26 | Zebra Cross

"No." Panggilan itu membuyarkan fokusku pada soal latihan yang sedang kukerjakan. Aku menoleh pada orang yang menyapa. Oh, hai Gibran.

"Ya?" balasku.

"Gua boleh minta tolong ajarin yang nomor tiga, enggak? Gua masih gak paham nih yang soal invers matriks," pintanya.

"Oh, boleh kok," aku menunjuk ke kursi kosong di sampingku, "Sini duduk."

Cowok itu menari kursi yang kutunjuk mendekatiku, lalu duduk di atasnya. Ia lalu meletakkan buku tulis dan buku paketnya di mejaku. Setelah itu aku mulai menjelaskan padanya cara mengerjakan soal yang ia tanyakan.

"Paham kan, caranya?" tanyaku. "Dua kolom dari kiri lu ambil, lu taro di kanan, habis itu lu kali silang gitu."

"Ooh, oke. Bentar dah No, gua coba dulu," katanya. Ia pun mulai menuliskan angka-angka di buku tulisnya, mempraktikkan apa yang telah kuajarkan tadi.

Tunggu. Kalau tak salah, cowok ini dulunya bergabung dengan salah satu dari kedua geng itu. Bisa, dong, kalau aku menggali informasi soal geng-geng itu darinya? Hitung-hitung untuk memuaskan rasa penasaranku dengan kata-kata Putri kemarin.

"Eh Gib, gua mau tanya, dah," panggilku. Ia menggumam, masih fokus pada soal yang ia kerjakan.

Akhirnya aku meberanikan diri untuk bertanya, "Emangnya separah apa, sih, konflik geng di sekolah kita?"

Cowok jangkung itu langsung berhenti mengerjakan latihan soalnya. Ia menegakkan punggungnya, lantas menoleh padaku.

"Serius lu enggak tahu?" katanya sambil menahan tawanya. Aku menggeleng polos.

"Enggak, bukan gitu maksud gua. Soal dua geng yang saling berlawanan itu mah gua udah tahu. Yang pengen gua tahu soal sampe separah apa konfliknya?" ralatku.

"Ooh," ia menggumam, "Kalo parahnya sih enggak sampe baku hantam kayak sekolah-sekolah lain. Kalo dari yang gua perhatiin nih, dua geng itu lebih ke berebut pengaruh lewat 'cara halus', sih. Lu enggak tahu, awalnya gua pengen jadi ketua kelas ini gara-gara gua ikut geng?"

Kedua mataku membulat, begitu juga dengan mulutku. Oh?

Aku menggeleng. "Ya, sekarang gua tahu."

"Alasan Pak Robert sampe ngubah sistem MPK sama OSIS di sekolah kita juga karena konflik antar kedua geng itu, No," lanjutnya lagi.

"Serius?"

"Gitu sih rumornya." Oh, ternyata itu alasannya kenapa kinerja MPK dan OSIS tahun ini sangat buruk.

"Oh, tunggu. Biar gua tebak," potongku sebelum ia sempat melanjutkan omongannya. "Lo keluar dari MPK karena lo keluar dari salah satu geng itu?"

Giliran dia yang bertanya, "Kok lu tahu gua pernah jadi anak geng?"

"Surat suaranya, lah," jawabku sambil tertawa kecil.

"Oh iya," tanggapnya sambil lalu. Ia kembali menundukkan badannya, kembali fokus pada soal-soal yang sedang dikerjakannya.

Aku lanjut bertanya, "Sebenernya, awalnya bisa ada geng-gengan di sini tuh gara-gara apa, sih? Heran aja gua, sekolah kayak gini bisa ada geng-gengan kayak gitu."

"Itu kalo diceritain bakalan panjang sih, No," jawabnya tanpa beralih dari buku tulisnya.

"Enggak apa-apa, lah. Ceritain aja dikit," paksaku.

"Jadi awalnya, ada satu komunitas anak―"

"Noah, Gibran, sudah selesai belum mengerjakannya?" Suara Bu Ida menggelegar bagai petir di siang bolong.

"Dikit lagi nih, bu. Sabar bentar ya, bu!" balas Gibran. Baiklah, sepertinya ini pertanda bagiku untuk terus mengerjakan latihan soalku. Tinggal dua nomor lagi, sih.

"Eh, No," panggil Gibran.

"Ya?"

"Gua denger dari Mister, katanya sekolah kita mau ngajuin buat pakai IB," jelasnya. Untuk yang belum tahu, IB adalah singkatan dari International Baccalaureate. Itu adalah sebuah kurikulum pendidikan yang disediakan oleh lembaga yang bernama sama di Swiss.

Aku menjatuhkan pulpenku, lalu menoleh padanya. "Serius?"

"Baru katanya," tegasnya.

"Ooh," balasku. Seingatku waktu itu Pak Robert menggembar-gemborkan soal pembuatan kurikulum sendiri? Lagi pula, akan jadi semahal apa bayarannya kalau sekolah ini menggunakan kurikulum IB?

"Coy, ajarin lagi dong. Nomor delapan," pintanya.

"Oh? Oke, bentar." Aku lebih dulu menyelesaikan nomor sepuluh pada soal latihanku, lalu lanjut mengajarinya.

***

"Terima kasih ibu ucapkan buat kalian yang udah ngumpulin hari ini. Buat yang masih belom ngumpulin, ibu tunggu sampai besok, ya. Kelas ibu tutup, silakan berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya," ujar Bu Ida panjang lebar. Setelah itu, kami dipersilakan meninggalkan kelas. Jam makan siang.

Aku keluar dari dalam kelas, menuju koridor yang ramainya seperti pasar kaget di hari Minggu pagi. Aku berusaha keras menavigasi lorong itu. Tak bisa kuhitung lagi berapa kali bahuku bertabrakan dengan badan orang lain. Ya ampun, harusnya sekolah ini membangun gedung A2 atau apa pun itu caranya supaya koridor ini tak begitu sesak setiap kali ber berbunyi.

"No!" Kakiku seakan direm oleh panggilan itu. Aku menoleh ke belakang. Mataku memindai semua wajah yang melintas.

"No!" Lalu terdengar suara bruk yang lumayan keras. Insting yang muncul adalah berjalan mendekat ke arah suara itu. Pun bisa kulihat orang-orang mulai mengerubungi apa pun yang menyebabkan suara benturan itu.

Lalu seorang gadis menyeruak keluar dari dalam tirai manusia itu. Gawat. Kakiku mengerem, putar balik, lalu melangkah lebih cepat.

"No!" panggilnya lagi. Langkahku makin cepat. Ya Tuhan, kenapa harus bertemu dengannya di sini, sih?

"No!" Aku sampai di ujung lorong yang membawaku ke atrium gedung. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, aku berbaur dengan kerumunan.

Aku berjalan mengikuti sekelompok anak yang asyik membicarakan soal sparring basket antarsekolah. Aku tak peduli jika mereka tiba-tiba mengajakku bicara. Yang penting aku bisa terhindar dari gadis itu dulu.

Sial. Mereka berjalan ke arah lapangan olahraga. Aku memisahkan diri dari mereka dan berjalan ke arah yang sebaliknya. Sambil celingukan, aku berjalan menuju kantin. Setelah merasa aman, aku menurunkan kewaspadaanku. Lalu aku mengalihkan tenaga berpikirku untuk fokus memikirkan makanan apa yang akan kumakan siang ini.

Makan nasi goreng saja, deh.

Setelah membeli nasi goreng delapan ribu Rupiah itu, aku duduk di salah satu bangku yang kosong. Tak peduli siapa orang yang akan mendaratkan pantatnya di tempat duduk sekelilingku. Aku memasang earbuds di telingaku, memutar lagu, lalu mulai menyantap makananku.

Selamat makan, Noah!

Pada permulaan lagu kedua, aku mendengar suara piring mendarat di meja. Aku mengangkat kepalaku. Cewek itu mengatakan sesuatu.

"Hah?" balasku seraya melepas earbuds dari telinga.

"Di sini kosong?" ulangnya.

"Ooh, kosong, kok." Cewek itu meng-oke-kan kata-kataku, lantas menyantap batagor di piringnya. Oh iya, dia Sofia. Yang tadi mengejarku adalah Ica. Semua ini terjadi seakan seluruh hidupku hanya berputar di sekitar orang-orang itu. Ya, meski ada benarnya benar, sih.

"Mikel di mana, No? Tumben lo makan sendirian," tanyanya sambil lalu. Basa-basi busuk.

Aku mendengus, "Kayak lo enggak tahu aja."

Ia mengedikkan bahu. "Siapa tahu kalian udah balikan."

"Lo kira gua pacaran sama dia?" Nadaku mulai menanjak. Chill, Noah.

"Santai, No," Ia terkekeh, "Maksud gue, lo berdua belum baikan?"

Rahangku mengeras. Nasi goreng di dalam mulutku kubiarkan begitu saja, bereaksi dengan enzim ptialin dari air liur tanpa bantuan kunyahan gigiku.

"Waktu Senin sore kemarin, dia hampir mukul Putri," ungkapku. Aku melihat ke arah lain seiring dengan lunturnya selera makanku.

"Serius?" Alisnya menukik. "Dia enggak cerita apa-apa ke gue, sih."

"Ya, mungkin aja masih ada banyak hal yang temen lo itu sembunyiin dari lo," balasku getir. Aku meloloskan udara dari dalam paru-paruku.

"Belom, kita belom baikan," lanjutku. "Tahu, gak? Gua malah mikir kalo keputusan gua buat ngebantuin Mikel selama ini salah."

"Kenapa?"

"Semakin gua gali, semakin jelas kalo dia yang salah."

"Emangnya enggak bisa, gitu, dirujuk lagi kayak waktu di taman waktu itu?"

"Kalo lo belum tahu, Putri kepengen balikan lagi sama Mikel itu kayak terpaksa, tahu." Aku memainkan nasi goreng di piringku dengan sendok. Akhirnya kutelan juga gumpalan nasi yang ada dalam mulutku.

"Oh iya?" Sepertinya Putri berbohong padanya.

"Emangnya dia bilang apa ke lo soal mereka balikan?" tanyaku.

"Dia balikan karena Mikel janji mau ngubah dirinya," jelasnya singkat. Oh, enggak, deng. Putri jujur soal hal itu. Lagi pula, ia sendiri kan yang meminta syarat itu?

"Ooh," balasku singkat. Aku melirik ke arah kananku. Lalu aku melihat Ica, berdiri seperti patung dengan sepiring nasi ayam kremes di tangannya. Beruntung aku memakai kacamataku. Jika tidak, bisa jadi ia sudah menghampiriku tanpa aku menyadarinya. Oh iya, aku mengatakan kalimat terakhir itu karena sekarang ia sedang melangkah ke arahku.

Aku bangkit dari tempat dudukku. "Sof, nitip makanan gua bentar, ya."

"Loh, lo mau ke mana?" Ia tampak kebingungan dengan tingkahku.

"Gua mules," balasku singkat. Aku lalu berjalan cepat, membelah padatnya lalu lintas kantin dengan mudahnya. Here we go again.

Sesekali aku menoleh belakang. Gadis itu makin mempersempit jaraknya denganku. Bagaimana ini? Aku tak ingin berhadapan dulu dengannya. Setidaknya untuk saat ini. Bayang-bayang akan kejadian di kelas Bahasa Indonesia waktu itu terus menghantuiku.

Selagi aku menoleh ke belakang, aku bertabrakan dengan sesuatu yang besar.

"Eh, sori sori," ucapku spontan. Aku menoleh ke depan.

"No no no. I should apologize to you," balas cowok yang kutabrak itu. Ya ampun, sepertinya sudah lama sekali aku tak melihat wajah blasteran yang satu ini. Sekejap kemudian, sebuah ide masuk ke dalam kepalaku.

"Omar, I need your help." Aku tak menunggunya menjawab. "If Ica asks you about me, tell her I'm going to the library. Got it?"

Ia membeku di tempat. Sepertinya ia sedang memproses apa yang baru saja kuucapkan. Ayolah, aku tak punya waktu untuk ini.

"Noah!" Fuck it. Aku lanjut berjalan cepat, meninggalkan Omar yang masih membatu di tempat.

"Oh, by the way it's Thor!" Iya, bacot!

Aku baru berjalan beberapa langkah ketika sebuah telapak tangan mendarat di pundakku. Sekujur badanku merinding.

"Noah! Gue cariin dari tadi lo kenapa kabur mulu sih dari gue?!" Aku hanya bisa membatu begitu disemprot seperti itu. Cewek itu berjalan mengitariku, lalu berhenti di depan mukaku.

"Lo bikin rencana sama Sofia buat mempertemukan Mikail sama Putri? Kok lo enggak ngelibatin gue sih, No? Kan selama ini gue juga punya peran, No, ngebantuin lo dari awal," omelnya tanpa menungguku membalas perkataannya sebelumnya.

Satu-satunya yang bisa mulut sialanku ini katakan hanyalah, "Sori."

Tentu saja ia berang mendengar jawabanku itu.

"Lo― Gila, lo. Lo seminggu lebih ngejauhin gue terus cuma bilang sori?" Ya, gue enggak tahu gimana cara ngasih tahunya! "Terus enggak ngajak gue buat bikin rencana padahal gue dari awal udah bantuin lo. Salah gue apa sih sama lo, No?"

"Ya―" Tenggorokanku tercekat.

"Ya?"

"Masalahnya―"

"Apa gara-gara kejadian Senin lalu? Hah?" tembaknya. Iya, bener. Gara-gara itu.

Namun aku hanya tertunduk diam. Sulit sekali untuk sekadar membuka mulut. Seakan mulutku sudah direkatkan dengan lem pipa. Sikap diamku itu semakin menyulut kemarahan Ica.

"Lo itu bisu apa gimana sih, No? Kalo emang bener gara-gara kejadian itu, kan bisa diselesaikan baik-baik. Lo enggak perlu pake drama kayak gini. Nyebelin, tahu enggak, sih?"

Lagi-lagi aku hanya diam, tak tahu harus menjawab apa.

Ica mendengus sebal, "Ya udah, terserah lo, dah. Capek gue ngomong sama tembok."

Ia lalu berjalan pergi. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah berdiri mematung sambil melihat punggungnya berjalan menjauh. Atau aku bisa kembali ke kantin dan menyantap nasi gorengku. Semoga piringnya belum diangkut petugas kebersihan.

***

Ting!

Sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Suaranya mengganggu sound video TikTok yang sedang kutonton. Notifikasi dari WhatsApp, lebih tepatnya. Begitu melihat nama pengirimnya, aku segera membuka notifikasi itu.

Jadi, kan? Begitu bunyi pesannya.

Aku punmembalas pesan itu.

Dih, enggak jelas.

Aku mendiamkan pesan itu, lalu beralih ke chat room Mikail. Di mana sih, dia? Padahal harusnya saat ini kami berdua sudah berangkat menuju minimarket di dekat sekolahku itu. Aku hendak mengirim pesan pada Mikail, tapi ternyata cowok itu sudah lebih dulu menghampiriku.

"Sori gua telat!" katanya. "Lu udah enggak marah sama gua, kan?"

Aku membalasnya dengan gumaman. Biarkan saja dia sendiri yang menerjemahkannya sesuka hatinya. Aku sudah tak peduli.

Aku beranjak dari tempat dudukku. "Ayo, Mik."

"Loh, mau ke mana? Maaf-maafannya bukan di sini?" tanyanya.

"Bukan, di minimarket deket sekolah," balasku dingin. Sebenarnya aku masih sebal dengan semua yang ia lakukan. Namun kali ini aku mesti menyisihkan perasaan itu lebih dulu. Penyelesaian kisah cinta anak yang satu ini lebih penting daripada egoku. Bukannya aku tak mementingkan diriku sendiri, tapi aku juga ingin melihat ending-nya, tahu.

Dalam hening, kami berdua berjalan beriringan menuju minimarket itu. Tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut kami. Baguslah, aku bisa menghemat tenagaku untuk menyaksikan drama yang akan terjadi dalam waktu sepuluh menit ke depan.

Dari sepuluh menit itu, lima menitnya dihabiskan untukku dan Mikail berjalan ke tempat pertemuan. Sesampainya kami di sana, kami disambut oleh senyuman hangat Sofia dan tatapan tajam Putri.

"Sof? Lo ngajak gue ke sini cuma supaya gue bisa ketemu sama anak ini lagi?" Aku sudah menduga kalau hal ini akan terjadi.

"Put, si Mikel cuma mau minta maaf sama lo. Dia cuma ngarepin maaf dari lo doang, kok," balas Sofia, berusaha menenangkan sahabatnya itu.

"Gua juga pengen balikan lagi sama lu, Put." Aku berdecak kesal mendengar omongan Mikail itu. Terlintas di benakku pikiran untuk menutup mulutnya dengan lakban agar ia tak mengatakan hal-hal aneh dulu.

"Lo mikir, dong. Setelah semua yang lo lakukan ke gue, bahkan lo masih punya muka buat nemuin gue secara langsung?" Dialog itu diucapkan Putri dengan suara yang rendah, tapi tajam. Paham kan, maksudku?

"Ya, kamu aja waktu itu enggak jelas kenapa mau mutusin aku. Di bagian mana aku harus jadi malu?" Sumpah, balasan itu sama sekali tak membantu. Yang ada hanya menyiram bensin di api kemarahan Putri.

"SEMUA!" sergahnya. "Lo harusnya malu, tahu enggak, sama diri lo. Bisa-bisanya lo nyalahin orang lain, padahal kesalahannya ada di diri lo sendiri. Kek, bisa enggak sih lo berhenti nyalahin orang lain atas kesalahan yang lo sendiri buat? Hah?"

YAS QUEEN!

"Kesalahanku di mana, sekarang kutanya? Kamu cuma bisa bilang aku emotionally absent, lah, bla bla bla, padahal semua itu udah bisa kubuktiin kalo itu salah. Please lah, Put. Kamu enggak usah drama banget kalo jadi cewek." Aku melirik tajam pada Mikail. Cowok ini...

"Ya Tuhan! Harusnya lo yang introspeksi diri! Lo tuh―" Putri berdecak. Lidahnya seakan kelu untuk mengucapkan lanjutan kalimatnya. Ia hanya bisa berdiri, terpaku pada mantan cowoknya ini dengan mata yang mulai berair.

"I'm fucking done with you guys," ucapnya. Ia lalu berjalan menyeberangi jalan raya yang ramai. Beruntung tak jauh dari minimarket ini ada marka penyeberangan dengan lampu merah. Jaraknya sekitar sepuluh meter berjalan kembali ke arah sekolah.

Kebetulan ada orang lain dari seberang jalan yang juga menggunakan penyeberangan itu. Jadi Putri dapat menyeberang dengan mudah. Dan seperti yang wajarnya seseorang lakukan ketika pacarnya baru saja meninggalkannya, Mikail berusaha mengejarnya. Aku pun berjalan menyusulnya, khawatir cowok itu akan membuat kekacauan lain.

Aku menahan tangannya ketika ia hendak menyeberang.

"Mik, tunggu dulu. Pencet tombol dulu!" ucapku. Tanganku yang lain menekan tombol lampu merah yang menempel pada tiang. Aku menoleh ke arah minimarket itu. Ah, Sofia akhirnya menghampiri kami juga.

Namun seketika wajahnya berubah pucat. Kedua matanya membulat. Lalu seperti rahangnya yang jatuh membuka, kejadian-kejadian berikutnya terjadi dengan cepat.

"MIKAIL, AWAS!" serunya dengan segenap udara yang dikandung paru-parunya. Tak ada sedetik berselang, telingaku menangkap suara hantaman yang cukup keras. Kepalaku menoleh kembali ke arah Mikail, lalu...

"Oh mygood Lord. MIKEL!" Aku berlari sekuat tenagaku, menghampiri Mikail yangterkapar di tengah jalan raya bersimbah darah.

***

Selamat tahun baru! Kuharap di tahun ini kita semua jadi pribadi yang lebih baik dan meraih apa yang kita inginkan/impikan/cita-citakan. Amin. Oh iya, sudah pada buat resolusi, belum?

So, ini update-an pertamaku di tahun 2022. Mari kita buka tahun 2022 ini dengan... Mikel yang ngalamin kecelakaan lalu lintas. Uf, not a good way to start this year, hahaha.

Sampai jumpa hari Kamis!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top