Daki gunung Amazon

~

Coach mempersiapkan armada khusus untuk mendaki gunung Amazon.

Coba tebak armadanya apa?

Semua orang melongo ketika hanya ada dua mobil kol buntung hitam yang bersiap menarik dua puluh orang anggota Boxing. Mereka bahkan menata sedemikian rupa supaya tempatnya bisa cukup. Biasa bayangkan, anak-anak yang biasa naik Alphard tiba-tiba harus naik kol bak?

Sebenarnya tempat masih leluasa. Tapi please! Udah kayak kambing aja. Gumam Pabella. Dan lagi-lagi Isabel merasa makin buntung saat Dirga dengan sengaja membuat Isabel duduk berdekatan dengan Angkasa. Mereka kayaknya memang sudah merencanakannya. Pikir Isabel.

Sepanjang perjalanan naik mobil kol bak, semeriwing udara dingin pegunungan mulai menusuk-nusuk kulit. Tidak ada persiapan apapun tadi. Isabel hanya memakai kaos polos pendek dan celana parka. Jaketnya sengaja ia lepas dan di simpan di kamar. Tau gini, harusnya ia pakai saja tadi.

Kalau tau bakal langsung pergi kayak gini, Isabel pasti akan mempersiapkannya dengan rapi. Bukannya manja. Tapi tanpa persiapan, pergi ke supermarket pun bisa-bisa gak bisa bayar kan?

Angkasa menyadari sebenarnya. Udara gunung memang terasa bagai es. Isabel pasti kedinginan. Ia sempat ingin melepaskan mantel tebalnya dan hendak memberikannya pada Pabella. Tapi tatapan tajam Isabel tiba-tiba menghunus padanya. Angkasa kembali memakai jaketnya mengurungkan niat.

"Lo pasti tau kan?! Lo ngerjain gue!" Tuduh Isabel. Angkasa melengos tak mau menjawab. Toh di jelaskan seperti apapun, tak mungkin percaya.

"Lo liat aja nanti! Pulang dari sini, abis lo!" Ancam Isabel. Angkasa malah terkekeh geli. Bukannya marah, ancaman Isabel terkesan lucu baginya.

"Terus, kita cuma harus naik gunung doang, abis itu pulang, gitu?" Meski marah, Isabel masih juga bertanya teknisnya. Angkasa makin terkekeh.

"Lo gak ngerti yah?! Gue, lo, sama anak-anak ini.." Angkasa menunjuk beberapa temannya yang kedinginan karena udara gunung. Apalagi kabut masih juga belum naik. Padahal matahari sudah hampir di ujung kepala. "Kita semua sabuk putih. Gak ada yang tau." Jelas Angkasa.

"Bohong!" Tentu Isabel tak percaya.

"Terserah!"

"Konco-konco lo pasti tau kan?"

"Gue gak nanya.." Jawab Angkasa cuek.

Pltak!

Awwwggghh..

Isabel dengan enteng menjitak kepala Angkasa.

"Sss.." Angkasa hampir melayangkan tamparan, namun tak jadi. Isabel sempat menciut ketakutan. Angkasa tak tega. Isabel tersenyum menang. Apalagi saat melihat semua orang yang duduk di mobil tertegun heran melihat tingkah Angkasa.

Yang benar saja, Wangja sekarang kalah dengan seorang wanita? Heran. Padahal semua orang tau kebengisan Angkasa ketika seseorang mencolek saja, harusnya dia habis. Dan sekarang? Lihat? Pabella aman-aman saja.

Ternyata perjalanan menuju gunung Amazon lumayan jauh. Letak titik pendaki masih beberapa kilo meter lagi. Bisa terlihat dari petunjuk arah yang terpasang di sepanjang jalan yang sudah beraspal.

Pohon rimbun sudah berjejer rapi di sisi kanan dan kiri jalan. Monyet liar pun terlihat beberapa. Dan yang makin ekstrim, udaranya makin dingin.

"Heh! Ngalah kek sama cewek." Bisik Isabel pada Angkasa.

"Apa?" Angkasa tak paham sampai ia mencubit kecil jaket tebal Angkasa. Ah.. Ia lupa Pabella bukan cewek sembarangan. Gak mungkin punya rasa malu. "Ogah!" Angkasa so jual mahal. Ia bahkan mengeratkan pelukan jaketnya. Padahal ia tadi berniat merelakan jaketnya. Namun ia tau Pabella pasti merebut paksa.

Ya!

Bukan Pabella namanya kalau berhenti sampai di sana saja. Sekuat tenaga, dia menarik tangan Angkasa, membuka dekapan tangannya paksa, lalu melepas kancing dan sleting mantel coklat itu.

"Buka!" Titah Isabel. Angkasa masih saja menghimpit mantel itu dengan tangannya.

Angkasa pura-pura menggeleng, padahal sejak awal dia berniat memberikan jaketnya. Isabel sampai harus menoyor kepalanya supaya Angkasa menahan tubuhnya ke belakang.

Dan..

Akhirnya, jaket itu berpindah tangan. Tanpa rasa malu, Isabel memakainya lalu tersenyum puas.

Angkasa terkekeh sendiri melihat tingkah gemas Pabella. Dan anggota sabuk putih itu, lagi-lagi menggeleng tak terima.

Kemana Wangja bengis yang mereka kenal? Sekarang bahkan mengalah untuk wanita? Ck ck ck..

~

Sampai di titik pendakian, mereka semua turun dari mobil. Semua berjejer rapi menunggu instruksi dari Coach.

Namun semua kroni Angkasa mengacungkan jempol saat melihat Isabel memakai mantel itu.

"Semua mari perhatikan!" Ujar Coach dengan sekali tepuk. "Untuk mencapai di puncak, kalian hanya diberi waktu enam sampai tujuh jam. Artinya, jika kita mulai naik dari jam dua belas siang ini, kalian harus sampai puncak sekitar jam enam malam atau paling terlambat jam tujuh malam." Jelas Coach.

"Karena kalian masih sabuk dasar, saya tidak membawa kalian ke gunung Rinjani atau Semeru. Jarak puncak Gunung Amazon cukup dekat. Mengingat latihan-latihan kalian sebelumnya, saya rasa kalian mampu. Dan harus mampu!"

"Box!" Semua orang menyahut semangat. Setidaknya berteriak membantu mengeluarkan kekuatan yang terpendam kan? Sekalian membakar semangat juga.

"Baik. Tadi kita sudah melewati POS satu dan dua. Di atas sana, ada sekitar lima POS lagi. Di setiap POS ada tim yang sudah berjaga-jaga. Keselamatan tetap yang utama." Coach masih terus mewanti-wanti.

"Dan lagi, kalian akan dibagi menjadi dua kelompok. Yang menang bisa naik tiga puluh menit lebih cepat. Yang kalah, tunggu giliran naik."

"Box!" Sahut mereka kembali.

Dan, cara Coach membagi kelompok cukup unik. Diantara enam belas anggota, mereka hanya harus berdiri dengan menekuk lututnya selama mungkin. Bagi yang tak bertahan, artinya masuk kedalam kelompok kalah.

Yang bikin heran, Angkasa ternyata bisa bertahan cukup lama. Dia bahkan beranggotakan beberapa peserta dengan sabuk hitam, merah, dan hijau. Tentu saja bersama para kroninya. Sial! Angkasa kini meledek Isabel karena merasa menang. Dia bahkan mengedipkan satu matanya saat mulai naik gunung lebih dulu. Angkasa memberi isyarat dengan tangannya. 1-0. Kemudian merangkul para kroninya sambil tertawa puas.

"Edann!" Gerutu Isabel kesal.

"Oke. Jangan kecewa. Kita akan mulai tiga puluh menit setelah mereka naik. Dan sesuai aturan, jika kita bisa menyusul mereka, ada Reward yang sudah kita dan tim siapkan di puncak." Ujar asisten Coach yang kini memandu delapan orang anggota Boxing. Jumlah mereka genap sepuluh dengan dua orang asisten pelatih.

Tim mereka agak jomplang memang. Tim satu, berisi tim senior dengan sabuk-sabuk warna warni. Sedangkan tim dua, seluruhnya berisi anggota dengan sabuk putih pemula. Sialan! Isabel masih juga menggerutu sendirian bahkan saat memulai pendakian.

~

Satu jam mendaki..

Tubuh Angkasa mulai kebas. Nafasnya memburu, kaki dan tangan mati rasa. Tusukan-tusukan di dada jangan di tanya. Sudah terasa sejak setengah jam mendaki tadi. Namun mereka akhirnya sampai di POS tiga. Di sana mereka mulai mendapatkan perlengkapan mendaki. Beberapa air minum, makanan, dan persediaan kotak P3K, lengkap dengan ransel.

"Masih kuat? Dari sini, masih bisa panggil motor buat balik lagi ke bawah. Di POS berikutnya udah gak bisa." Jelas Gandi selagi memberi air minum pada Angkasa yang duduk bersandar pada dinding POS.

Angkasa masih menggeleng yakin. Padahal Gandi sudah mulai khawatir. Adrian dan Dirga malah sibuk mengumpulkan perbekalan.

"Kita hanya punya waktu sepuluh menit untuk istirahat. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk kembali mengumpulkan semangat."

"Box!" Gandi bersuara paling keras selagi menepuk pundak Angkasa lalu bangkit berniat mengumpulkan perbekalan juga.

Angkasa tidak berniat melakukan hal yang sama. Tenaganya sudah terkuras. Ia hanya ingin istirahat. Dan kalau bisa, mencari obat yang biasa ia minum di rumah.

Persediaan obat-obatannya tertinggal di mantel coklat itu. Angkasa belum sempat mengambil saat Isabel merebutnya dengan paksa.

~

POS empat..

Isabel hampir menyerah. Namun mereka kembali mendapat angin segar saat tim penjaga POS menyediakan kembali air minum, juga makanan dan perlengkapan mendaki lainnya seperti handuk, baju ganti, dan mantel baru.

Tetap saja. Ini Antariksa. Jangan lupakan itu.

Isabel membuka mantel milik Angkasa hendak menggantinya dengan yang baru. Namun, Isabel baru sadar ternyata ada sesuatu yang mengganjal di saku mantel itu.

Sebuah tabung putih seukuran genggaman tangan ternyata dia bawa-bawa sejak tadi. Narkoba kah? Pikir Isabel.

Label yang tertempel di botol sama sekali tidak bisa dimengerti. Isabel terpaksa bertanya pada asisten coach.

"Ini apa coach?" Tanya Isabel sambil menunjukkan botol kecil itu.

Asisten pelatih mengerut heran. Sepertinya tabung seperti ini sangat familiar baginya.

"Yang saya tau, yang minum obat begini, nenek saya. Dia punya gangguan irama jantung. Entah obat untuk apa, tapi biasanya dia gak bisa jauh-jauh dari obat ini. Kamu dapat dari mana?" Tanya Asisten pelatih.

Deg..!

Jantung?

Ough SHIT!..

🍃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top