🦋 2. Lara Sendiri 🦋

Malam, temans🥰👌
Amu datang nganterin Mas Bas ney🤭
.
.
Pesawat yang ditumpangi Denali mendarat sempurna di Lombok setelah penerbangan selama satu jam lebih lima menit. Tanpa tergesa-gesa, gadis itu keluar dari pesawat dan menunggu kopernya. Dia tidak tergesa-gesa. Dengan celana panjang warna krem yang digulung sampai atas mata kaki dan jaket pas badan, Denali terlihat santai meski perasaannya tidak sesantai penampilannya.

Suasana sangat ramai di area penjemputan. Banyak orang-orang mencari penjemputnya, termasuk Denali. Dengan sabar, matanya berputar dan sebentar saja, dia menemukan jemputannya. Dalam mobil, dimintanya supir supaya AC dimatikan dan membuka jendela saja. Bersyukur sopirnya tidak banyak bertanya sehingga dia bisa menatap pemandangan di luar jendela. Tidak pasti apa yang dilihatnya karena pikirannya masih tertuju pada kejadian sebelum penerbangan di Bandara Juanda.

Sambil melirik jam di pergelangan tangannya, Denali mulai menghitung. Masih ada penerbangan lain seandainya Bastian mau menyusul. Tiga jam dari sekarang, setidaknya ada tiga penerbangan lagi yang bisa dipilih. Tergantung pada pilihan Bastian mau menggunakan penerbangan pukul berapa.

Memasuki kamar hotelnya, Denali disambut aroma lavender yang menyapa indra penciumannya. Di atas tempat tidur, sepasang handuk ditata menyerupai angsa. Apa gunanya? Begitu pikir Denali. Namun, dia merasa puas dengan kamar itu. Semuanya terlihat nyaman dan sepertinya bisa membuat tidurnya nyenyak.

Denali meletakkan koper begitu saja di dekat pintu. Dia tertarik untuk melihat keluar jendela. Pemandangan Pantai Senggigi yang membiru di kejauhan dipadu dengan cuaca cerah membuat semua tampak indah. Pepohonan bergoyang lembut dan Denali bisa membayangkan semilir angin yang meniupnya. Hotel di Pantai Senggigi masih seindah yang ada dalam ingatannya. Dengan kursi-kursi yang ditata di depan hotel atau langsung di pasir putih untuk melihat pemandangan pantai lebih dekat.

Denali mengambil ponsel ketika benda itu berbunyi setelah diabaikan berkali-kali. Mamanya, tetapi panggilan terputus sebelum dijawab. Berikutnya masuk pesan dari Bastian yang hanya dibaca melalui notification drawer tanpa membuka aplikasi perpesanan yang biasa dipakainya.

“Den, kamu sudah sampai di Lombok, ‘kan? Sudah sampai di hotel? Perjalananmu lancar? Demi Tuhan, jawab aku, Den!”

Basa-basi. Denali merasa tidak perlu membalas pesan itu dan justru meletakkan kembali ponselnya. Apa gunanya menanyakan perjalananku? Urus saja dirimu sendiri! Hatinya memang mengatakan itu, tetapi tidak bisa memungkiri bahwa sebenarnya dia masih berharap untuk bisa menghabiskan liburan berdua.

Jengkel dan amarah memang sedang menguasai hati Denali. Namun, otaknya berpikir untuk kembali bisa mengerti, lalu memaklumi. Bukankah tidak sekali atau dua kali hal yang sama terjadi? Bukankah ini selalu terjadi hampir di setiap waktu ketika dirinya berdua dengan Bastian?

Kadang-kadang Denali berpikir bahwa dirinya bukanlah tunangan Bastian. Dia merasa seperti orang ketiga yang masuk dalam hubungan orang lain. Sebagai orang yang dikatakan teman kecil, Sharlene terlalu sering hadir di antara waktu-waktunya dengan Bastian.

Denali merasa tidak nyaman dengan kehadiran Sharlene, lain halnya dengan Bastian. Pria itu merasa biasa-biasa saja dan cenderung mendahulukan kepentingan si teman masa kecil. Tak jarang kehadiran perempuan itu menjadi pemicu pertengkaran mereka.

Denali pernah pergi nonton dengan Bastian setelah perencanaan panjang disertai segala macam peringatan supaya mereka pergi berdua saja. Keadaan menjadi tidak enak saat tiba di pusat perbelanjaan Sharlene menyambut dengan dua kantong berisi makanan ringan untuk dimakan selama film berlangsung. Dengan enteng, tunangannya mengatakan kalau dirinya membiarkan teman mereka ikut. Kasihan tidak ada teman di hari libur.

Mau marah, itu tempat umum. Tidak marah, itu sudah keterlaluan. Berlalu dan pergi juga tidak mungkin Denali lakukan karena mustahil membiarkan Bastian berdua temannya menikmati film yang sudah dia incar dari jauh hari. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menerima. Pura-pura menikmati suasana sepanjang waktu bersama hingga jam pulang tiba.

Apakah masalah selesai ketika waktunya pulang? Tentu tidak. Dengan dalih kediaman Sharlene lebih dekat dengan Bastian, usulan mengantar Denali dulu terdengar masuk akal. Rencana itu diungkapkan sendiri oleh teman kecil tunangannya dan disambut baik seolah itu adalah ide paling cerdas yang pernah ada.

Denali marah kepada Bastian selama berhari-hari setelah kejadian itu. Selama keterdiamannya, tunangan bahkan tidak mau repot menghubunginya. Dalam keadaan apa pun, selalu Denali yang harus mengalah dengan mencari jalan damai. Entahlah, mungkin akan jadi sesuatu yang hina jika Bastian mengirim pesan lebih dulu.

"Kamu nggak merasa kangen gitu, Bas, padahal nggak ngomong sama aku sudah berhari-hari?"

Sungguh, Denali pernah mengirimkan pesan itu kepada Bastian dan mendapat jawaban yang tidak mengenakkan. Rasanya menyesal sekali sudah berniat baik untuk menetralkan hubungan mereka. Yang ada, Bastian justru mengomelinya seolah tidak ada kebaikan yang pernah dilakukannya.

"Kenapa kangen? Kamu sendiri yang terus picik. Pikiranmu itu nggak pernah bersih dan terus menuduh Sharlene yang tidak-tidak."

Jika tidak ingat kalau ponselnya mahal, Denali pasti akan melemparkan benda itu ke dinding. Tak hanya kesal, dia marah karena harus kembali menerima kenyataan bahwa dirinya tidak penting. Apa yang ada dalam hati Bastian adalah cara menenangkan dan menyenangkan Sharlene.

Merasa Bastian bersalah, Denali mendiamkan pria itu. Dia berharap Bastian akan menghubunginya untuk meminta maaf. Namun, sekalinya menghubungi, tunangannya justru mengabarkan bahwa dirinya sedang sakit. 

Surabaya adalah kota besar, sementara keluarga pria itu ada di Jakarta. Dengan semua kecemasan yang dimilikinya, Denali pergi ke rumah Bastian. Namun, lagi-lagi dia kecewa. 

Bastian begitu berat mengirim pesan pada Denali, tetapi Sharlene justru ada di sana. Perempuan itu tidur sambil menggenggam sebelah tangan tunangannya yang lelap dengan kompres di dahi. Dari asisten rumah tangga yang membukakan pintu, dia tahu kalau kondisi itu sudah berlangsung selama empat hari.

Tanpa peduli omelan Sharlene yang ingin menahan Bastian supaya dirawat di rumah, Denali memesan kendaraan online yang akan membawa mereka ke rumah sakit. Siapa yang peduli pada protes soal belum mandi dan bau badan, dia hanya berpikir supaya sang tunangan segera mendapatkan perawatan.

Saat dokter mengatakan Bastian harus dirawat inap, Denali tak segan menunggui. Sampai kedua orang tuanya datang keesokan harinya, dia tidak beranjak dari sana. Begitu juga Sharlene yang langsung bercakap, menunjukkan keakrabannya di keluarga itu.

Memperhatikan keterdiaman Denali, orang tua Bastian mengatakan supaya bersabar. Sudah pasti itu hanya demi kesopanan. Siapa bisa sabar menghadapi lelaki dan perempuan yang saling lengket dengan dalih teman masa kecil?

Denali mengusap pipinya yang basah mengingat hari-hari bersama Bastian. Bahkan, setelah bertunangan pun, perhatian prianya pada Sharlene tidak pernah berkurang. Yang terjadi justru semakin menjadi.

Menolak untuk terus bersedih, Denali segera mengganti pakaiannya. Menikmati pemandangan luar merupakan ide terbaik daripada terus melamun dan meratapi hubungan cintanya yang tidak indah. Sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskannya untuk terus menyesali keadaan.

Sesampainya di luar, Denali terkejut karena hari telah sore. Rupanya dia benar-benar menghabiskan banyak waktu untuk melamun. Berjalan menyusuri pantai masihlah kegiatan yang disukainya. Apalagi ketika ombak datang dan menjilat kakinya.

Kekecewaan memang tidak bisa dilupakan, tetapi bisa ditepiskan. Denali menatap hamparan pasir putih, lalu melanjutkan langkah. Abaikan saja pasangan-pasangan yang saling unjuk kemesraan dan berlomba memamerkan kebahagiaan. 

Setelah berjalan sampai lelah, Denali duduk dengan posisi terbalik. Dia memeluk sandaran kursi dan meletakkan dagu di atasnya. Matanya masih terus berkeliaran menatap keramaian. Beberapa orang keluar masuk hotel sambil bergandengan tangan.

Menyebalkan! Denali kembali mengumpat dalam hati. Bisa tidak si rubah betina itu … sebentar saja menjauh dari hidupnya? Sebentar saja, dia ingin menikmati waktu dengan Bastian tanpa diganggu siapa pun.

Tiba-tiba senyum Denali mengembang waktu melihat pria keluar dari hotel menuju pantai. Bergegas, dihampirinya pria itu. Langkah cepat Denali membawanya sampai di belakang orang yang dimaksud.

"Aku di sini, Bas. Aku tahu kamu pasti …."

Pria itu menoleh. Denali mundur beberapa langkah menyadari dirinya telah salah lihat. Orang yang dilihatnya bukan Bastian.

"Maaf saya salah orang," ujar Denali yang dijawab dengan anggukan dan tatapan bingung oleh pria itu.

Pria itu pun berbalik dan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Seharusnya Denali sadar bahwa mustahil bagi Bastian untuk datang ketika Sharlene ada di sisinya. Namun, demi cinta dan hubungan mereka yang sudah dekat, dirinya tetap memupuk harap meski hasil akhirnya selalu sama.

Matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Rona jingga keemasan sudah tertoreh di langit, mengiringi gelap yang mulai menyapa. Air mata Denali kembali luruh. Dalam bayang kabur, dia menghapus air matanya. Dengan suasana hati yang tak menentu, menikmati matahari tenggelam bukanlah pilihan buruk. Hal terburuk baginya adalah ketika menyadari bahwa orang yang dicintainya justru berpotensi menyakiti hatinya terlalu dalam. 

Kadang, cinta emang bisa bikin halu. Jadi hati-hatilah🤭
Sampai jumpa hari Sabtu.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top