🦋 4. Debat 🦋
Malam, temans. Mas Bas kesayangan pembaca hadir tepat waktu dong😁
Denali sedang asyik menggoreskan kuas di atas kanvas ketika suara ketukan di pintu apartemennya terdengar. Biarkan saja, dia merasa tidak sedang menunggu tamu atau membuat janji temu dengan siapa pun. Lagi pula, dirinya sedang dalam proses finishing sebelum lukisan dengan tema senja di Surabaya itu diambil pemiliknya.
Keseriusannya terganggu saat ketukan di pintu terdengar makin keras dan tanpa jeda. Siapa orang yang sedang berlaku tidak sopan di rumah orang lain itu? Seingatnya, dia tidak punya musuh atau hutang yang harus dibayar sehingga orang bisa berlaku seenaknya begini di rumah orang lain.
“Bertamu nggak ada sopan-sopannya. Berisik, tahu ....” Semburan kalimat Denali langsung tertahan melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Bastian dan orang tuanya serta orang tuanya sendiri yang menatap garang melihat penampilannya.
Denali menunduk, kaus yang dikenakannya tidak buruk. Mungkin memang sedikit pudar karena itu kaus olahraganya ketika masih duduk di sekolah menengah. Kemudian, celana pendek sedikit di atas lutut. Menurutnya itu juga sopan karena tidak ketat atau terlalu pendek.
“Pakaian apa yang kamu pakai itu, Den?” Mamanya sudah lebih dulu mengeluarkan pertanyaan. “Nggak sopan menemui tamu dengan penampilan seperti itu.
Denali mengangkat bahu acuh tak acuh. “Denali tidak sedang menunggu tamu atau punya janji dengan orang,” sahutnya santai sambil berbalik menjauhi pintu. “Lagian, ini di rumah. Masa iya harus memakai baju pesta?”
“Sudah, Jeng,” sahut Hesti, mama Bastian, sambil menutup pintu setelah semua masuk. “Tidak masalah Denali berpenampilan begitu. Dia sedang tidak ke mana-mana, atau bisa jadi malah sedang bekerja.”
“Nah, itu benar, Tante.”
“Denali!”
Denali berlalu ke dapur. Diambilnya minuman dingin dari kulkas dan dibawanya menuju ruang tamu. Hanya berupa minuman botol karena dia belum membeli apa-apa untuk membuat minuman hangat. Menurutnya tidak masalah karena tinggal sendirian dan semua disesuaikan dengan kebutuhannya.
“Jadi, apa yang membawa Papa dan Mama sekalian datang ke tempat tinggalku?” tanya Denali menolak basa-basi.
“Aku nggak setuju kamu membatalkan pernikahan secara sepihak.” Bastian, yang sedari tadi diam angkat bicara. “Kamu pikir hubungan kita ini main-main sampai kamu berbuat begitu. Den?”
“Memang main-main,” cetus Denali enteng. “Aku sudah tidak mau main-main lagi.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu nanya?” tanya Denali mengikuti gaya yang sedang viral. “Kamu bertanya-tanya?”
“Denali ...,” geram Winda.
"Wah, Om suka gayamu." Lain dengan Winda, Ratno, papa Bastian justru tertawa mendengar cara bicara Denali. "Mesti gaul menghadapi orang tua yang serius itu. Biar tidak ikutan darah tinggi, ya?"
“Sabar, Jeng!” Hesti mengusap tangan Winda dengan senyum menenangkan. “Anak muda biasa begitu. Biarkan saja. Saya paham yang begitu-begitu.”
“Tapi—”
Hesti menggeleng, lalu berpaling pada calon menantunya. “Kalau ada masalah itu bisa dibicarakan baik-baik. Nggak bagus sedikit-sedikit bilang nggak mau menikah. Kamu setuju dengan ucapan Tante, ‘kan, Den?”
Bukan tanggapan sehalus ini yang diharapkan Denali ketika berbicara dengan gaya yang pasti tidak disukai orang tua dengan kesopanan tanpa cela seperti mamanya Bastian itu. Semula, dia berpikir kalau beliau akan marah dan menceramahinya panjang lebar sehingga mereka semua bisa segera angkat kaki dari kediamannya.
“Apa yang mesti dibicarakan, Tante? Semuanya sudah jelas, ‘kan?”
“Tidak ada yang jelas bagi kita, Den,” sela Bastian. “Kamu selalu saja mempermasalahkan Sharlene padahal kamu tahu kalau dia temanku. Aku sudah bilang untuk tidak mencemburuinya, tapi justru kita selalu bertengkar karena masalah yang sama.”
Denali mengibaskan satu tangan di depan wajah. “Ya, kita memang sering bertengkar karena perempuan itu. Dia—”
“Namanya Sharlene, Den. Jangan sebut dia begitu!”
“Dia perempuan bukan?”
“Tentu saja. Makanya a—”
“Kalau dia perempuan, nggak masalah, dong, aku sebut dia begitu. Kenapa kamu marah?”
Bastian menjawab ucapan Denali dengan kalimat panjang tentang bagaimana menghargai pertemanan. Bahwa tidak baik menyebut orang dengan selain namanya. Bagaimanapun, Sharlene adalah teman mereka dan tidak sekali pun pernah berkata yang tidak baik tentang Denali.
Dari penjelasan itu saja, Denali semakin kuat dengan keputusannya. Mengakhiri hubungan dengan Bastian adalah langkah terbaik. Mustahil tidak ada perasaan apa-apa dalam persahabatan antara pria dan wanita ketika keduanya sudah saling mengganggu dan membela. Baginya mereka berdua adalah sama. Sama-sama tidak tahu diri.
“Cukup!” sela Hesti. “Kalau seperti ini masalahnya, kamu tentu harus mulai menjaga jarak dengan Sharlene, Bas. Kalau kamu memang cinta dengan Denali, tentunya kamu lebih mengutamakan kenyamanannya dan memprioritaskan kebutuhannya.”
“Aku sudah melakukan itu, Ma. Bagian mana yang aku ini nggak memprioritaskan Denali?”
Rasanya, Denali ingin memukul kepala Bastian setelah mendengar kalimatnya. Memangnya membatalkan liburan dan pergi dengan Sharlene itu bisa dikatakan prioritas untuknya? Luar biasa sekali cara pikirnya.
“Buktinya Denali memprotes sampai ingin membatalkan pernikahan. Kamu pikir keluarga kita nggak bakalan malu saat semua orang tahu kamu gagal menikah?”
“Tidak ada pembatalan. Aku dan Denali akan tetap menikah, Ma.”
“Tidak. Aku tidak mau menikah dan mengorbankan seumur hidupku dengan terus menelan kekecewaan. Aku tidak mau terus dituntut untuk selalu mengerti. Aku tidak mau memahami situasi di mana kamu menuntutku untuk terus mengertimu. Jadi ... daripada pernikahanku menjadi seperti di neraka, aku pilih untuk tidak menikah.”
“Tidak bisa begitu! Kecemburuanmu itu nggak masuk akal, Den.”
“Cukup!” seru Hesti. “Pusing kepala Mama mendengarkan debat kalian yang tidak sudah-sudah. Begini saja, kalian introspeksilah berdua. Masih butuh satu sama lain atau tidak!”
Butuh? Sudah pasti tidak. Memangnya siapa yang butuh lelaki plin-plan begitu? Sampai kapan pun juga tak akan kuubah keputusanku. Denali tersenyum sinis menyadari pikirannya. Tidak ada kesempatan bagi Bastian. Dia ingin hidup tenang, jauh dari hal-hal yang memancing emosi.
“Introspeksi untuk apa lagi, Tante? Denali sudah merasa cukup dengan semuanya.”
“Begini saja.” Barman yang sedari tadi hanya diam memperhatikan putrinya bicara dengan tegas tak bisa lagi berdiam diri. “Menikah itu, ‘kan, memang urusan dua hati. Tak hanya itu, masing-masing keluarga pun juga dilibatkan. Kalau memang hubungan ini tidak bisa diteruskan, selaku papa Denali saya—”
“Tidak bisa begitu, Mas.” Entah sudah berapa kali Hesti menyela pembicaraan. Seperti halnya Winda, dia adalah orang yang tidak bisa menerima ketika pernikahan putra-putri mereka dibatalkan. “Namanya anak-anak itu biasa kalau sedang bertengkar dan nggak enak hati ngomongnya yang tidak-tidak. Kita jadi orang tua mesti bijak menyikapi masalah yang seperti ini.”
Bodo amat dengan pembicaraan para orang tua. Denali menulikan telinga sambil menikmati sebotol minuman bersoda. Siapa yang peduli dengan norma-norma ketika kekecewaannya sudah naik sampai kepala. Kedua orang tua boleh saja sepakat bahwa hubungan mereka tidak berakhir dan pernikahan hanya ditunda saja. Namun, baginya tetap sama bahwa semuanya selesai.
Ponsel Bastian berbunyi ketika para orang tua sedang sibuk membicarakan hal serius. Pria itu menjawabnya tanpa sungkan. Bahkan ketika nama Sharlene disebut-sebut, mantan tunangannya itu mulai merapikan jaketnya.
“Aku jemput Sharlene dulu, dia kemalaman dan nggak ada yang nyangkut ketika pesan kendaraan online.”
Mata tajam Denali menatap Hesti, sementara senyum sinisnya tersungging. Dalam hati dia berkata bahwa semua ucapannya benar. Meski berkata ingin mengakhiri hubungan, tak dipungkiri bahwa jauh dalam hatinya dia berharap, sedikit saja, Bastian bisa mengesampingkan Sharlene. Apalagi saat hubungan mereka sedang berada di tepi kehancuran.
“Selangkah saja kamu keluar dari apartemen ini, kamu akan tahu akibatnya, Bas!” teriak Hesti.
Kira-kira, Mas Bas bakal diapain sama emaknya?🤐🤐
Hayuk komenin yang banyak, biar othor makin semangat ngetiknya. Sampai jumpa hari Sabtu.
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top