🦋 3. Keputusan 🦋
Malam, temans🥰❤
Aiihh, yang nungguin Denali pasti udah mojok sambil ngupasin kuaci. Bagi dong🤣🤣
.
Dah lah, hyuk mbaca!
.
"Kamu pikir gagalin pernikahan itu seperti pacaran putus? Bastian itu pilihanmu sendiri, loh, Den."
Winda, mamanya Denali, bereaksi keras setelah mendengar ucapan putrinya beberapa saat lalu. Perempuan paruh baya itu adalah orang pertama yang mendukung hubungan putrinya dengan Bastian. Beliau juga yang mempersiapkan segala sesuatunya tanpa mempertanyakan sang anak suka atau tidak.
"Jangan terlalu keras begitu sama anak, Ma." Barman, papa Denali, menengahi dengan suara pelan. "Dengar dulu apa alasan Denali! Sebagai orang tua, kita mesti bijak menghadapi setiap masalah."
"Belain saja terus anak ini! Enggak papa, enggak anak, sama saja. Dua-duanya suka semaunya."
Satu hal yang dihindari Denali dari mamanya adalah konfrontasi. Mau tepat atau tidak, setiap alasan akan tetap salah di mata perempuan yang melahirkannya itu. Mamanya bukan tipe orang yang bisa dibantah dengan kesabaran setipis kulit ari dan sebisa mungkin harus dituruti.
"Kita bisa mendengar alasannya dulu, 'kan?" tanya Barman sabar. "Setelah itu, baru memberikan penilaian."
"Katakan!" Winda duduk di sisi Barman. Matanya menatap tajam pada Denali. Seandainya mata bisa berbicara, pasti banyak tuduhan yang terlontar dari sana.
"Malah rapat mulutnya." Seperti biasa, Winda tak pernah bisa sabar. "Jangan bikin Mama hilang kesabaran, Den!"
Barman meletakkan satu tangan di pangkuan Winda. Pria itu menegakkan duduknya seraya meremas lembut tangan sang istri. Setelahnya, tatapannya memaku Denali.
"Kenapa minta batal menikah? Bukankah kalian baru saja liburan berdua ke Lombok?"
Berbeda dengan sang mama, papanya justru bersuara pelan. Denali juga merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan beliau. Terlepas dari dirinya salah atau tidak, beliau selalu mendengar lebih dulu.
"Denali pergi sendirian, Pa. Bastian membatalkan saat sudah jalan ke bandara."
"Dan kamu marah? Calonmu ada kerjaan mendadak yang tidak kamu mengerti?"
Denali meraih bantal sofa di sampingnya. Setelahnya, dia bersandar dan menutupkan benda itu ke wajah. Bagaimana harus mengatakan semua pada orang tuanya?
Papanya mungkin mengerti dengan keadaan hatinya. Namun, bagaimana dengan mamanya? Beliau pasti akan memberondongnya dengan berbagai macam pertanyaan sebagai ungkapan rasa tidak terima.
"Denali!" Suara Winda mulai meninggi. "Mama enggak sabar menghadapi kamu ini lama-lama. Lelet sekali."
Denali menyingkirkan bantal sofa dari wajahnya. Dia menegakkan duduk, lalu duduk bersila. Wajah mamanya sudah terlihat memerah, sedangkan sang papa masih duduk santai.
"Nggak mau menikah itu ya nggak mau menikah, Mama."
"Tapi, 'kan, ada alasannya?"
"Nggak cocok, Ma. Makan hati."
"Makan hati?" Denali bisa mendengar nada tak percaya dari suara mamanya. Bahkan ketika perempuan yang melahirkannya itu pindah duduk di sampingnya, Denali sedikit menjauh.
"Bastian itu pilihanmu, loh, Den." Seolah menegaskan pendapatnya, mamanya kembali mengungkit pilihan Denali. "Anak keluarga baik-baik. Menikah sama dia itu bisa menjamin hidupmu."
Menjamin sakit hati? Denali memutar bola matanya malas. Siapa yang peduli tentang latar belakang keluarga Bastian kalau sudah seperti dirinya? Memangnya terpandang mampu melindunginya dari rasa kecewa dan terabaikan?
"Memang pilihan Denali, tapi bukan berarti harus menikah kalau hati merasa nggak nyaman, 'kan, Ma?"
"Apanya yang tidak nyaman? Pernikahan kalian itu bulan depan. Ini malah aneh-aneh. Pusing aku, Pa, ngadepin anakmu ini."
"Anak kita," ralat Barman kalem. "Sebenarnya, ada apa sampai pernikahan harus dibatalkan?" Mengabaikan istrinya, Barman berpaling pada putrinya.
"Denali nggak nyaman dengan hubungan yang terus dibayangi orang ketiga. Denali—"
"Orang ketiga?" sela Winda. Kedua tangannya memegang pipi Denali, menghadapkan wajah cantik sang putri supaya fokus ke arahnya. "Apa ini soal Sharlene?"
"Mama, apa, sih?" Denali mendorong tangan mamanya seraya menjauhkan wajahnya dari jangkauan.
Rasanya ingin menutup telinga ketika mamanya berbicara panjang lebar tentang pertemanan Bastian dan Sharlene. Beliau juga menekankan supaya Denali lebih sabar dan mengerti keadaan. Mungkin keadaan Sharlene memang butuh teman dan bantuan serta tidak punya siapa-siapa yang bisa dimintai tolong.
"Tidak punya siapa-siapa?" Suara Denali sedikit meninggi. "Memangnya kalau teman kecil Papa memonopoli waktunya Papa, Mama nggak akan marah? Kalau dia selalu datang padahal Mama sama Papa lagi nge-date, Mama akan diam saja? Nggak sekali dua kali, tapi hampir setiap kali?"
"Masa Bastian begitu, Den?" Suara Barman terdengar tak percaya.
"Halah, kamu saja yang terlalu baper. Enggak usah diambil hatilah yang begitu itu!" tegas Winda.
Nggak usah diambil hati? Denali berpikir bagaimana seorang ibu bisa enteng sekali mengatakan kalimat semacam itu? Demi apa? Kenyamanan hidup di masa depan seperti ucapan beliau? Di mana nyamannya hidup kalau hampir setiap hari makan hati? Bertengkar tiada henti. Terus berprasangka dan selalu penuh tuduhan supaya suaminya menjaga jarak dari perempuan lain.
Malas sekali. Bukan hidup penuh konfrontasi yang Denali inginkan. Bukan pula kebohongan demi menutupi kebohongan yang lain. Baginya, sekali berbohong pasti akan membuat kebohongan yang lain dan berakhir menjadi kebiasaan.
"Nggak bisa dipikirkan lagi keinginanmu itu, Denali?"
Seperti biasa, suara lembut papanya membuat Denali berpikir bahwa di situlah keputusan finalnya dipertanyakan. Satu kali sang papa menyetujui keinginannya maka tidak ada jalan kembali seandainya dia menyesal.
"Kamu akan menyesal, Den!" Mamanya masih mencoba meruntuhkan niat Denali.
"Denali?" Tanpa menghiraukan ucapan Winda, Barman menatap lurus pada putrinya.
"Nggak, Pa. Denali tetap mau pernikahan dibatalkan."
"Jangan bikin malu, Denali!" Suara Winda kembali meninggi.
"Lebih baik malu sekarang daripada Mama dan Papa malu di kemudian hari karena perceraian Denali."
"Bercerai katamu?"
"Apa yang bisa diharapkan dari berumah tangga dengan pria pembohong, Mama? Belum menikahiku saja sudah banyak menipuku, bagaimana nanti?"
"Hal seperti itu bisa dibicarakan, Den. Memangnya gampang cari suami yang sudah mapan seperti Bastian begitu."
Apa gunanya mapan kalau selalu dibodohi? Perempuan mana pun tidak akan suka ketika suaminya lebih memperhatikan perempuan lain. Apalagi sampai berbohong demi membahagiakan orang lain.
Siapa pun boleh menganggap ringan masalah yang sedang dihadapi Denali, tetapi kebohongan tetap tidak bisa dibenarkan dalam masalahnya. Bukan tidak mungkin kejadian yang sama akan berulang di masa depan. Jadi, sebelum mengikat janji dalam pernikahan, lebih baik kalau semuanya diselesaikan saja.
"Jodoh ada yang mengatur, Ma. Lagipula, Denali bukan perempuan jelek yang harus menyambar kesempatan untuk menikah, lalu pura-pura bahagia demi menutupi malu."
"Kalau maumu begitu—"
"Papa jangan lemah sama anak. Denali ini jangan dikasih hati. Bisa ngelunjak lama-lama."
Kalau mamanya sudah terus memotong ucapan papanya, Denali tahu kalau beliau sudah sangat marah. Namun, dia bisa apa? Hidup dengan Bastian tidak lagi memberi gambaran indah. Apalagi dengan pikiran bahwa Sharlene akan terus membayangi hari-harinya.
"Denali yang akan menjalani pernikahan itu, Ma," tukas Barman. "Biarkan dia berpikir dan menentukan sendiri masa depannya."
"Papa ini terlalu lemah sama anak. Denali ini perempuan, kalau nggak kita arahkan hidupnya, bakal jadi apa dia?"
"Sudahlah, Ma. Anakmu itu sudah dewasa."
"Kalau kamu nggak nurut ucapan Mama, pergi saja kamu dari rumah, Den!"
Saia paham sih, orang tua itu selalu pengin yang terbaik buat anaknya. Tapi, kalau kausnya kek Denali dan emaknya ini ... pelik, ya kaan. Sampai jumpa hari Rabu.
Love, Rain ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top