27 | Dunia yang Hancur
Aku tak pernah suka dengan apa pun yang berkaitan dengan tempat ini. Tempat ini begitu dingin, suram, dan mati. Bau obat menguar kuat menyengat hidungku. Lampu putih menyala remang-remang di sepanjang koridor tempatku kini berada.
Aku tak bisa duduk diam. Kakiku tak hentinya membawaku mondar-mandir di ruang tunggu rumah sakit itu. Berkali-kali aku mengecek ponselku, entah untuk apa. Mungkin karena gugup. Setidaknya lebih baik daripada mencongkel kuku jari telunjukku sampai lepas.
Lampu-lampu lainnya dinyalakan. Tandanya matahari sudah hampir terbenam. Namun masih belum ada kabar tentang keadaannya. Aku berhenti berjalan, lalu membuka kembali ponselku untuk yang kesejuta kalinya sore ini. Berita soal kejadian itu sudah tersebar ke mana-mana. Semua orang membicarakannya. Di grup kelas, grup jurusan, grup angkatan. Bahkan Mama sampai mengirimiku pesan, menanyakan keberadaanku.
Bodoh! Seandainya aku tidak melihat ke belakang, seandainya aku tahu kalau anak itu nekat menerobos lalu lintas, mestinya semua ini tak akan terjadi. Bodoh! Bodoh!
"No!" Sofia berusaha memegangi tangan kiriku yang memukul-mukul kepalaku. Aku memberontak sampai gadis itu kewalahan.
Aku mengerang sambil menghentakkan tangan kiriku kencang-kencang. Akhirnya tangan kiriku lepas dari cengkeramannya yang ternyata cukup kuat. Hentakan itu ternyata tak hanya berhasil melepaskan genggaman tangannya, tapi juga meruntuhkan bendungan air mata yang selama sore ini sangat kujaga agar tak runtuh dulu.
Haha, ternyata anak ini masih bisa menangis, ya?
"Sabar ya, No." Sofia memegangi bahuku. Aku tak bisa berkata-kata. Yang keluar dari mulutku hanya gumaman-gumaman tak jelas disertai isak tangis.
"Dia anaknya kuat, kok. Gue yakin dia bisa survive," lanjutnya. Tangannya masih terus mengusap lembut bahuku. Aku berusaha keras membuka kedua mataku. Kupandang kedua matanya dalam-dalam dari balik celah kelopak mataku. Lalu badanku rubuh ke arahnya.
"E-eh, Noah!" pekiknya kaget ketika aku memeluknya. Aku pun tak tahu kenapa. Mungkin ini karena keadaan diriku yang sedang rapuh. Atau karena alam bawah sadarku yang mencari keamanan dari orang-orang terdekatku. Lupakan sajalah. Tak penting untuk dipikirkan saat ini.
Lalu tangisanku semakin menjadi. Air mataku mengalir deras seperti air mancur. Aku sudah tak peduli lagi pada kekhawatiran konyol seperti kekhawatiran akan ada yang mengambil fotoku saat aku seperti ini. Persetan dengan gosip. Aku sudah hancur. Dan semua itu karena perbuatanku sendiri.
Tangannya berangsur menyentuh punggungku, balik memelukku. Lalu ia perlahan mendudukkanku kembali di kursi. Lalu ia melepas pelukannya, seiring dengan tangisanku yang berangsur reda. Aku menoleh ke arah ruang UGD. Namun mataku bertemu dengan kedua mata itu. Mata sang bidadari yang selama ini jadi pujaan hatiku.
Ia berjalan menghampiri kami berdua. Aku berusaha menghapus sisa-sisa air mataku, meski sia-sia. Apa jangan-jangan, ia melihatku menangis tadi? Apa jangan-jangan... ia melihatku memeluk Sofia tadi?
"Hei," ujarnya. Aku hanya bisa menunduk bisu.
"Jangan sedih, No. Temen lo itu orangnya kuat, kok. Masa iya sih orang yang keras kepalanya kayak Mikel enggak bisa selamat?" Ucapan itu mengundang omelan dua menit dari Sofia. Heck, bahkan aku sendiri tak dapat memproses emosi yang seharusnya ditimbulkan oleh banyolan itu.
"Iya, sori." Ica mengalah juga pada akhirnya. Ia duduk di sampingku. Tangannya mendarat di punggungku, lalu mengusapnya lembut. Bisa-bisa jantungku meledak kalau begini. Kupu-kupu seperti memenuhi perutku. Cukup banyak untuk membuatku terbang seandainya badanku tak terikat pada jangkar berupa hatiku yang hancur akibat kecelakaan itu.
"Yang sabar ya, No. Kalo dia kuat, harusnya lo juga kuat, dong!" Ah, gadis ini. Seperti matahari, ia selalu bisa mencerahkan suasana di sekitarnya, tak peduli bagaimana keadaannya. Namun aku hanya terdiam. Aku masih belum berani untuk bicara dengannya. Lagi-lagi kejadian Senin lalu muncul dalam ingatanku.
Napasku terasa berat. Mungkin ini efek dari tangisan tadi. Mungkin juga karena ingatanku yang melayang kembali pada kejadian minggu lalu. Atau karena Ica yang masih saja mengusap-usap punggungku meski tahu aku akan kembali menghindarinya. Atau kombinasi dari semua itu. Entahlah.
"No? Kok lo diem aja, sih?" katanya lagi. Ya ampun, bisakah aku bersedih dengan tenang, tanpa ada yang berusaha menghiburku dulu?
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku beranjak dari tempat dudukku. Dengan cepat aku berjalan keluar dari gedung rumah sakit itu. Semakin lama aku ada di situ, rasanya otak dan kedua paru-paruku bisa berhenti berfungsi.
Aku sembarang berjalan, melintasi area rumah sakit itu tak tentu arah. Hingga akhirnya aku mencapai sebuah area terbuka yang tampak seperti taman. Aku berjalan memasuki taman itu. Sambil berjalan lambat, aku menghirup dalam-dalam udara yang sebetulnya tak segar-segar amat. Namun setidaknya masih lebih baik daripada bau obat yang menyengat di dalam rumah sakit.
Aduh. Aku memijat pelan kepalaku, di dekat tempat kamus sialan itu mendarat. Kadang kepalaku terasa sakit, mulai dari hari Sabtu waktu aku kolaps tempo hari. Sambil begitu, aku melanjutkan jalan-jalan santaiku di sana. Menikmati sang surya terbenam di ufuk barat layaknya seorang anak indie. Tinggal kopi dan puisi atau gitar saja yang kurang.
Seseorang memanggilku, "Noah!"
Aku menoleh ke belakang. Gadis itu sedang berjalan menghampiriku. Kalau sudah begini, mau menghindar pun aku sudah tak bisa lagi. Yang ada malah hanya akan memperkeruh suasana.
"Gue cuma pengen ngehibur lo karena lo baru aja ngalamin kejadian buruk. Bisa enggak sih, lo singkirin ego lo dulu? Lo enggak bakal bisa ngehindar dari gue terus, No," omelnya lagi. Ayolah, apa kita akan mengulangi percakapan tadi siang?
Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku membalasnya dengan pertanyaan lain, "Kenapa lo bisa ada di sini?"
"Ibu gue sama ibunya Mikel sama-sama di Komite," jawabnya. Komite Orang Tua Murid, maksudnya.
"Loh― lo jangan ngalihin pembicaraan ya, No!" Yah, gagal. "Lo kenapa sih ngehindarin gue mulu? Hah? Apa karena kejadian hari Senin minggu lalu? Atau gue bikin lo... I don't know. Sebel, atau gimana gitu?"
Aku kembali menutup mulutku.
"No!" erangnya. "Hei! Gue mau ngobrol sama lo, bukan ngeceramahin lo. Ngobrol itu harusnya dua arah, ada interaksi antara yang ngomong sama yang diajak ngomong. Ngerti enggak sih? Buku yang waktu itu gue kasih lo baca enggak sih?"
Aku hanya menghela napas sebagai jawaban. Sikapku mengundang decak sebal darinya. Gua minta maaf, Ca. Gua enggak tahu gimana jelasinnya. Seandainya gua bisa, udah dari awal gua jelasin semuanya ke lo.
"Terserah elo, deh. Gue capek, tahu enggak, sama sikap lo yang kayak gini," ia menghela napas dalam, lalu sedikit menggumam. "Lo suka sama gue?"
Tahu tidak? Aku hampir kena serangan jantung.
"Kalo lo suka sama gue, bilang. Kalo lo enggak suka sama gue, bilang. Kalo semua yang Arge ceritain itu cuma fitnah, bilang. Apa pun," telunjuknya mencuat, "apa pun yang bisa lo jadiin alasan lo buat ngejauhin gue, bilang!"
"Karena tahu enggak? It's sickening to receive this treatment from you. Gue denger kabar kalo lo suka sama gue, terus bam! Lo hilang gitu aja dari kehidupan gue. I've been one of your friends since the day we met in this freaking high school! Kita harusnya saling terbuka satu sama lain, No!" lanjutnya panjang lebar.
Masih tak ada kata yang dapat keluar dari dalam mulutku. Jujur saja, kini aku jadi bingung harus mengatakan apa. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Atau menciptakan kebohongan lain demi menutupi perasaanku yang sebenarnya dan, mungkin, menyelamatkan persahabatan ini?
"Gue kecewa sama lo, No." Ia berbalik dan berjalan pergi.
"Iya," ucapku pelan. Namun ternyata cukup keras untuk didengar gadis itu. Ia menghentikan langkah kakinya, lalu balik badan menghadapku.
Ia menyalak, "Apanya yang iya?"
Aku kembali terdiam.
"Ya Tuhan!" erangnya, "Lo kenapa sih, No? Takut gue marah atau jadi ill-feel gara-gara apa pun yang mau lo sampein itu? Itu mah urusan nanti!"
Enteng sekali dia berkata begitu. Justru aku sengaja mempertimbangkan dengan hati-hati segala tindakanku agar konsekuensi yang akan timbul di masa depan tak akan merugikanku.
"Apa sih lo. Enggak je―"
"Gua suka sama lo." Seseorang tolong panggil ambulans. Sepertinya aku akan kena serangan jantung.
Aku memberanikan diri untuk menatap kedua matanya. Pandangan kami saling mengunci. Dari kedua bola mata yang indah itu, aku bisa melihat sebuah perasaan yang... campur aduk. Keheranan, bercampur dengan kebingungan dan dibumbui dengan sedikit kemarahan dan kesedihan. Itu hanya tebakanku, sih, berdasarkan dari ekspresi yang ditunjukkan wajahnya.
"Gua suka sama lo, Ca," ujarku lagi dengan mata yang basah. "I love you. I really do."
"Sejak kapan?" tanyanya. Wajahnya seakan terkunci pada satu raut muka yang sama.
"Sejak pertama kali kita sekelas di kelas sepuluh. Since we first became friends," jelasku. Kali ini dia yang terdiam. Tercenung, lebih tepatnya.
See? Inilah yang kutakutkan sejak awal. Inilah yang membuatku selalu memendam perasaanku darinya. Aku takut akan respons yang buruk darinya. Dan dengan dirinya yang sampai terdiam seperti ini... Uff.
"Terus tadi itu apa? Lo sama Sofia? Gue― gue kira lo sama dia udah pacaran dari lama gila!" katanya. Sekarang aku yang bingung harus berkata apa.
"Tadi itu cuma refleks, Ca." This is gonna be bad.
"What?! Ref―" Kalimat itu terpotong suara nada dering dari ponselku. Interupsi itu menciptakan kecanggungan di antara kami berdua.
Aku mengeluarkan ponselku dari dalam kantong, lalu menerima panggilan itu. Sial, aku bahkan lupa untuk mengecek caller ID-nya.
"Halo, No," sapanya dari seberang sambungan.
"Ya, Jon. Kenapa?" balasku sambil berusaha mengendalikan suaraku yang pecah.
"Gimana yang gue bilang kemarin?" Anak ini sudah baca berita belum, sih?
Aku berdeham. Selain suaraku, aku juga harus mengendalikan emosiku. Tak mungkin aku akan marah-marah di depan Ica. Iya, kan?
"Sori, Jon. Gua enggak bisa tolong deh, kayaknya. Gua lagi ada yang mesti gua kerjain dulu. Takutnya malah enggak kepegang. Sori, ya." Aku langsung menutup panggilan, meski Jonas hendak membalas perkataanku barusan.
"Itu siapa?" tembak Ica yang masih berdiri di tempat yang sama.
"Jonas," jawabku.
"Jonas yang mana?"
"Bocahnya Hakan, lah. Yang mana lagi?"
Lalu kembali hening. Ica seperti sibuk dengan pikirannya. Entah apa yang sedang ia pikirkan sampai sebegitunya. Setelah dua menit saling diam, cewek itu kembali balik badan lalu berjalan meninggalkanku. Sendirian. Kebingungan. Tanpa jawaban. Tanpa kepastian.
Lalu ponselku kembali berdering. Aku sampai melompat kaget. Aku lupa kalau tangan kananku masih menggenggam ponsel itu. Jempolku segera menekan tombol terima, lalu ponsel itu kudekatkan ke telinga.
"Noah, lo di mana, deh?" tanya Sofia tanpa basa-basi.
Oke, sekarang aku mulai khawatir. "Di taman rumah sakit. Emangnya kenapa?"
"Ini, polisi mau minta keterangan dari lo. Gue bilang ke mereka kalo lo juga lihat kejadiannya. Ditungguin di ruang tunggu ya, No," terangnya. Aku bisa merasakan rasa panik dari caranya bicara.
Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, aku kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit. Namun ketika aku melangkah masuk ke dalam ruang tunggu, Ica tak ada lagi di sana. Yang ada hanya Sofia, ibunya Mikail, dan dua orang pria berseragam cokelat khas kepolisian.
Inikah akhirnya? Perjalanan asmaraku kandas hanya karena sebuah buku diari sialan dan sebuah pelukan bodoh?
Uploaded by RS on 10/21 at 11.41 PM Local Time
***
Sampai jumpa Senin depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top