Bagian Keempat
Warga saling tatap. Wirma sendiri tertegun mendengarnya.
"Maaf, Tuan. Kebohongan mana yang Anda maksud?"
Lawan bicara Wirma turun dari bebatuan dan menapaki tanah rerumputan.
"Kurasa itu tidak terlalu penting, karena kejadiannya sudah cukup lama—tujuh tahun lalu." Ia memberi jeda. "Ah, ya. Apakah kalian mengenal anak laki-laki bernama Bustam? Kalau tidak salah asalnya dari desa ini."
Wirma mendengus pelan. "Bustam? Anak penyihir itu? Dia memang berasal dari sini, tapi kami sudah mengusirnya."
Yang lain mengangguk membenarkan.
"Bustam, si anak tak berguna. Kenapa dia menanyakannya?"
"Bocah aneh. Untung sudah diusir dari sini."
"Hahaha. Pasti bocah itu mengadu."
Senyum di wajah si pendatang lenyap. Jadi selama ini Bustam dianggap anak penyihir ....
"Pengusiran itu demi kebaikan warga desa ini, Tuan. Ah, Tuan tidak seharusnya menanggapi bocah itu terlalu serius. Hutan luar bahkan mengusirnya, jadi kami yakin itu adalah keputusan yang tepat. Tuan tidak perlu khawatir," ujar si kepala desa.
"Tentu tidak, Kepala Desa." Didekatinya pria berkumis tebal di depannya. "Tidak ada yang mengadukan perbuatan kalian."
Topi anyam dan kain itu akhirnya dilepas, menunjukkan wajah di baliknya.
Wirma sempat berhenti bernapas.
"Akulah anak itu." Ia lalu berpaling ke arah kerumunan. Kebanyakan warga menutup mulut karena kelewat terkejut. Anak-anak dan pemuda-pemudi saling menatap, bingung.
Beberapa pasang kaki di barisan depan mulai bergerak mundur.
Pemuda berkulit sawo matang itu memiliki codet panjang di pipi kanan, nyaris menyentuh mulut. Bustam memiliki alis yang cukup tebal, jadi ia takkan sulit dikenali. Matanya juga cokelat seperti ibunya. Mata itu kini menyorot tajam.
Ia sama sekali bukanlah pendatang. Ia adalah Bustam.
Suaranya meninggi. "Hutan luar mengusirku, itu memang benar. Tapi seandainya kebakaran itu tidak terjadi, aku takkan pernah terusir."
Wirma menundukkan kepala, malu. Perasaan itu perlahan menjalar di antara dirinya dan juga semua warga lainnya.
"Aku tahu apa yang kalian lakukan saat itu. Salah satu dari kalian sengaja melesatkan anak panah berapi pada salah satu pohon agar terbakar." Bustam teringat ketika ia menemukan sebuah busur panah di dekat hutan luar.
"Kalian memohon padaku agar bisa menyelamatkan kalian. Nyatanya, kalian berniat mengusirku. Pakaianku kalian buat agar menguarkan aroma asap tembakau yang sama seperti panah apinya. Dengan cara itu, pohon tua yang sensitif terhadap bau akan berpikir akulah penyebab kebakaran itu."
Semakin banyak warga yang merasa malu. Mereka tutup mulut meski anak-anak bertanya pada mereka.
"Benarkah itu, Ayah?" tanya anak bungsu Wirma. Sang ayah bergeming.
Bustam melangkah maju. Sebenarnya ia tidak berniat mengatakan ini semua, tapi ia tidak terima ibunya dikatakan penyihir.
Mungkin, warga desa mengusirku karena aku tidak bisa melakukan tugas sebaik ibu. Tidak bisa bersikap ramah pada setiap orang. Tidak bisa berbaur dan menjalin hubungan akrab dengan mereka.
Selama tujuh tahun terakhir, pemikiran itulah yang bersemayam dalam benak Bustam. Tak pernah sedikit pun ia mengira warga desa membencinya karena menganggap Sadirah sebagai penyihir.
Tidak pernah.
"Ibuku bukanlah penyihir!" teriak pemuda itu. "Kalian tahu kenapa hutan luar tidak menerima kehadiran kalian? Karena hutan luar sangat keramat. Sangat suci. Hanya yang tulus yang bisa memanfaatkan segala tanaman yang ada di sana. Ibuku sempat memohon dan berdoa agar hutan luar dapat kembali seperti sediakala—menerima kehadiran siapa saja—tapi sayangnya tak pernah berhasil. Sekarang aku mengerti kenapa usaha itu selalu tak pernah berhasil."
Ia pun melanjutkan. "Kalian bahkan menakut-nakuti anak kalian agar tidak mendekati hutan luar. Menunjukkan rasa iba kalian padaku karena tidak seharusnya anak berusia sebelas tahun keluar-masuk hutan, padahal sebenarnya kalian takut anak-anak kalian mengikutiku ke sana."
Tidak ada penyangkalan. Tidak ada pembelaan. Wajah-wajah di hadapan Bustam seredup langit yang dihiasi sisa sinar mentari.
"Benar kan, Tuan Wirma?"
Wajah sang kepala desa sulit terbaca meski pandangannya tertuju pada pemuda di hadapannya. Bibirnya diam seribu bahasa, tapi sepertinya ia masih dapat mengumpulkan wibawa. Kebungkaman itu membuat Bustam makin naik darah.
"Kalau menurut kalian ibuku penyihir, maka aku juga sama! Akui perbuatan kalian atau aku akan mengutuk lumbung padi di desa ini!" ancam pemuda itu; jelas-jelas menuding Wirma dan segenap penduduk desa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top