7. Pertemuan tak sengaja

Edo membaringkan tubuhnya di atas ranjang miliknya. Ia tak mendengar suara apapun selain detakan jarum jam yang ada di kamarnya. Ia memutuskan tinggal sendirian di apartemen miliknya semenjak ia mulai bekerja di perusahaan papanya. Tiba-tiba telpon genggamnya berbunyi memecah kesunyian.

"Iya, Mah," sapa Edo saat ia sudah mengangkat telponnya.

'Tadi mama ke apartemen, kamu ke mana sih?' tanya Sonia-mama Edo.

"Tadi aku nongkrong sama Roy dan Joe. Mama ngapain ke apartemen segala?" tanya Edo.

"Ya.. mama kangen sama anak mama dong. Kamu sekarang udah jarang pulang ya, heran mama sama kamu. Padahal kita masih ada dalam satu kota lho,' ucap Sonia.

"Ya udah, Mah. Aku mau tidur dulu," sahut Edo lalu mematikan sambungan telponnya.

Edo langsung memejamkan matanya untuk menuju alam mimpi tanpa mengganti bajunya terlebih dulu.

***

Pagi harinya saat terbangun Edo langsung keluar dari kamarnya menuju ke arah dapur untuk mencari air minum. Ia melihat lemari pendinginnya yang sudah penuh terisi buah, sayur dan juga ikan. Di rak pintu lemari pendingin juga penuh dengan susu dan minuman.

"Mama belanja banyak sekali, kulkas sampai tak muat begini." Gumam Edo sambil mengambil susu kotak berukuran besar dan menuangkannya ke dalam gelas.

"Hooaamm ...." Edo menguap tanpa ia tutupi mulutnya karena ia merasa tak ada orang lain di sekitarnya. Ia langsung meminum segelas susu dingin yang ada di tangannya. Setelah itu ia langsung kembali ke kamar untuk bersiap berangkat ke kantor.

Edo mengoleskan selai di atas roti yang ada di atas piringnya. Sarapannya selalu makan roti karena ia tak mau ribet memasak di pagi hari. Ia benar-benar hidup mandiri di apartemennya, ia mencuci piring sendiri setelah makan. Dua hari sekali akan ada seorang asisten rumah tangga yang datang dari rumah mamanya yang akan membersihkan apartemennya dan memcuci baju miliknya.

***

Ucha memakai make up untuk menyamarkan bekas cupangan Edo, si pria sialan yang telah dengan kurang ajar menggerayanginya tadi malam. Kali ini ia juga sengaja memakai kemeja agar lehernya bisa sedikit tertutupi dengan kerah kemeja yang ia pakai. Setelah dirasa cukup, ia langsung bergegas keluar kamar untuk menuju ruang makan dimana papa dan adiknya sudah mulai menyantap sarapan mereka. Ia duduk di sebelah adiknya menikmati sarapan sebelum ia berangkat bekerja.

"Udah Pah, aku mau berangkat duluan." Pamit Ucha lalu keluar begitu saja tanpa pamit pada Rita.

Ucha bergegas memacu laju mobilnya dengan kecepatan sedang karena ia sengaja berangkat lebih awal. Tiba-tiba saja mobilnya terasa menyendat-nyendat, perasaannya mulai tak enak.

"Lhoh ... lhoh ... kenapa nih?!" seru Ucha panik. Ia lalu menepikan mobilnya sebelum mobilnya benar-benar mogok di tengah jalan. Dan benar saja sesaat setelah menepi mobil yang ia kendarai benar-benar mogok.

"Ahh ... sial!" seru Ucha sambil memukul setirnya. Ia lalu keluar dari dalam mobil. Ia berdiri berkacak pinggang menatap jengkel pada mobilnya.

"Kenapa sih pakai mogok segala! Mentang-mentang kamu tahu aku berangkat lebih awal, terus kamu jadi seenaknya mogok di jalan gini ya!" seru Ucha sambil menendang ban mobilnya.

"Auughh ... sakit kaki aku. Dasar ban sialan!" gerutu Ucha melotot pada ban yang menyakiti kakinya.

Ucha menggaruk rambutnya sambil menyender ke mobil, ia tak tahu harus ia apakan mobilnya ini.

"Apa telpon Papa aja kali ya, barang kali aja Papa belum berangkat jadi aku bisa nebeng sama Papa," gumam Ucha. Ia langsung membuka pintu mobilnya dan mengambil gawai yang berada di dalam tasnya.

"Aarrghh!!" tiba-tiba saja ia berjengkit kaget karena seseorang dengan lancangnya tengah meremas bongkahan pantatnya yang menungging saat ia sedang mencoba meraih tasnya dari kursi di dalam mobil.

"Kurang aj-- kamu!!" seru Ucha melotot ke arah orang yang sudah lancang meremas pantatnya. Bahkan ia sampai tak bisa menyelesaikan umpatannya karena ia tahu siapakah orang yang bertindak kurang ajar padanya.

"Hai, Sayang ... kita beneran jodoh ya ternyata," ucap seorang pria dengan seringaian di bibirnya.

"Hentikan omong kosong kamu," ucap Ucha.

"Mobil kamu mogok ya? Mau ya aku antar?" ucap Edo menawarkan bantuan.

"Nggak, aku bisa naik taxi!" seru Ucha sembari celingak celinguk mencari taxi yang lewat.

"Di sini jarang ada taxi yang lewat, Sayang. Mending kamu sama aku aja deh. Gratis dan pastinya lebih aman," ucap Edo.

"Enggak!" sahut Ucha sambil memutar bola matanya.

"Di sini banyak preman jalanan. Memang kamu mau digodain sama mereka?" ucapa Edo sambil memperhatikan segerombolan pria berpakaian seperti preman berjalan ke arahnya.

Ucha mengikuti arah pandangan mata Edo. Dan ternyata benar apa yang dikatakan pria brengsek di depannya ini kalau di daerah ini memang banyak preman.

"Ayo." Ajak Edo sambil mengulurkan tangan kanannya pada Ucha.

Tanpa berpikir panjang lagi akhirnya Ucha menerima bantuan Edo. Ia langsung berjalan mendahului Edo menuju mobil pria menyebalkan itu.
Edo sedikit menelan kekecewaan saat tangannya tak disambut baik oleh wanita yang sudah menyita perhatiannya. Setengah berlari Edo menyusul Ucha yang sudah masuk ke mobilnya.

"Halo, Pah. Mobil aku mogok di jalan," ucap Ucha saat sudah duduk manis di jok belakang.

"Iya, nanti biar Papa menyuruh orang bengkel buat benerin mobil kamu," sahut Martin dari sambungan telponnya.

"Ini kamu udah dapat tumpangan lain?" tanya Martin.

"Iya, Pah. Ini aku udah naik taxi," sahut Ucha sambil melirik sinis ke arah Edo yang sudah duduk di balik kemudinya.

"Ya sudah kamu hati-hati ya. Nanti biar papa nyuruh orang bengkel buat ambil mobil kamu. Kamu tinggal kasih alamatnya aja ke Papa," ucap Martin.

"Iya, Pah. Aku tutup telponnya ya," sahut Ucha lalu menutup sambungan telponnya.

Ucha menyerngit melihat ke arah Edo yang dari tadi tak juga menjalankan mobilnya. "Kok dari tadi diem aja. Buruan jalan!" seru Ucha yang sudah mulai bingung dan geram karena dari tadi Edo tak juga mengemudikan mobilnya.

"Aku kan bukan supir taxi, Sayang. Pindah depan dulu baru aku mau jalanin ini mobil," ucap Edo yang membuat Ucha melotot dan menganga.

"Tinggal jalanin mobil, apa susahnya sih?!" seru Ucha.

"Pindah depan atau aku perkosa kamu di sini," Ucha terkejut saat Edo tiba-tiba memberinya dua buah pilihan yang baginya tak masuk akal.

"Oh ... jadi kamu pengen supaya aku--"

"I-iyaa ... iya ...." Ucha memotong ucapan Edo sebelum pria di depannya ini meneruskan ucapannya. Ia langsung turun dari mobil dan beralih duduk di jok depan.

"Nah gini kan cakep, Sayang. Masak pacaran duduknya jauh-jauhan sih," ucap Edo sambil tersenyum. Hal itu tentu saja membuat Ucha semakin geram dengan pria di sebelahnya ini. Edo kemudian langsung mulai melajukan mobilnya.

"Kamu ini suka ngaco ya, kapan kita pacaran?!" seru Ucha sambil menyilangkan kedua tanggannya di depan dadanya. Ucha sudah terlalu jengah dengan sikap Edo padanya.

"Sejak semalam. Kamu lupa ya?" sahut Edo sambil tersenyum. Tangan kirinya mencoba membelai rambut panjang Ucha.

"Gila!" umpat Ucha lalu membuang mukanya ke luar jendela. Rasanya ia sudah tak sabar berlama-lama satu mobil dengan pria menyebalkan ini.

Edo tak menggubris umpatan Ucha yang ditujukan kepadanya. Semakin Ucha mengumpat, semakin bahagia dalam hatinya. "Kamu sexy kalau lagi marah," goda Edo sambil tersenyum miring pada Ucha.

Ucha tak lagi mau meladeni Edo. Di sepanjang perjalanan ia lebih memilih diam dan membuang mukanya ke luar jendela. Melihat pemandangan di luar lebih indah dari pada melihat seringaian dari pria yang kini memberinya tumpangan.

'Braakk'

Edo berjengkit kaget saat Ucha membanting keras pintu mobilnya saat Ucha kembali menutup pintu mobil. Tak mau berbasa-basi meski hanya untuk mengucapkan terima kasih, Ucha langsung pergi begitu saja meninggalkan Edo. Ucha berjalan menuju ruangannya dengan amarah yang membuncah. Dalam hatinya ia terus merapalkan doa agar ia tak lagi bertemu dengan Edo.

***

Semarang, 12 November 2020

salam

_Silvia Dhaka_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top