Bagian Keenam
Bustam berjalan dengan tenang dan perlahan. Sinar redup lentera menyinari jalan di depannya. Gemericik air sungai membuatnya kembali teringat peristiwa ketika ia masih kecil dulu. Pemuda itu bergidik ketika mengingat perasaan takut saat ia terombang-ambing di antara sulur. Ia mengerahkan segenap keberanian. Setelah lahan landai berumput yang terbuka dengan pepohonan rapat di kedua sisi, di ujung sana ada pohon keramat. Ia kemudian menyempatkan diri untuk menggantungkan lenteranya pada salah satu cabang pohon terdekat dengan hati-hati sebelum kembali berjalan. Setiap langkah Bustam tempuh dengan khidmat, hingga jarak yang ia rasa cukup aman.
"Pohon tua," ucap Bustam mantap pada pohon di hadapannya. "Ini aku Bustam, anak dari Sadirah."
Mata pemuda itu menunduk sekaligus mengawasi akar pohon tua yang berada dalam jarak pandangnya dan terkena cahaya lentera. Aman. Tidak ada sulur yang bergerak. Seperti biasa akar, ranting, batang, dan dedaunan pohon tua tampak tenang dan kuat.
Angin tiba-tiba berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan dedaunan kering. Bustam tidak dapat menebak asalnya angin itu, yang nyatanya berasal dari pohon. Hanya beberapa detik. Angin lalu berhenti, menyisakan hening.
Bustam putra Sadirah ....
Mendadak Bustam merasakan sebuah kesadaran yang begitu agung memasuki benak, seiring suara itu terdengar di kepala. Pemuda itu merasa bulu kuduknya meremang, ketika ia sadar bahwa untuk pertama kali, Sang Pohon Tua tengah berbicara padanya. Pemuda itu berlutut lalu beringsut mendekati pohon di hadapannya. Kedua telapak tangannya bersatu di hadapan kepala.
Benak sang pohon terasa ganjil, tapi Bustam bisa merasakan suatu kegembiraan. Suara itu juga amat jauh dari kesan mengancam. Seperti seseorang yang bahagia bertemu kembali dengan teman lama. Tanpa berkata-kata, Bustam berusaha menyampaikan maksud kedatangannya pada Sang Pohon Tua. Ia merasakan kilas balik adegan kebakaran itu berputar kembali di benaknya; sang pohon telah melihat semua. Suara gaib itu bergaung lagi dalam kepala Bustam.
Kesalahpahaman telah diluruskan dan akhirnya kau kembali. Sudah cukup kau berurusan dengan para manusia yang membohongimu. Andai saja bau tembakau tidak menyulut kemarahanku saat itu, kesalahpahaman tak perlu terjadi.
Setetes air mata penuh kelegaan mengalir di pipi Bustam; kedua matanya masih terpejam. Beban yang amat berat telah terangkat. Hatinya tak pernah terasa seringan sekarang.
Hutan ini milikmu, Bustam putra Sadirah. Kemarilah dan manfaatkan segala yang ada di sini, titah Sang Pohon Tua.
Tenggelam dalam haru, pemuda itu berdiri mendekat, membelai batang kasar sang pohon sebelum merentangkan tangan untuk memeluk entitas agung itu. Tubuh pohon tua jauh lebih besar dari pelukan lengannya. Ia menempelkan pipinya yang berbekas luka ke sana, merasa bahagia luar biasa. Sebuah kekuatan mahabesar terasa menyelubungi dirinya—sang pohon menyalurkan energi padanya sebagai ritual penanda Bustam menjadi penjaga hutan—Jagawana bagi hutan luar. Ia merasakan pipi dan sekujur tubuhnya semakin hangat oleh energi hutan.
Ketika aliran energi itu berhenti, Bustam membuka mata dan mengusap air mata di wajah. Ia terkejut mendapati bekas luka panjang di pipinya telah sembuh, hilang sama sekali. Semua sudah selesai. Akhirnya.
Setelah menyelesaikan urusannya dengan pohon tua, Bustam mengajak Sega, Teo, Wali, Kora, Cipa dan Leta untuk tinggal bersama di dalam hutan luar. Sesekali ia pergi ke kampung di kaki bukit untuk menjual ramuan obat atau membantu penduduk mengobati mereka yang sakit sebagai bentuk balas budi.
Bustam tak pernah lagi menginjakkan kaki di desa yang penuh kebohongan itu. Ia telah berhasil meletakkan masa lalunya di belakang, memaafkan, serta merelakan. Sejak saat itu hutan luar tampak lebih asri dan aman, karena kembalinya sang penjaga hutan. Hewan-hewan kesayangannya pun mendapatkan teman. Kebohongan telah berubah menjadi kebahagiaan.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top