Warisan Bobrok

Sungguh tingkah Rangga si Mr.Perfect tadi membuat anak-anak yang dari awal emang ngga suka sama dia menjadi makin merasa kesal. Rangga yang terkenal ambis, merasa dirinya paling top, sok tau merasa paling yes dengan beraninya melawan Kak Ikhsan yang notabenenya adalah kakak dia sendiri, gila kan?

Tapi di satu sisi juga masih ada yang memberi respect atas keberanian Rangga, dia berani berusaha  menghentikan semua kegilaan para senior daripada hanya dongkol dalam hati atau yang cuma berani nyerocos di belakang  tapi tidak berani ambil tindakan.

“Yang di sudut jangan cuma berani bisik-bisik maju sini biar semua tau apa yang kalian omongin.”

Udahlah males banget kalo semuanya keluar tanduk, makin sengsara. Berharap nanti pas pulang jiwa raga komplit ngga cuma nama doang.

Semua tertunduk tidak ada yang berani menyahut ketika semua Pradana Putra dan Putri berdiri dihadapan mereka.  Benar-benar setelah lelah mendapat hukuman push-up 10 seri yang artinya 100 hitungan harus naik turun sambil mendengar bacotan mereka dan  sekarang masih harus melihat tampang menyebalkan  mereka semua.

Terlihat Pak Wawan guru matematika selaku Kakak Pembina keluar dari tenda tempat Rangga masuk setelah adu jotos dengan Kak Ikhsan. Jika dilihat memang Kak Ikhsan ini paling galak, paling semena-mena. Mereka semua malas jika sudah berurusan dengan Kak Ikhsan.

“Selamat pagi!”  

“Pagi.”

“Jujur Bapak sangat kecewa dengan kejadian yang baru saja terjadi.”

Kecewa? Kecewa karna berbagi kumannya ngga bisa berlanjut?

“Seharusnya hal ini bisa dirembukkan secara tenang, kekeluargaan sebagai masyarakat SmaNTi.”

“Maaf Pak,”

Semua menengok  ke arah suara yang menyela ucapan Pak Wawan. Terlihat Ikmal mengangkat tangannya.

“Bagaimana bisa dirembuk secara kekeluargaan jika mereka semua selalu bertindak semena-mena dan itu selalu terjadi jika organisasi ini sedang berjalan. Bukankah mereka hanya berani di atas nama organisasi.  Dan lagi, kami pernah menyampaikan keluh kesah kami perihal hukuman estafet makan, minum, menjilat permen kepada salah satu guru dikelas kami yang kebetulan beliau juga pembina ekstra ini. Tapi nyatanya hal ini masih terus berlanjut.”

Dan guru itu adalah Pak Wawan sendiri.

Mereka semua ingat ketika salah satu kelas dari angkatan mereka menyampaikan keluh kesah perkara estafet menjilat permen lolipop satu kelas lalu hal itu sampai ke telinga senior, di pertemuan berikutnya mereka semua terkena imbas ketidaktegasan pihak sekolah dalam menangani keluhan kasus ini.

Mungkin sudah turun temurun, maka mereka menganggap hal itu tidaklah penting dan dianggapnya sudah biasa.
Tapi ini keselamatan, kesehatan orang banyak.

Anres melirik sahabatnya yang kali ini ikut menyuarakan ketidaksukaanya.

“Lambenya si Ikmal makin bikin keruh aja.” Gumam Jaka tidak begitu jelas.
Dirinya pasrah jika setelah ini sangganya akan menjadi bulan-bulanan senior mereka. Dari sang ketua yang berani main tangan, sekarang anak buahnya ikut bersuara.

Pak Wawan menatap Ikmal tapi tidak lama dia membuang pandang karna ada sepasang mata yang menatapnya begitu tajam.

“Ekhem, sebenarnya hal ini sudah didiskusikan  hanya saja mungkin kakak-kakak kalian ini ingin mengajarkan pada kalian bagaimana indahnya berbagi, ikut merasakan makanan yang dibuat oleh satu sama lain.”

“Bapak memberi pengertian atau bapak membela diri atau melemparkan hal ini kesalahan senior?”

“Diem bego.” Jaka mencengkram tangan Ikmal agar anak itu diam. Namun hanya mendapat tepisan keras dan tatapan tajam dari Ikmal.

_“Ini bocah kesambet setan mbah buyut hutan disini apa gimana sih, argghh”_ runtuk Jaka dalam hati.  

Jika Pak Wawan lupa dengan status dirinya sebagai guru, mungkin sudah bisa dipastikan beliau akan membanting Ikmal karna berani mencela dirinya di depan murid-murid lain.

“Sudah, saya rasa cukup untuk pagi ini. Kembali ke tenda masing-masing untuk persiapan kegiatan selanjutnya.”

Bu Dani menghentikan segala hawa tinggi yang mulai menyulut emosi dari sisi murid dan juga rekan kerjanya. Tidak baik jika diteruskan.

“Jangan merasa hebat hanya karna kamu bisa men-skak seorang guru.” Bisik  Pradana yang berdiri tepat di depan tendanya.  

“Jangan merasa hebat  hanya karna bisa jadi pengurus ekskul ini dan sekarang bisa melampiaskan hal semacam ini  pada kami. Dasar korban warisan berbagi kuman. Canda kuman.” Bukan hanya berbisik Ikmal malah berbicara dengan lantang  di depan  wajah Kak Bondan selaku wakil Pradana putra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top