🦋 41. Akhir 🦋

Malam, temans. Yang udah nungguin update, silakan baca. Hyuk lah merapat.

Denali mengabaikan tatapan-tatapan memuja atau bersorot penuh kagum yang ditujukan padanya. Beberapa kali orang memuji secara terang-terangan bahwa betapa cantik dirinya. Semua itu tidak membuat hatinya meleleh atau merespons berlebihan saat disapa. Dari seluruh undangan yang menghadiri syukuran peresmian vila papanya, tak seorang pun yang menarik perhatiannya.

Bastian dan keluarganya juga hadir. Seperti biasa, jika keluarga itu muncul di acara-acara resmi, Sharlene selalu ada di antara mereka. Begitu pula kali ini. Gadis itu bahkan berjalan ke berbagai tempat ditemani Bastian yang memang sudah tahu seluk beluk vila yang dibangun Barman.

Denali juga sempat disapa oleh Sharlene dan hanya mengangguk tanpa senyum. Dua kali Bastian sempat berbicara dengannya dan berusaha untuk mengajaknya jalan-jalan sebentar. Sebuah usaha yang berakhir dengan kegagalan karena tidak sedikit pun Denali antusias dan justru menjauh untuk mendekati papanya. Itu adalah posisi teraman di mana pria akan berpikir setidaknya dua kali sebelum menyapanya.

"Denali ... ternyata kamu sama papamu?" Hesti, mamanya Bastian, muncul dengan baju batik berwarna gelap dan rambut yang disanggul sederhana. "Cantik sekali, Bastian pasti bangga punya istri seperti kamu."

Denali hanya tersenyum kaku. Bastian pasti bangga, tetapi Denali akan malu setengah mati. Siapa yang mau memiliki suami yang sepanjang acara justru menggandeng perempuan lain? Dari situ saja sudah bisa dilihat bagaimana kualitas Bastian sebagai seorang suami. Pertengkaran demi pertengkaran pasti akan terus terjadi jika pernikahan itu dipaksakan.

"Makasih, Tante." Beruntung Denali tidak pernah mengubah panggilan untuk mamanya Bastian. Kalau itu terjadi, tentu sulit baginya untuk mengubah panggilan dari mama dan kembali menjadi tante.

"Topi baretmu bagus. Merah hati, cocok dengan bajumu yang manis. Beli di mana?"

"Singapura," jawab Denali.

"Anak nakal, diam-diam pergi ke Singapura. Nggak masalah gagal ke Lombok kalau dapat ganti ke Singapura. Mama setuju banget."

"Nggak sama Bastian, Tante. Dia, 'kan, sibuk sama Sharlene."

"Halah, nggak usah malu begitu. Keluarga besar pasti paham, kok."

Denali urung mencemooh Hesti yang sok tahu dan terlalu banyak berasumsi. Pikirannya melayang pada seluruh kejadian manis di Singapura, lalu terhempas pada kenyataan bahwa Elbrus bukanlah jodohnya. Nanti, dia akan membayar kembali uang yang telah Elbrus bayarkan untuk topi yang sedang dipakainya.

Bisa-bisanya dia jatuh cinta pada orang yang salah. Seharusnya, dia peka dari awal dan tetap pada sikapnya untuk tidak mudah dekat dengan orang baru. Namun, pembawaan Elbrus yang ramah dan menyenangkan itulah yang pada akhirnya membuat hatinya nyaman dan secara perlahan mulai terpesona.

Saat tamu-tamu sudah berpamitan pulang atau menuju tempat menginap masing-masing, Barman mengajak keluarganya untuk menikmati makan malam. Bersama keluarga Bastian, mereka duduk mengelilingi meja panjang dengan hidangan-hidangan yang kembali disuguhkan katering.

Rasa makanan pilihan Winda selalu enak. Danti sampai tambah dua kali, begitu pula Bastian sekeluarga. Meskipun begitu, Denali tetap tidak terlalu berselera. Dia makan hanya karena harus, kemudian mendorong piring kosongnya. Hidangan penutup pun juga tidak menggugah minatnya.

"Kenapa anak Papa hanya makan sedikit?" Ternyata Barman memperhatikan putrinya.

"Nggak enak," kata Denali asal.

Barman mengisi piringnya dengan iga bakar dan memberikannya pada Denali. "Makan ini! Nggak pakai nasi dan makanan kambing."

Denali tidak tersenyum. Bukan karena menu dia tidak mau makan, tetapi pikirannya memang sedang tidak karuan. Kenyataan tentang Elbrus terasa lebih menyakitkan daripada berpisah dengan Bastian. Beruntung dia tidak memberitahukan tentang Elbrus pada orang tuanya atau dia akan dapat marah dan omelan panjang lebar dari mamanya.

"Jadi, kapan hubungan Denali dan Bastian diresmikan?"

Pertanyaan Hesti membuat denting peralatan makan terhenti. Beberapa detik kemudian, Danti mengambil es lumut untuk Regan dan membiarkan bocah itu menyendok sendiri. Seperti dikomando, dia dan Mandala mendekatkan tempat duduk mereka mengapit putranya dan berusaha menyibukkan anak itu supaya fokus pada makanan saja.

"Kalau saya, sih, secepatnya saja. Enggak enak dilihat orang kalau anaknya sudah ke mana-mana berdua, tapi malah cuma tunangan." Winda menjawab mantap.

"Bagaimana kalau Februari saja? Anak-anak biasanya mengagungkan sekali momen valentine. Jadi pas, 'kan? Romantisnya dapat."

"Boleh." Winda mulai bersemangat lagi. "Ada beberapa WO yang menawarkan jasanya dengan harga miring. Lumayan kita bisa pilih-pilih nanti, Mbak."

"Denali nggak mau menikah," kata Denali tegas. "Mau pameran lukisan."

"Kita akan tetap menikah, Den, dan kamu tetap bisa pameran seperti biasa. Lagian, berapa lakunya lukisanmu? Biar aku beli nanti."

Kemarahan Denali tersulut oleh kalimat Bastian. "Beli? Dari mana uangnya?"

"Denali ... maafkan ucapan Bastian." Suara Hesti terdengar lembut meskipun beberapa detik yang lalu matanya sempat melotot pada putranya. Mungkin, di bawah meja tangannya mencubit sang putra karena Bastian sempat meringis. "Maklumi saja, laki-laki itu nggak mau ribet."

"Tenang saja, Denali juga pasti nggak serius marahnya."

Bagi Denali, apa yang dikatakan mamanya adalah basa-basi memuakkan. Dia memang tidak bisa membantah ucapan itu untuk menjaga nama baik keluarganya, tetapi dia harus bisa memperjuangkan nasib masa depannya sendiri. Mamanya, Bastian, atau siapa pun tak akan menghadang karir yang bagi orang-orang mungkin bukan apa-apa, tetapi baginya istimewa.

"Kata siapa nggak serius? Dengan ribuan alasan yang bisa diucapkan oleh siapa saja, aku tetap nggak mau menikah dengan Bastian."

"Enggak bisa gitu, dong, Den!" Winda mulai emosi. "Jangan bikin malu keluarga."

"Denali nggak akan mengorbankan diri seumur hidup dengan hidup yang setiap hari makan hati demi menjaga nama baik keluarga yang bahkan masih baik-baik saja hingga saat ini."

"Setuju," ucap Barman tiba-tiba. "Papa sepakat denganmu, Nak." Tangan besarnya mengusap kepala Denali hingga memiringkan topi di kepala sang putri.

"Papa-"

"Saya juga sependapat," ujar Ratno.

"Papa apa-apaan?" Bastian mulai panik. "Kenapa mendadak nggak setuju? Denali tetap gadis terbaik untuk menjadi seorang istri, Pa."

"Denali memang gadis terbaik untuk menjadi seorang istri, tapi bukan istrimu."

"Pa ini ...." Winda menghentikan ucapannya ketika dengan isyarat tangan, Barman memintanya diam.

"Tidak ada satu perempuan pun di dunia ini yang merelakan pasangannya menggandeng perempuan lain sepanjang acara, berjalan-jalan ke sana kemari seolah menunjukkan rasa saling memiliki. Kalaupun anakku cinta, tetap tak akan kuberikan restuku untuk keduanya."

"Sepakat." Ratno menegakkan duduk di kursinya. "Sebelum anak orang menangis siang dan malam karena ulah Bastian hanya karena menuruti ego orang tua yang mengatas namakan nama baik keluarga maka dengarkan ... lebih baik aku malu daripada Denali menderita jadi mantuku.

"Pah-"

"Ketika mamanya Denali percaya pada anakmu, kupikir anak kita layak, tapi ternyata tidak, kan?" Ratno menatap istrinya, lalu berpindah pada putranya. "Kau terlalu larut dalam pertemananmu sampai melupakan kewajiban dan tanggung jawabmu. Kau tidak menghargai calon istrimu dan tidak tahu prioritas."

"Sharlene hanya teman, Pa. Keluarganya menitipkan Sharlene pada keluarga kita."

"Menitipkan, tapi mestinya dia tahu diri. Tidak mengertikah dia kalau kamu sudah punya tunangan? Tidak mengertikah dia kalau kamu sudah mau menikah? Sebagai teman, mestinya dia bisa mendukungmu dan ikut bahagia, bukannya menjadi duri dalam daging untuk hubunganmu dengan Denali."

"Jadi, saya nggak perlu ngomong, 'kan, mengapa kalian tidak usah menikah?" Barman melipat kedua tangan di dada sebelum bersandar di kursinya.

"Jangan seenaknya memutus hubungan, dong, Pak Barman!" teriak Hesti. Sepertinya dia sudah kehilangan kesabaran.

"Iya. Sharlene dan Bastian itu, 'kan, hanya teman?" Winda turut berargumen.

"Teman kok minta restu ke aku buat deketin Bastian." Enggan menyembunyikan apa-apa, Denali membuka kejadian saat Sharlene menemuinya.

"Apa?" Hesti meradang. Tatapannya tajam tertuju pada Sharlene. "Dasar kau tidak tahu berterima kasih! Kupikir Denali terlalu posesif pada tunangannya, ternyata kau memang biang keladinya."

"Tante-"

"Nggak usah ngomong apa-apa. Kau ini pagar makan tanaman. Akibat ulahmu pernikahan Bastian jadi berantakan."

"Saya suka Bastian, Tante." Sharlene berbicara takut-takut. Dia menunduk, tidak berani menatap siapa pun yang ada di sana.

"Jadi ternyata kamu memang sengaja merusak hubunganku dengan Denali." Giliran Bastian mengamuk. "Aku baik padamu, tapi kenapa kamu tega begini?"

"Bas-"

"Sudah!" Barman melerai. "Silakan beristirahat atau kalau masih mau membahas masalah keluarga kalian, bahas saja di tempat yang sudah kami siapkan. Denali, ayo masuk!"

TAMAT

Untuk versi wp, tamat sampai di sini, ya. Yang udah ikutan PO ditunggu bukunya. Yang mau ebook dan karyakarsa ditunggu juga. Ada tambahan bab di sana yang pasti bikin baper akut.

Terima kasih sudah mengikuti perjalanan cinta Denali. Tunggu cerita baruku dan Cinta Lama Belum Kelar yang akan direvisi dan repost. See you.

Love Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top