Siapa yang Menang?
Aku terdiam, ada seorang gadis berdiri di hadapanku ia mengenakan syal berwarna merah. Ia menatapku nyalang bagaikan seekor hewan buas yang sedang menjaga wilayahnya. Kami berdua sedang berada di atap sekolah, tidak ada orang lain, hanya aku dan gadis aneh itu.
"Pergi dari sini!" ucapnya dengan nada penuh amarah
"Tidak mau! memang kau siapa?! dasar cewek aneh!"
Tidak! Aku tidak mau pergi!
Atap sekolah adalah tempat yang sangat nyaman! Aku mau menghabiskan istirahatku di sini! Aku sudah melakukan pengamatan di seluruh penjuru sekolah untuk mencari tempat terbaik, tempat dimana aku tidak akan dianggu oleh orang - orang yang berisik.
"Pergi! pergi!"
Ia berlari menerjangku, mendorongku hingga terjatuh.
TIDAK! aku tidak mau kalah!
Kami berdua saling serang, aku menarik rambut panjangnya hingga beberapa helai tercabut. Wajahku terus ditekan olehnya, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, kami berguling ke kanan. Ia tidak lagi menindihku, kami saling tendang. Bagai dua anak balita yang sedang bertengkar, kami tidak berhenti walau kami sama - sama terluka.
***
Siapa aku? aku hanyalah siswi SMA biasa yang suka sial.
Tidak, aku tidak kena sial karena punya kekuatan super, hanya nasibku saja yang memang rusak sejak dua tahun yang lalu. Jangan tanya mengapa karena aku tidak bisa menjawabnya.
Setahun yang lalu kedua orang tuaku bertengkar hebat, aku tidak tahu penyebabnya. Mereka juga tidak pernah curhat padaku padahal aku anak satu - satunya, orang - orang sering berkata kalau anak tunggal adalah tempat berbagi keluh kesal orang tuanya.
Yah, walau mereka tidak curhat pun aku tahu kalau mereka punya masalah.
Dari dulu pun sudah begitu, selalu ribut dengan topik yang bereda setiap hari. Lalu setelah bertengkar Ayah tidak akan di rumah dan Ibu menghabiskan waktunya untuk menangis sampai lupa memasak. Aku sudah terbiasa kalau tudung saji yang kubuka saat makan malam kosong. Kalau lagi beruntung biasanya akan ada sisa nasi satu piring dengan sepotong tempe.
Aku tidak menyalahkan mereka lagi, toh itu adalah hal yang sia - sia. Kalau aku menyalahkan mereka, apa sepiring nasi padang yang hangat langsung mucul begitu saja?
***
Aku tidak pernah sial meskipun sepanjang tahun yang kulewati tidak memiliki arti yang bermakna, Aku tidak punya banyak teman dan aku tidak punya musuh. Bisa dibilang kehidupanku sebelumnya cukup tenang sampai akhirnya aku masuk ke jenjang SMA.
Hari pertama biasa saja, aku datang dengan pakaian yang tebal. Musim semi masih dingin, dan aku tidak mau terkena flu.
"Hatchuh!"
Aku melihat ke arah gadis berkacamata yang berjalan di dekatku, kami sama - sama anak baru dan aku tahu ia cukup ceroboh hanya mengenakan jaket tipis padahal hidungnya sudah semerah itu, apalagi rambut pendek nan bergelombang itu membuatnya terlihat lebih aneh.
"Hei! pakai ini,"
Aku memberikan syal yang kugunakan kepadanya, meskipun kami tak saling mengenal tapi aku kasihan dengan wajahnya yang menyedihkan.
"Te-terima kasih,"
Ia memakai syalku, dan jadi terlihat sangat mencolok. Semua yang dikenakannya berwarna merah dan kontras dengan lautan siswa yang mengenakan pakaian berwarna hitam - coklat.
Kami berkenalan singkat, tidak banyak bicara hingga memasuki gedung sekolah. Kami berpisah saat masuk ke dalam aula untuk perkenalan siswa baru.
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu.
Tepat satu bulan, dan semuanya masih normal hingga sekelompok gadis yang tidak kukenal mengganggu ketenanganku.
Aku tidak membuat masalah dengan mereka,pun aku tidak mengenal mereka. Tapi mereka memperlakukanku seperti seorang musuh lama yang sudah mereka ajak berperang sejak 100 tahun yang lalu.
Dan lebih menyebalkannya lagi, setelah bajuku dan mejaku jadi korban aku baru tahu bahwa alasan mereka memperlakukanku bagaikan sampah adalah seorang lelaki.
Pemuda tampan yang kebetulan sekelas denganku dan pernah sekali dua kali kuajak mengobrol hanya untuk membahas tugas.
Sialan memang.
Walau aku sudah menjelaskan sampai berbusa - busa, gadis - gadis itu nampaknya tak mau mengerti dan tetap memperlakukanku seenaknya. Aku yang memang biasa sendiri jadi terkucilkan. Tidak ada yang mau dekat denganku (Kecuali masalah tugas sekolah, biasanya dibarengi dengan tatapan orang yang lagi kebelet BAB).
Makin hari orang yang mengganggu ketenanganku dan level kesialanku semakin bertambah.
Kadang kala kelakukan mereka meninggalkan bekas warna warni di tubuhku, aku sampai memotong rambutku yang panjang . Walau nasib sialku sungguh mencolok, para guru nampaknya tidak terlalu peduli.
Semakin hari bergulir, semakin diriku terbiasa dengan nasib sial yang harus kumiliki ini. Aku juga mulai mencari tempat dimana aku bisa berlindung dari mulut - mulut berisik itu.
Lalu aku menemukan tempat ini, atap sekolah yang nampak bagaikan taman mini. Tidak banyak siswa yang pergi ke tempat ini. Aku sering menghabiskan kesendirianku di sini.
Rasa - rasanya aku ingin tinggal selama 24 jam penuh.
Hingga gadis antah berantah itu muncul.
Ia tiba - tiba saja muncul dan merusak rencanaku hari ini.
Tidak hanya hari ini saja, gadis itu juga datang di hari - hari sebelumnya. Mengajakku bertengkar dan membuat semua rancanaku berantakan. Tapi kali ini berbeda, aku tidak ingin kalah!
Kami bergelut sengit, aku semakin agresif mencabut rambutnya yang panjang, dan dirinya sibuk mencakar - cakar tubuhku. Aku mendorongnya menjauh agar wajahku yang biasa ini tidak memiliki lebih banyak bekas luka.
Dan saat itulah aku baru menyadari, kalau ekspresi yang ada di wajahnya bukan hanya amarah, tapi dibarengi dengan kesedihan yang berlarut - larut. Matanya tak hanya melotot, ia mengalirkan air mata yang dapat membanjiri relung hati yang telah retak di sana - sini.
Aku tak lagi menyerangnya, ia juga tak bergerak. Dengan wajah yang lusuh, seragam dan rambut panjang yang berantakan, serta syal merah yang telah robek, ia berkata,
"Aku tak bisa menghentikanmu lagi, aku tak berhak lagi,"
Dan gadis itu pun menghilang.
Ini... artinya aku menang bukan?
Akhirnya! akhirnya!
Aku bisa melanjutkan rencanaku!
Aku berlari, lalu melompat.
KLAK! BRUK!
Tubuhku bergelantung, aku dapat merasakan hembusan angin yang menyapu tubuh dan kaki kananku yang telah kehilangan sepatunya, jatuh ke tanah.
"HUAAAAA!!!!"
Seorang gadis membantuku naik ke atas, ia lalu memelukku sambil menangis, ada sebuah tas kertas di sampingnya. Tas yang selalu ia bawa ketika aku melihatnya diam di depan kelasku hampir setiap hari.
Gadis berkacamata itu melepas pelukannya dariku, mengeluarkan sebuah syal merah yang ada di dalam tas dan memakaikannya padaku.
"Maaf aku baru mengembalikannya, kamu tampak cantik memakainya, walau rambutmu tidak panjang lagi," ucapnya
Ah....
Air mataku berjatuhan, kami lalu menangis bersama - sama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top