Angkasa

~

Isabel mengikuti serangkaian latihan Boxing. Melelahkan. Tapi tak jauh berbeda dengan latihannya di dunia nyata. Semuanya sama persis. Hanya saja yang bikin heran, Angkasa. Dia tidak ikut bergabung untuk latihan. Sama sekali.

Tapi jika diperhatikan, sabuk Angkasa masih berwarna putih. Sama persis seperti sabuk miliknya. Sabuk Gandi sudah berwarna merah entah strip berapa. Adrian sudah sabuk hijau. Dirga bahkan sudah sabuk hitam. Kalau tidak salah jika diingat-ingat di dunia nyata pun sabuk hitam pemegang tertinggi dunia beladiri. Atau mungkin disini sabuk putih paling tinggi? Tapi gak mungkin. Isabel pun mendapat sabuk putih sebagai tahap awal. Artinya Angkasa masih di tahap yang sama.

Mungkinkah Angkasa tidak bisa beladiri? Pikir Isabel.

Dalam otaknya, Isabel mulai terpikir untuk mencari tahu. Mungkin bisa mencobanya dengan cara menyerang tiba-tiba? Dorong ke kolam? Sleding di tangga? Atau pukul pake tongkat Bisbol yang nyangkut di sanggar Boxing? Atau langsung banting aja?

Semua pemikiran kotor itu entah mengapa membuat Isabel bersemangat. Meski di loker sanggar beberapa pria dengan entengnya membuka baju dan berganti sembarangan, tapi tak berpengaruh apa-apa pada Isabel. Ia pun cuek masuk dan membuat semua orang waspada.

Ayolah.. Otot kalian gak seberapa. Gak ada yang menarik. Apalagi si Adrian. Tumpukan lemak. Gumam Isabel.

"Keluar semua!" Titah Angkasa tiba-tiba.

Tak ada yang membantah. Semua orang menurut. Menyisakan Isabel berdua saja dengannya.

Angkasa duduk di bangku panjang selagi Isabel mengambil sesuatu di dalam loker. Sebenarnya hanya pura-pura sibuk bersama barang-barangnya. Isabel kebingungan bagaimana harus bersikap di depan Angkasa.

"Bel!" Satu panggilan Angkasa langsung membuatnya menoleh. Isabel kikuk. Apalagi melihat wajah lelah Angkasa seperti itu.

Tapi tunggu! Bukankah dia tidak latihan sama sekali? Kenapa bisa lelah? Pikir Isabel.

"Kayaknya lo bukan Pabella.."

Deg!

Jangan panik! Isabel berusaha terlihat tenang.

"Kenapa gue bukan Pabella?" Tanya Isabel

"Kalian beda."

Isabel mendekati Angkasa. Wajahnya sengaja ia dekatkan dengan wajah Angkasa. Jantung Isabel mulai bergetar hebat. Wajahnya lebih sempurna jika dilihat lebih dekat seperti itu.

"Apanya yang beda?" Tanya Isabel selagi berusaha menahan gejolak dalam dada.

"Em Ekhm.. uhuk.. uhuk.." Angkasa berpaling lebih dulu. Batuk-batuk tiba-tiba tanpa berani kembali melihat ke arah Isabel. Begitupun sebaliknya. Artinya, Angkasa pun salah tingkah.

"Gue Pabella. Isabella. Atau apapun itu, gue ya gue. Sekarang apapun yang terjadi, gue bakal ngejar lo. Kalaupun lo siksa gue, atau bunuh gue sekalipun! Gue bakal tetap bakal ngejar-ngejar lo sampai dapat! Jadi jangan coba-coba lari!" Hati Isabel makin tak karuan saat mengucapkan semua itu. Apalagi saat sadar suasana menjadi canggung. Angkasa bahkan tidak berkomentar apapun.

Setelah terdiam cukup lama, Angkasa bangkit kemudian mengusap tengkuk lehernya. Ia terlihat makin kikuk. Isabel masih memperhatikan.

"Gue suka sama Sandra. Dan persis kayak lo, gue bakal ngejar dia kemanapun. Dan gak peduli apapun. Urus perasaan lo! Jangan sampai ngerepotin gue." Kali ini Angkasa terlihat lebih tenang. Ia bahkan sama sekali tidak terlihat marah. Hanya sedikit canggung dan tak enak hati. Angkasa lalu pergi tanpa permisi.

Terus gue harus bilang waw gitu? Terserah! Kalau lo bilang jangan ngerepotin gak mungkin! Siap-siap aja gue repotin tiap hari. Dasar ANGKASA MARTAPURA. Kurang ajar.. Gumam Isabel. Mendengar nama Sandra Isabel sedikit gemas. Mungkin karena belum sempat membalas kelakuan dungunya kemarin.

~

Isabel menunggu komplotan Angkasa lewat di depan gedung olahraga. Posisinya agak bersembunyi di dekat tiang. Ia bahkan mempersiapkan sepatunya supaya kuat digunakan untuk berlari nantinya. Dan..

Itu dia!

Angkasa berjalan lebih dulu. Posisinya pas. Di sisi kanan dan pasti akan melewati tiang tempat Isabel bersembunyi. Mereka terlihat lebih segar setelah mandi. Fix. Udah kayak ef-four.

Satu.. Dua.. Ti.. Tiga..

Sleding..
BRUKK!

Kaki Isabel menghalangi langkah Angkasa hingga membuatnya terjembab di aspal. Persis! Angkasa benar-benar gak bisa bela diri. Dia bahkan dengan mudahnya terjatuh. Dia gak punya basic apapun tapi so jagoan? Kok bisa?

Tapi bukan waktunya buat mikir-mikir! Sebelum anak buah Angkasa turun, Isabel langsung berlari kencang tanpa berniat menoleh sedikitpun.

"ISABELLA!" Angkasa tentu sangat murka. Bahkan tanpa sadar memanggil Pabella dengan nama Isabella. Angkasa benar-benar kesal. Apalagi melihat semua anak buahnya malah terkekeh menahan tawa. "Bantuin A*j*ng!"

Dirga langsung bergerak meski tak tahan untuk tertawa. Dada Angkasa tertekan cukup keras tadi. Angkasa sontak merasa sesak. "Cewek bangsatd!" Angkasa masih tak tahan untuk menggerutu. Ia bahkan tak bisa langsung melanjutkan perjalanannya. Sejenak, Angkasa bersandar pada tiang besar itu untuk mengatur kembali nafasnya.

"Perlu kita kejar Bos?" Tanya Adrian balik khawatir melihat Angkasa seperti itu.

Namun bukan jawaban yang ia dapat, justru Adrian malah mendapatkan tatapan tajam. "Balik aja!" Titah Angkasa yang mulai kembali berjalan menuju gerbang.

Angkasa makin penasaran. Belum dua jam Pabella bilang suka dan katanya mau ngejar-ngejar tanpa ampun. Tapi kenapa malah nyleding tiba-tiba? Inikah cara dia mengejar? Konyol. Pikir Angkasa.

Sampai di depan gerbang, seperti biasa. Sudah ada sopir pribadi yang menunggu dengan gagah. Angkasa menepuk pundak Dirga kemudian masuk ke dalam mobil.

"Den, kenapa terlambat? Bapak sudah menunggu dari satu jam yang lalu.." Sopir mulai mengoceh. Namun tak ada jawaban apapun. Angkasa malah mengeluarkan earphone lalu menyetel music dengan suara full. Tak peduli jika gendang telinga bisa meradang setelahnya.

Tak ada yang spesial di rumah. Angkasa selalu tak senang jika pulang. Terlalu sesak di sana. Bukan soal ukuran tempatnya. Tapi semua orang di sana membuat Angkasa merasa terhimpit sendiri.

Desakan untuk menjadi sempurna, sangat memuakkan. Angkasa tak tahan dengan semua itu.

Namun ketika mengingat semua himpitan itu, kenangan soal Sandra kembali mencuat. Momen ketika dia mencoba kabur dan akhirnya malah bertemu dengan Sandra kembali terputar dalam ingatan.

Waktu itu, Angkasa bersembunyi dari kejaran para bodyguard. Bahkan hampir mati kehabisan nafas. Sandra menarik Angkasa menuju gang sempit dan bersembunyi sampai menjelang malam.

Sandra bahkan memberikan sebotol minuman dan seduhan mie instan di gang sempit itu. Namun sialnya, Sandra mengira Angkasa sedang di kejar preman.

Bagi Angkasa, kenangan itu sangat berkesan. Hingga membuatnya berpikir, ia sudah jatuh cinta pada Sandra. Namun kehadiran Pabella baru, sepertinya mulai menggoyahkan.

~

Sampai di rumah, Angkasa masuk dan langsung menyaksikan pertengkaran antara Ayah dan Ibunya. Tak mau ambil pusing, Angkasa berniat mengabaikan dan naik ke kamarnya. Namun ternyata tidak lolos.

"ANGKASA!" Panggil sang Ayah. "Kemana aja kamu?" Angkasa menghampiri Ayahnya tanpa menjawab. Ia hafal, jika menjawab pun akan tetap salah.

"Ada laporan, kalau kamu mukul anaknya Pak Batara? Bener?" Ibu mulai bertanya. Mereka terlihat emosi. Apalagi tidak ada jawaban apapun dari Angkasa.

"Angkasa!" Suara berat Pak Bima, Ayah Angkasa cukup membuat jantung bergetar.

"Iya.." Jawab Angkasa tanpa berniat menutupi.

Bugh..

Satu pukulan dengan kepalan tangan penuh mendarat di pipi kanan Angkasa. Sontak anak berusia 17 tahun itu berasa melayang hingga tersungkur.

Bukan soal dia lemah atau tidak. Seseorang dengan penyakit kelainan jantung, juga pernah menjalani transplantasi, tak seharusnya mendapat perlakuan kasar. Tubuh rentannya akan kewalahan. Apalagi mentalnya.

Angkasa terhuyung dan ter-jembab di bawah sofa. Entah per-sekian detik, ia sempat hilang. Namun kembali sadar saat Bima berteriak lagi.

"Bangun! Kamu mau jadi jagoan hah?!" Bima menarik kerah anaknya lalu melemparnya lagi ke atas sofa. Angkasa tidak bisa melawan. Ibunya bahkan hanya bisa berteriak meminta suaminya berhenti.

"Keluarga kita seharusnya tidak punya kekhawatiran apapun. Tapi kamu. Selalu saja bikin masalah! Sejak lahir sampai sekarang! Kamu bukan apa-apa kalau bukan karena keluarga ini! Kamu mungkin mati dengan penyakit bawaan itu! Kalau bukan terlahir dari keluarga ini, mana bisa kamu selamat?!" Bima makin emosi padahal Angkasa tidak menjawab apapun.

"Apa susahnya hidup normal dan bikin orang tua bangga! Lihat kakak-kakakmu!" Meski tak se-kasar Ayahnya, Ibu pun ikut menyakiti Angkasa. Lebih sakit karena mereka seolah menyalahkan.

Tak tahan, Angkasa berusaha pergi lagi. Meski dengan langkah yang tertatih, ia ingin melarikan diri. Tapi mustahil. Ada beberapa bodyguard yang siaga di depan pintu masuk.

Angkasa makin melemah. Dan akhirnya hilang.

Mereka bisa saja membiarkanku pergi. Memasang dan mencabut kembali nyawa yang sudah mereka beli. Kenapa harus menyiksaku sesakit ini?

Aku tidak memilih dilahirkan dari keluarga mereka.
Aku pun tidak memilih jantung yang cacat.
Apa harus semua menyalahkan-ku?
Tidakkah mereka semua GILA?

Kalau pun harus mati sekarang memangnya kenapa?

Keluarga setan ini pasti meyelamatkan-ku tanpa tau untuk apa aku diselamatkan.

Semua mereka lakukan sesuka hati.

Tau robot dengan baterai?
Tubuhku persis seperti itu!
Mereka mengganti baterai dengan yang baru, supaya aku bisa menjadi mainan mereka..

Angkasa~

🍃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top