PERTUNJUKAN BUSTAM - Shell Fiand

Bagian Pertama


Anak itu berlari. Setiap pijakan dan hentakan membuatnya semakin menjauhi desa, mendekati hutan lebat di sebelah barat. Dari jarak puluhan meter, terlihat asap keabuan menodai lembayung senja. Mengotori semburat jingga nan jelita.

Jantung anak itu takkan berdetak tak beraturan seandainya ada orang lain yang memadamkan api ganas itu. Tubuhnya takkan berkeringat dingin seandainya ia tak berlari sendirian di antara pohon-pohon jati yang menjulang.

Kebakaran! Kebakaran!

Bagaimana ini? Ketika aku mendekati hutan luar tubuhku bahkan terpental. Kami semua terpental.

Tidak ada yang bisa memadamkan kebakaran itu.

Bustam pasti bisa!

Ya, anak itu pasti bisa.

Tolong kami, Bustam. Desa ini membutuhkanmu untuk memadamkan api itu.

Hutan luar membutuhkanmu, Bustam.

Segala yang berada di hutan luar mengingatkan anak itu pada mendiang sang ibu. Dari tanah, dedaunan, bunga, bahkan sampai aliran sungai. Warga desa menyebut wilayah tersebut sebagai hutan luar karena tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa memasuki wilayah itu. Setidaknya hanya ada dua orang yang bisa memasuki, memanfaatkan tanaman, dan mengenal wilayah itu dengan baik; Bustam dan mendiang ibunya, Sadirah.

Masuk ke hutan luar sebenarnya mudah. Susuri jalan ke arah barat dan kau akan menemukan tanah yang landai. Turun saja terus hingga kau menemukan tanah yang lebih subur, maka kau telah sampai di hutan luar.

Satu hal yang istimewa dari wilayah itu adalah dedaunan dan bunga-bunga yang jarang didapati di wilayah lain. Daun Engkek untuk bahan utama ramuan obat penyakit luar, akar Bunga Siloam untuk obat penyakit dalam, Bunga Liasan untuk menjaga kelembapan kulit, dan masih banyak lagi. Dulu, Sadirah sering pergi ke sana untuk menolong warga desa. Ia bahkan bersedia membuatkan ramuan-ramuan dengan sukarela, tapi warga desa selalu tak pernah merasa cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih. Mereka memberi Sadirah pakaian, menu hidangan yang enak, meminjamkan kuda, dan lain sebagainya. Sejak wanita itu meninggal, rutinitas Sadirah diteruskan oleh Bustam, tapi seiring waktu, warga desa menemukan berbagai tanaman lain yang memiliki khasiat kurang lebih sama seperti tanaman-tanaman di hutan luar. Mereka bilang, mereka tidak ingin merepotkan Bustam. Tidak seharusnya anak berusia sebelas tahun memiliki rutinitas seperti itu. Kata mereka, ia lebih baik mempelajari hal lain saja.

Kendati begitu, Bustam selalu memastikan hutan luar selalu terawat. Menjelajahi wilayah itu saja sudah cukup. Tidak pernah ada rumput liar atau hama. Di sana, dedaunan kering akan terurai menjadi mikroorganisme lain. Cuaca buruk pun tak pernah memengaruhi pertumbuhan tanaman-tanaman di sana. Tidak sekalipun. Kata Sadirah, wilayah itu hanya membutuhkan sosok penjaga.

Tapi, bagaimana Bustam menjaga hutan yang sudah telanjur dirusak oleh api? Tidak. Sebagian hutan luar masih baik-baik saja. Satu-satunya yang terganggu hanya sebatang pohon jati—terbakar dan menguarkan panas. Satu pohon saja. Meski begitu, bagaimanapun Bustam harus mencari cara agar bisa menyelamatkan pohon tersebut.

"Ibuuu," lirih anak itu. "Bagaimana aku bisa memadamkannya? Bahkan dedaunannya sudah termakan api." Ia mulai terisak. Bisakah ia meminta agar diturunkan hujan saja? Atau ia harus menggunakan air sungai untuk ....

Air sungai! Anak laki-laki itu segera menghambur ke sungai dengan semangat yang membara, mengalahkan bara api di pohon tadi.

Ada dua ember di dekat sungai, jadi Bustam bisa membawa dua ember itu sekaligus. Tubuh anak itu memang kurus, tapi otot-otot di balik kulitnya sudah terlatih dan kuat. Merasa sedikit lelah setelah menempuh setengah perjalanan, ia mengangkat satu ember di atas kepala, sedangkan ember lainnya dibawa oleh tangannya yang bebas.

Bustam baru saja menaruh kedua ember di tanah ketika suara mendesis terdengar. Kedua tangannya baru mengangkat salah satu ember ketika ia kembali menatap pohon dan mendapati bara api telah berkurang hingga padam dengan sendirinya.

Lho?

Bagaimana bisa?

Kedua tangan anak itu belum sempat menaruh kembali ember di tangannya kala sebuah sulur bergerak semakin dekat dan mengelilingi kedua pergelangan kaki Bustam.

"Aaargh!"

Tubuh Bustam terangkat dari tanah. Sapuan angin serta dedaunan dan ranting menerpa wajah dan tubuhnya. Sulur itu semakin banyak, semakin membatasi ruang gerak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top