannya menangis dalam pelukan. Usapan penuh kasih sayang di kepala Isabel makin lama makin nyaman. Lega! Mereka akhirnya bisa bertemu kembali. Meski siksaannya cukup berat, tapi Isabel bersyukur masih diberi kesempatan untuk memeluknya lagi.

"Kenapa tadi gak mau di peluk? Malah pergi lagi?" Tanya Angkasa.

Sontak Isabel langsung melepaskan pelukannya dan sedikit mendorong Angkasa.

"Gila aja lu! Gak malu apa? Di kelas banyak orang begitu." Cecar Isabel sambil berusaha menghapus sisa-sisa air matanya.

"Ah... Jadi cari tempat sepi dulu gitu?" Angkasa melihat sekitar yang memang sepi. Isabel tersenyum senang lalu mengangguk dan kembali memeluk Angkasa.

"Sa, kita cabut aja yuk! Gak usah sekolah." Ajak Isabel.

"Dih.. Belajar nakal lu? Gue aduin Nyonya Fiona yah?" Ancam Angkasa.

"Berasa deket lu sama Nyonya Fiona?" Ledek Isabel.

"Iya lah. Bukannya dia mau bikin album baru yah? Nyonya Kirana produsernya." Ujar Angkasa.

Isabel kembali melepaskan pelukannya.

"Serius Lo? Berati selama ini mereka saling ngasih kabar dong?"

"Iya.. Lo gak tau?" Angkasa malah heran.

"Gak tau.." Isabel benar-benar melewatkan ini. Ia tak menyangka ternyata kabar mengenai Angkasa selama ini begitu dekat. Ia hanya tidak menyadarinya.

"Kemana aja lu..?" Angkasa mengusap rambut Isabel gemas, lalu kembali berkata, "Gue juga tau kalau selama ini Lo deket sama Dirga.." Rona wajahnya berubah. Angkasa terlihat sedikit kecewa ketika membicarakan soal Dirga.

Lain dengan Isabel. Ia tertawa puas dan bangga. Kenapa? Karena artinya Angkasa sedang cemburu. Apa jadinya jika Wangja cemburu?

"Lo cemburu?" Tanya Isabel senang.

"Enggak.. Biasa aja.." Angkasa membuang muka berusaha tidak menunjukkan rasa cemburunya.

"Beneran?" Goda Isabel. Angkasa tak mau menjawab. Ia hanya merenggut sambil menendang kerikil. "Mm.. Kalau gue bilang, gue mulai suka sama Dirga gimana?" Ledek Isabel. Angkasa menoleh, kali ini benar-benar terlihat kesal

"Gue pastiin Lo gak bisa ketemu lagi sama Dirga." Angkasa serius. Menatap dalam wajah Isabel dan terlihat yakin.

"Mana ada. Yang bikin gue gila cuma satu orang. Namanya Angkasa. Wangja Antariksa.." Penjelasan Isabel membuat Angkasa salting sendiri. Ia tak lagi bisa berkata apa-apa. Isabel mengulurkan telapak tangannya, meminta Angkasa untuk menyambut.

Mereka akhirnya bergandengan tangan kembali menuju kelas.

"Wangja itu apa?" Tanya Angkasa. Ah.. Isabel lupa. Wangja adalah judul novel. Hanya Dirga dan dirinya saja yang paham arti dari kata ini.

"Wangja itu, Wang, artinya Raja dalam bahasa Korea.." Jelas Isabel.

"Oh? Raja?"

"Iya."

"Mm... Gue lebih suka jadi rakyat biasa. Hidup sederhana, gak ada tuntutan apapun.." Mereka masih bergandengan sambil berbincang.

"Kadang gak semudah itu kita bisa memilih apa yang kita suka, dan tidak suka.." Ucap Isabel. Angkasa mengangguk setuju.

"Sa..?"

"Hmm?"

"Kalau gue yang pergi, apa yang bakal Lo lakuin?" Penasaran, Isabel mulai memikirkan novel yang hampir menuju ending. Kemungkinan untuk tetap bersama seperti ini nol besar.

Jika dia menerobos asap abu-abu itu lagi, dia bisa pulang dan tak lagi bertemu dengan Angkasa. Dan jika dia tetap tinggal, mereka hanya akan bersama sampai mencapai ending, lalu menghilang. Pilihan yang sama-sama memaksa mereka untuk berpisah.

Dan kalaupun kelak Isabel memutuskan untuk tinggal dan menjadi pengatur imajinasi seperti Dirga, ingatan Angkasa tak akan pernah utuh seperti dirinya. Jika ditakdirkan untuk bertemu dalam judul lain, Angkasa tetap akan melupakannya.

Jahat. Isabel merasa seperti alat. Sangat tidak adil.

"Nunggu.. Kayak Lo.. Sampai Lo balik lagi." Jawab Angkasa.

"Kalau gue gak balik lagi?"

"Gue susul." Jawaban Angkasa sangat cepat sepertinya tak di pikirkan sama sekali.

"Kalau Lo gak tau harus nyusul kemana?" Tanya Isabel kembali.

"Gue mati udah." Kali ini pun cepat tanpa berpikir lagi. Angkasa se-candu itu pada Pabella.

"Cigh.. Bisa aja Lo.." Isabel terkekeh. Entahlah harus percaya atau tidak. Yang ada di pikirannya sekarang, hanya tentang kekhawatirannya tentang waktu yang semakin sempit.

"Gue serius.." Angkasa menoleh dan mengelus kepala Isabel dengan senyuman khasnya. Senyuman yang sulit dilupakan itu, senyuman yang mematikan itu, senyuman yang juga bisa membuatmu hilang akal seketika.

"Terus kalau kita pisah, terus ketemu lagi, dan Lo sama sekali gak ingat sama gue gimana?" Lagi-lagi Isabel kembali bertanya soal kemungkinan-kemungkinan yang akan ia hadapi kedepannya.

"Gak mungkin." Angkasa malah terkekeh.

"Gak mungkin apa?"

"Gak mungkin gue gak inget sama Lo. Selama lima bulan ini, gue gak bisa tidur tanpa lihat foto-foto Lo dulu.." Jelas Angkasa.

"Masa sih?" Angkasa mengangguk yakin. "Tapi ini misalkan loh.. Misal kalau suatu saat nanti, Lo beneran hilang ingatan, dan sama sekali gak ingat sama gue gimana?" Isabel makin penasaran.

"Yang gak ingat siapa?"

"Elu!" Jawab Isabel.

"Berati lu inget?" Angkasa mencoba memahami maksud Isabel.

"Inget.." Isabel menghentikan langkah mereka untuk mendengar jawabannya.

"Yang lupa gue kan? Dan yang ingat Lo. Artinya Lo bikin gue inget. Harusnya itu pertanyaan buat Lo. Bukan buat gue. Kalau gue lupa, Lo bisa bikin gue ingat lagi. Apa susahnya sih?" Jawaban sederhana Angkasa membuat Isabel tertegun.

Tidak se-sederhana itu.

~

Kalau sama sekali gak ada kemungkinan buat mengingat, kira-kira pantaskah gue merelakan nyawa buat pilihan itu?

Haruskah tetap stay saat kemungkinan bersama pun sama sekali tidak ada?

Isabella~

🍃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top