11. Pacar Ucha
"Papa ini kenapa sih?" tanya Ucha pada Martin setelah mereka berdua berada di dalam mobil menuju ke rumah.
"Kenapa?! Papa nggak ngapa-ngapain kok," sahut Martin dengan wajah sok polosnya.
Ucha menghembuskan nafasnya kasar sembari memutar bola matanya malas mendengar jawaban dari papanya.
"Aku nggak suka ah, Papa ngomong kayak gitu ke Pak Abrisam." Ucap Ucha dengan wajah yang ditekuk.
"Lhoh ... kenapa?! Papa nggak ngomong apa-apa sama Abrisam kok." Sahut Martin.
"Terus maksud Papa buat nyuruh Pak Abrisam datang ke rumah itu apa?! Terus maksud Papa apaan coba tanya-tanya wanita tipenya Pak Abrisam?! Pake nyangkutin sama nama aku lagi ...." Ucap Ucha dengan nada sengitnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Malas melihat wajah papanya yang sok polos, Ucha langsung membuang pandangannya ke luar jendela mobil.
"Memangnya salah?! Enggak kan?!" ucap Martin.
"Kalian sama-sama lajang, dan nggak menutup kemungkinan kalau kalian menjadi sepasang kekasih," sambung Martin.
Ucha langsung menolehkan kepalanya ke arah Martin, "Pah!!" seru Ucha memperingatkan papanya itu.
"Abrisam pria yang baik. Latar belakangnya jelas, kehidupannya juga jelas. Nggak seperti pacar kamu itu, siapa namanya?! Papa nggak suka melihat dia," ucap Martin.
"Namanya Ardi, Pah. Dan aku sama dia juga udah putus, jadi Papa nggak usah bahas dia lagi." Ucap Ucha yang malah langsung membuat Martin tersenyum lebar.
"Bagus dong kalau kalian sudah putus. Kamu jadi bisa mempertimbangkan cintanya Abrisam," sahut Martin dengan antusiasnya.
"Papa ini ngomong apa sih?! Aku sama Pak Abrisam ini berhubungan hanya sebatas pekerjaan, nggak lebih. Dan kenapa Papa malah jadi ge-er kalau Pak Abrisam cinta sama aku?! Heran deh," ucap Ucha.
Martin tertawa, "Papa ini pernah muda ya. Dan pengalaman Papa juga lebih banyak dari pada pengalaman kamu," sahut Martin tak mau kalah.
"Udah ah, terserah Papa aja!" seru Ucha dengan perasaannya yang dongkol.
Martin mencebikan bibirnya tak perduli dengan protesan dari Ucha.
Sampai rumah, Ucha langsung berjalan menghentak-hentakan kakinya menuju kamarnya. Moodnya jadi buruk gara-gara papanya terus menerus membahas tentang Abrisam.
"Ada apa, Pah?" tanya Rita pada Martin.
"Nggak tahu," sahut Martin.
"Ya udah, Mama siapkan air buat mandi Papa dulu ya," ucap Rita.
"Iya," sahut Martin.
***
"Yol, ikut aku yuk" ucap Ucha pada Yola melalui sambungan telponnya.
"Ke mana?"
"Aku ada tempat baru buat nongkrong. Kamu ikutan yah," ajak Ucha.
"Enggak ah, kalau tempatnya kayak yang waktu itu. Aku anak alim ya, Cha. Jangan dibawa ke tempat kayak gitulah ...," sahut Yola.
"Ck, kamu ini nggak asik ah," protes Ucha lalu mematikan sambungan telponnya.
Ucha langsung mengambil tasnya lalu berjalan keluar kamarnya. Malam ini ia akan bersenang-senang sendiri.
"Sania!!" seru Ucha sambil menghampiri Sania di lantai dansa.
"Hai, Cha ... kamu sendirian lagi?" ucap Sania.
"Ya ... begitulah," sahut Ucha sambil bergabung bersama orang-orang yang kini sedang meliuk-liukan tubuhnya tanpa rasa malu.
"Arrgh!!" tiba-tiba saja Ucha terkejut saat ada sebuah tangan yang meremas pantatnya. Ucha merasa sangat marah, ia langsung membalikan tubuhnya untuk melihat siapakah orang yang sudah berani berlaku kurang ajar padanya.
"Kamu?!" seru Ucha.
"Hai, Sayang ...."
"Brengsek kamu ya!!" seru Ucha.
"Ada apa, Cha?" tanya Sania mendekat ke arah Ucha setelah Sania mendengar ada sedikit keributan di belakangnya.
"Hai, perkenalkan aku Edo, calon suaminya Ucha," ucap Edo memperkenalkan dirinya, membuat Ucha mendelik.
"Calon suami?!" gumam Sania.
"Bukan ...."
"Iya."
Ucha dan Edo menjawab dengan jawaban yang berbeda.
"Ya udah kita ke sana dulu ya," ucap Edo pada Sania. Edo lalu menggeret tangan Ucha keluar dari tempat itu.
"Kamu apa-apaan sih?! Lepasin nggak?!!" sentak Ucha saat langkahnya sudah tak mampu lagi mengimbangi langkah Edo.
"Masuk." Titah Edo saat ia sudah berhasil membuka pintu mobilnya.
"Enggak!" sahut Ucha.
"Ayolah, Sayang ...," ucap Edo pelan namun mengintimidasi.
Mau tak mau Ucha menuruti apa yang Edo perintahkan.
"Kamu itu jangan seenaknya sama aku ya! Jangan kurang ajar deh," seru Ucha.
"Apa sih, Sayang. Kamu jangan suka marah-marah gitu deh. Kamu tahu nggak, melihat kamu marah malah semakin membuat aku bergairah sama kamu," ucap Edo.
Ucha mendelik ke arah Edo, "gila kamu!"
"Iya kamu memang benar. Aku memang gila, gila gara-gara kamu." Sahut Edo sambil tersenyum.
Ucha mencoba membuang nafas beratnya, "hhhh ... gini ya Edo, aku itu nggak kenal sama kamu. Jadi kamu nggak usah sok-sokan kenal dekat sama aku. Apa lagi sampai mengaku jadi pacar aku," ucap Ucha mencoba lebih santai menanggapi Edo.
Edo menertawakan ucapan Ucha. "Hahaha ...."
"Kenapa?" tanya Ucha bingung saat Edo tertawa.
"Kamu ngaku nggak kenal sama aku, tapi kamu bisa tahu nama aku," ucap Edo.
"Edo, kamu jangan bikin aku tambah emosi ya. Mending sekarang kamu turunin aku di sini, se-ka-rang!!" ucap Ucha.
"Oke. Aku bakal turunin kamu di sini se-ka-rang. Tapi emangnya kamu berani?" tanya Edo.
"Kenapa enggak?!" tantang Ucha.
"Oke ... sekarang kamu turun." Ucap Edo yang kini sudah menghentikan laju mobilnya.
Ucha bersiap akan turun, tapi pergerakannya langsung terhenti ketika ia menyadari jika mobil Edo sekarang sedang berhenti di depan tempat pemakaman umum.
"Kuburan ...." Gumam Ucha sambil mengamati sekelilingnya. Rasa takut seketika langsung menyerang dirinya.
"Jalankan mobilnya!" gumam Ucha.
"Hahaa ... katanya mau turun di sini?" goda Edo.
"Buruan jalanin mobilnya. Bawel banget deh!" seru Ucha sambil mendelik ke arah Edo yang masih tertawa.
***
....bersambung...
3 Desember 2020
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top