🦋 36. Rintangan 🦋
Malam, temans. Yang terbaper-baper sampe senyum-senyum sendiri dan was-was sama kelakuannya Captain El yang kelewat manis. Manisnya sudah, ya ... takut diabetes 😁
.
.
Pagi-pagi sekali, Elbrus mengajaknya untuk segera check out sambil menunggu penerbangan yang masih beberapa jam. Mereka melihat-lihat suasana bandara dan tempat-tempat menarik yang disuguhkan sebelum Elbrus menyiapkan penerbangan. Jangan melewatkan apa pun di bandara terbaik dunia ini hanya dengan datang dan pergi tanpa tahu ada apa di dalamnya, begitulah kalimat yang diucapkannya pada Denali.
Seperti biasa, Denali selalu membiarkan tangannya digenggam Elbrus. Mereka Berjalan di Shiseido Forest Valley, sebuah hutan buatan yang didesain bertingkat mengelilingi air terjun indoor setinggi 40 meter yang biasa disebut Rain Vortex. Hawanya segar sementara mata dimanjakan oleh keindahan yang ada. Betah dengan suasananya, dia berkata ingin menyusuri tempat itu sampai waktu penerbangan mereka.
"Masih sempat untuk mengunjungi beberapa tempat yang lain, Denali," ujar Elbrus. "Setidaknya kamu bisa membeli sesuatu."
"Mas El, jangan mulai merayu supaya aku mau belanja. Kemarin, 'kan, sudah belanja?"
"Cuma camilan dan satu topi."
"Itu cukup." Denali tidak tahu, mengapa Elbrus memintanya untuk belanja. Beli apa? Dia sedang tidak butuh apa-apa. Lagi pula, bukankah sudah ada satu topi yang dibeli dan satu kacamata untuk Elbrus? Camilan hampir memenuhi koper yang dibawa pulang sebagai oleh-oleh untuk papanya.
"Ya sudah. Terserah kamu saja." Denali senang Elbrus mengalah. Hanya diam sambil menatap air terjun saja sudah membuat hati Denali tenang. Ditambah udara yang bebas asap rokok, tempat ini benar-benar bersih.
Tiga jam menjelang penerbangan, Elbrus mengajak Denali untuk check in. Denali sempat menolak karena merasa bisa melakukan itu satu atau dua jam lagi. Namun, Elbrus memberikan pengertian dan alasan bahwa pria itu lebih tenang saat dirinya sudah berada di ruang tunggu dan bukannya berjalan-jalan.
"Saya pilotnya," kata Elbrus dengan senyum lebar. "Nggak bisa di sini lebih lama. Saat saya harus menyiapkan penerbangan, tolong mengertilah kekhawatiran saya."
Perkataan yang memancing kemunculan senyum Denali. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya dirinya yang diam-diam posesif kepada Elbrus. Secara tidak langsung, mereka sama-sama posesif dengan caranya masing-masing. Berdasarkan semua yang terjadi akhir-akhir ini, bisakah dikatakan kalau keduanya satu hati?
Saat suara Elbrus terdengar dalam announcement untuk penumpangnya, jantung Denali berdetak lebih cepat. Tak lama lagi, pesawat ini akan membawanya pulang, meninggalkan tempat-tempat yang sudah memberi banyak kenangan manis. Begitu manis sampai rasanya tak ingin pergi.
Ketika pesawat mulai bergerak, Denali melihat keluar jendela. Sebagian hatinya seperti tertinggal. Secara perlahan, pesawat mulai berlari di landasan pacu, lalu mengudara dan dia merasakan sedikit sesak di dada. Matanya sedikit basah oleh air mata yang tergenang.
Denali bertanya-tanya dalam hati, ini akan menjadi momen pertama dan terakhir atau akan ada penerbangan-penerbangan lain untuk mengukir banyak kesenangan dalam hidup serta diterbangkan oleh pilot yang sama? Rasanya berat membiarkan kenangan indah itu berlalu. Namun, dia bisa apa untuk menghentikan waktu?
Pria yang memberikan kesenangan pada Denali tidak tertinggal di Singapura. Justru pria itulah yang menerbangkannya untuk berkunjung ke tempat-tempat menarik dan menuruti setiap keinginan tanpa keberatan. Dengan perhatian dan waktu yang semua dipersembahkan untuknya, bagaimana mereka akan bersikap setelahnya?
Terlalu larut dalam lamunannya, Denali baru menyadari kalau pesawat hampir mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Lagi-lagi senyumnya mengembang dalam diam saat suara Elbrus terdengar. Denali merasa senang, hatinya berbunga-bunga, dan bisa dikatakan kalau suasana hatinya sangat baik. Lebih baik dari seluruh waktu yang pernah dilaluinya.
Setelah meninggalkan pesawat, lancar saja Denali keluar melewati bagian pemeriksaan. Bagaimanapun, prosedur di negara sendiri tentu sudah dihafalnya dengan baik. Sambil menunggu Elbrus, dia memperhatikan sekumpulan orang tak jauh di depannya. Beberapa pergi dengan mobil jemputan. Ada juga pilot yang dijemput pasangannya dan pikirannya pun otomatis mengembara. Seperti apa rasanya menjemput pilot dan bersama-sama pulang ke rumah?
Denali membayangkan, pasti bahagia ketika sepasang hati merasakan rindu yang sama. Dalam mobil berdua, mereka akan bertukar cerita. Satu bercerita tentang perjalanan dan tempat-tempat yang baru dikunjungi, sedangkan yang lainnya akan bercerita tentang kelucuan anak mereka.
"Apa yang membuat senyummu tak lekas hilang begitu?" Elbrus muncul di samping Denali. Seperti biasa, tangannya menarik koper.
"Lagi bayangin, gimana rasanya jemput pilot terus pulang ke rumah sama-sama."
"Gampang. Saya bisa mengabulkan keinginanmu."
"Serius?" Denali menghadap Elbrus dengan keraguan yang tak disembunyikan. "Gimana caranya?"
"Ya kamu jemput saya dong," jawab Elbrus gemas. "Masa iya saya biarkan kamu menjemput orang lain."
"Mau."
Denali merasa luar biasa santai. Setiap hal yang dilakukan Elbrus membuatnya senang. Kepekaan pria itu luar biasa. Hanya perlu melihat sesuatu dan apa yang berlarian dalam pikirannya segera menjadi kenyataan.
"Jadi, mau langsung pulang atau makan dulu?" Elbrus selalu memperhatikan Denali dalam setiap situasi.
"Bagaimana kalau ngopi saja?" Denali tidak bisa memikirkan hal menarik lainnya selain ngopi. Baginya, itu adalah kegiatan menyenangkan. Suasana hati yang tidak bagus pun bisa membaik dengan segelas kopi.
Denali merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Perasaannya gelisah, tetapi tidak tahu alasan pastinya. Langkahnya sempat terhenti, tangannya yang terus bertautan dengan Elbrus, membuat pria itu menoleh dan menghentikan langkah.
"Kenapa? Apa kamu lelah atau berubah pikiran? Mau saya buatkan kopi di apartemen saja?"
"Enggak." Denali menggeleng. Tiba-tiba dia ingin menangis saat mengetahui betapa pekanya Elbrus. "Jalan lagi, Mas El!"
Memasuki kedai kopi ternama, Denali sempat heran. Tempat itu tidak terlalu ramai. Selain dirinya dan Elbrus, hanya ada dua meja berisi sepasang muda mudi. Selanjutnya, Denali memilih satu meja di sebelah kanan pintu masuk.
"Kenapa Mas El suka banget sama espresso?" Denali melayangkan tatapannya pada Elbrus setelah menyeruput piccolo late-nya.
"Karena kamu cantik," jawab Elbrus dengan senyum lebar.
"Mas El, stok gulamu banyak rupanya." Denali merasa wajahnya memanas, entah sampai kapan suasana hati Elbrus yang suka mengganggu berakhir.
"Cukup kalau hanya untuk menggulaimu." Elbrus menahan senyum, lalu kembali menyeruput espressonya.
Menghabiskan waktu dengan menikmati secangkir kopi itu menyenangkan. Tak harus ada obrolan, diam pun juga tidak masalah. Denali meraba sling bag-nya, saat menyadari ponselnya bergetar.
"Halo, Papa." Denali menyapa papanya dengan senyum bahagia. Matanya menatap Elbrus yang tatapannya juga sedang tertuju padanya.
"Aku baik-baik saja, Papa. Uhm ... tapi sempat nggak enak, sih. Papa baik-baik saja, 'kan?"
Denali lega. Papanya mengatakan kalau kondisinya baik, begitu pula mamanya. Lelaki bijak itu justru berpesan supaya Denali menjaga dirinya. Berpikir sebelum bertindak serta jangan terbawa emosi.
Panggilan diakhiri setelah rentetan pesan bijak lain yang Denali hafal di luar kepala. Seperti jangan terlambat makan, jangan tidur terlalu malam, dan jangan begadang untuk melukis. Pesan khas orang tua untuk anak gadis yang tinggal berjauhan.
"Papamu sepertinya bijak."
"Memang bijak. Papa nggak pernah memaksa anak-anaknya harus seperti apa. Yang penting bertanggung jawab, begitu yang selalu beliau katakan. Pokoknya, Papa itu terbaik." Denali mengatakan setiap kalimat dengan rasa bahagia yang tak ditutupi. Dia bahkan bersandar di bahu Elbrus.
"Jadi, seperti ini kelakuanmu di belakangku, Den." Bastian tiba-tiba muncul dan duduk di hadapan Denali dan Elbrus. Tak lama, Sharlene datang, menyusul duduk di samping Bastian. "Pantas kamu bersikeras tak mau menikah, rupanya karena pria ini."
Denali memang terkejut dengan kehadiran Bastian, tetapi bisa menyembunyikan rasa itu dengan sempurna. Bastian tampil rapi seperti biasanya, sudah pasti akan pergi dinas entah ke mana. Bukannya ingin tahu, dia hanya hafal kebiasaan itu.
"Kelakuanmu sendiri seperti apa, Bas?" Tak gentar Denali menatap tajam Bastian. Dia menegakkan duduk, tanpa melepaskan tangannya dari genggaman Elbrus.
"Aku akan pergi dinas selama dua hari. Nggak ada yang salah denganku, tapi kamu?" Bastian meremehkan Denali dengan mata menyipit. "Bermanja dengan pria seolah kalian sepasang kekasih."
"Siapa yang paling sering berteriak, dialah yang sedang mencari pembenaran," cetus Denali. Hatinya dikuasai amarah. Ucapan Bastian seolah menunjukkan bahwa dirinyalah yang tidak ada itikad baik. Namun, ucapan sang papa untuk berpikir dengan kepala dingin masih diingatnya.
"Denali, seharusnya kamu nggak seperti ini di belakang Bastian. Bagaimanapun, kalian akan menikah." Suara Sharlene selalu terdengar lembut mendayu, memberikan nasihat seolah tindakannya sudah paling benar. "Bagaimana kalau aku dan Mas temanmu itu menjauh? Biar kamu bisa berbicara dengan Bastian?"
"Nggak perlu," tukas Denali. "Nggak ada yang perlu dibicarakan."
"Mengapa tak kamu biarkan Mas itu yang menjawab?"
"Saya tahu posisi dan batas di mana saya harus diam. Saya dan Anda sama-sama orang luar yang seharusnya tidak perlu berpendapat." Suara Elbrus memang pelan, tetapi maksud kalimatnya mengandung ketegasan tak terbantahkan. Denali yang sempat menoleh pun baru kali ini melihat ekspresi Elbrus yang mendadak datar disertai tatapan tajam mengintimidasi.
"Justru karena sama-sama orang luar, maka lebih baik kalau kita menjauh, bukan?"
"Jangan memaksakan dirimu!" Elbrus menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. "Kita? Tidakkah kata itu terlalu berlebihan padahal tidak pernah saling kenal sebelumnya?"
"Tetap saja, mestinya Mas mengerti kalau Denali itu bukan wanita single yang ... yang ...."
"Tidak perlu sok bijak dalam suasana seperti ini, bukan?" Elbrus melayangkan tatapannya pada Denali. "Masih mau di sini atau pulang sekarang, Den?"
"Pulang," jawab Denali mantap.
"Jangan terlalu bahagia dengan pencapaianmu!" tutur Bastian dengan suara rendah. "Pria dengan kemapanan seperti itu tak mungkin masih lajang. Saat kamu menemukan kenyataannya, kuharap masih belum terlambat. Kembali padaku dan aku akan mempertimbangkanmu."
"Tak ada kata kembali meski dirimu adalah pria terakhir di dunia."
Aku diem aja.🤐🤐
Truuusss, yang terlalu baper dan suka mesem sendiri, boleh meminang bukunya, kok. Nomor tertera di banner yakk
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top