23 | Trust Issue
Hari berganti pagi, tak peduli aku cukup tidur atau tidak. Aku tak dapat tidur nyenyak semalam. Tidur sepuluh menit, bangun lagi. Setengah jam, bangun lagi. Begitu terus sampai aku akhirnya menyerah untuk tidur dan lanjut menonton film di laptopku. Itu pukul empat pagi.
Aku mengecek arlojiku. Pukul 07.13. Aku turun dari bus sekolahku dengan tergesa-gesa. Berkali-kali aku mengucapkan "permisi" untuk mendahului orang-orang yang menghalangi jalanku. Pagi ini aku ingin mendengar langsung dari Mikail soal apa yang terjadi padanya kemarin. Sebaiknya dia punya penjelasan yang bagus atas kekhawatiran yang ia ciptakan.
Aku masuk ke dalam Gedung A. Kakiku melangkah cepat memecah kerumunan seperti pisau panas memotong mentega. Aku menapaki tangga dengan melongkap satu anak tangga setiap kali melangkah.
"Whoa, chill dude. It's seven in the morning!" seru seorang lelaki yang tak sengaja kutabrak saat berjalan di koridor lantai dua. Whoa, santai bung. Masih jam tujuh pagi!
"Sorry!" balasku sambil terus berjalan.
Begitu mencapai lokerku, dengan cekatan aku mengemas buku-buku pelajaranku di dalam tas jinjing. Aku menutup loker, menguncinya, lalu berjalan mencari Mikail.
"Ada yang lihat Mikail, enggak?" tanyaku sesampainya di kelas homebase-nya. Semua anak yang ada di situ menggeleng hampir serempak. Agak mengerikan juga kalau dipikir-pikir.
Aku berterima kasih pada mereka, lalu keluar dari kelas itu. Di depan pintu kelas, aku membuka ponselku dan mengirim belasan pesan padanya. Sial. Pesanku tak ada yang dibaca. Kelihatannya ia pun juga sedang tak memegang ponselnya.
Aku mengacak-acak rambutku, frustrasi. Ke mana sih anak ini saat sedang dibutuhkan? Ah, sial. Bel jam pertama sudah berbunyi. Koridor yang sudah ramai itu pun jadi tambah sesak dengan orang-orang yang berpindah ruangan. Dan di sinilah aku, berdiri seperti patung Sudirman di tengah padatnya lalu lintas pejalan kaki.
Oh, akhirnya dia membalas juga.
Kenapa, No? Nanti aja dah di kelasnya Pak Ruslan biar sekalian ketemu.
Oh? Baiklah kalau begitu. Aku pun berjalan masuk ke kelas pertamaku pagi ini dengan hati yang gelisah.
***
"Woi, No!"
Aku menoleh pada sumber suara, lalu melambaikan tangan.
"Yo!" balasku. Cowok itu berhenti di hadapanku.
"Lo lama banget dah? Dari tadi gua tungguin baru sekarang lu nongolnya," kataku setengah menggerutu. Cowok itu―Mikail―hanya tertawa kecil tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
"Ya udah lu kenapa tadi manggil-manggil gua di chat?" tanyanya.
Aku menjawabnya dengan pertanyaan, "Lo kemarin gimana ceritanya bisa ditahan di kantor polisi?"
Air mukanya berubah. Seakan ia sangat terganggu dengan pertanyaan itu. Tapi, ayolah! Kenapa sepertinya semua orang punya sesuatu untuk disembunyikan dariku?
Mikail menarik napas, lalu memulai ceritanya.
"Lu inget waktu kemarin gua bilang kalo Putri lagi deket sama temen SMP-nya?"
Aku mengangguk. "Iya. Lo denger itu dari Sofia, kan?"
"He-em. Terus sorenya gua samperin dia ke sekolahnya sekarang. Tahu enggak? Ternyata sekolahnya di SMA sebelah. Sumpah, No, gua niatnya mau ngomong baik-baik doang sama dia! Dia malah tiba-tiba kasar sama gua. Ya udah gua kasarin balik dia, lah! Emangnya salah kalo gua mempertahanin diri gua sendiri? Kagak kan?" tuturnya berapi-api. Maksudku, santai, bro. Gua juga belom nyalahin siapa-siapa.
Aku mengangguk paham. "Emangnya, siapa nama anaknya?"
"Anak yang mana?"
"Yang lo datengin kemarin sore, lah!"
"Santai aja, gila. Gua juga kagak sampe babak belur kayak lu waktu itu." Jawaban itu mengundang tatapan tajam dariku.
"Adi," ungkapnya, mengalah. "Lu apal kan, namanya? Kalo lu salah orang gua kagak tanggung jawab, ya."
Aku mendengus kesal. "Iya, namanya Adi. Ayo ah masuk."
Anak SMA di dekat sini, ya? Sepertinya aku tahu orang yang jaringannya cukup luas yang bisa membantuku soal hal ini.
"Lagi ngapain, lu?" Mikail menjulurkan kepalanya, hendak mengintip isi ponselku. Aku menarik ponseku agar ia tak bisa melihat apa yang sedang kulakukan.
"Apaan sih, lu?" Aku lalu mendorong kepalanya kembali ke tempatnya. Cowok itu tertawa melihat reaksiku.
"Gitu ah, lu. Gak asyik!" katanya pura-pura ngambek. Aku menoyor kepalanya. Omong-omong, kami duduk bersebelahan.
"Kayak lo gak punya rahasia aja, Mik," balasku. Ia kembali tertawa.
"Iya dah, suka-suka lu," balasnya.
Aku tak membalasnya lagi. Aku pun kembali fokus pada pesan yang sedang kuketik di layar ponselku.
Kan, lo ada kenalan anak SMA sebelah gak?
Aku berhenti sesaat sebelum menekan tombol kirim. Rasa ragu merayap masuk ke dalam kepalaku. Sebetulnya aku sudah malas berurusan dengan anak itu lagi. Kirim tidak, ya? Ah, tak apa, lah. Kuanggap saja ini pengorbanan terakhirku untuk menyelesaikan masalah ini. Aku menekan tombol kirim. Tak lama kemudian dia membalas pesanku.
Aku terkejut ketika melihat anak itu jadi sedikit lebih tidak menyebalkan dari biasanya. Maksudku, menilai dari pesan-pesan yang dikirimkan selama mengobrol denganku.
Omong-omong, ternyata Hakan tak punya kenalan dengan anak yang satu sekolah dengan Adi. Mengejutkan, mengingat ketenarannya. Namun ia memberitahuku kalau Jonas―temannya yang waktu itu menyapaku saat pertunjukan teater―mungkin punya kenalan di situ. Aku meminta kontak Jonas pada Hakan, lalu menghubunginya saat kelas berakhir.
Dan... bingo. Cowok yang baru kukenal kurang lebih duaminggu itu memberikanku sebuah kontak. Bagas namanya. Aku langsungmenghubunginya untuk menanyakan soal kejadian kemarin sore.
Tak lama kemudian, ia mengirimkan video itu. Lalu aku berpikir. Jika pertengkaran mereka direkam seperti itu, maka bukan tak mungkin kalau pihak kedua sekolah akan cepat mengetahui soal ini. Terlebih lagi Mikail―dan mungkin Adi, siapa pun dia―ditahan di kantor polisi.
Atau, setidaknya kabar soal pertengkaran itu sudah tersebar di kalangan siswa kedua sekolah. Ah, tapi sampai saat ini masih tak ada yang membicarakan soal itu. Bahkan anak-anak yang pergaulannya luas seperti Jonas dan Hakan pun seperti tenang-tenang saja saat aku meminta kontak salah satu anak dari sekolah itu.
Itu sepengetahuanku, sih. Entah bagaimana keadaan sebenarnya. Tak mungkin juga aku mengenal semua anak di sekolah ini, iya kan?
Sebelum aku memutar video itu, aku bertanya lagi pada Bagas soal siapa yang merekamnya.
Temen gua yang rekam, katanya. Baiklah, jadi kemungkinan besar dugaanku benar soal kabar pertengkaran itu tersebar. Setidaknya di sekolahnya. Tinggal masalah waktu sampai kabarnya ramai di sekolahku.
Aku memutar. Mau tahu isinya? Hanya Mikail dan seorang cowok―yang kuanggap dia adalah Adi―saling meneriaki satu sama lain. Situasinya kurang lebih mirip saat Mikail bertengkar dengan Hakan waktu itu.
Ada satu detail yang membuktikan klaim Mikail soal siapa yang memulai pertengkaran ini. Kalau kuperhatikan, Adi-lah yang pertama kali "main tangan" dengan mendorong-dorong dada Mikail. Sahabatku itu pun kesal dengan perlakuan Adi, dan... terjadilah semua kejadian yang membawaku pada titik ini.
Namununtuk memastikan, aku kembali menghubungi Bagas. Aku bertanya padanya tentangsiapa yang lebih dulu membuat bincang-bincang itu jadi panas.
Yah, dia pun tak pasti juga soal itu. Aku sudah mengetik beberapa kalimat pertanyaan ketika Bagas mengirimkan sebuah kontak padaku.
Nih tanya dia langsung aja, katanya. Baiklah kalau begitu. Aku berterima kasih padanya, lalu lanjut menghubungi anak itu. Dan... anak itu mengajakku untuk bertemu langsung denganku. Sore ini, untuk menjelaskan semuanya.
Jadi kuiyakan saja dia.
***
Satu hal yang kusadari ketika melangkah masuk ke dalam toko roti Mama adalah dering bel pintu. Seingatku terakhir kali aku masuk ke sini―kemarin―tak pernah terdengar suara yang seperti itu.
"Pasang bel, Ma?" tanyaku.
"Iya, tadi dipasangin sama Kak Robi," balas Mama, tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari mesin kasir. Sepertinya ia sedang sibuk menghitung uang selagi tak ada pelanggan.
"Sana No, tolong bantuin Mbak Astrid cuci piring!" titahnya.
Aku menggeleng. "Nanti ya, Ma. Aku ada janjian sama temenku di sini."
"Si Michael itu?" Entah kenapa akhir-akhir ini Mama senang sekali menyebut nama Mikail jadi Michael. Apa mungkin karena beliau menemukan CD Michael Jackson lamanya, ya?
Aku kembali menggeleng. "Bukan sih, Ma."
Kali ini aku mendapat perhatian beliau. "Loh. Terus siapa?"
Ah, Mama ini. Seperti temanku di sekolah hanya Mikail saja.
"Baru kenal sih, Ma."
Sekarang tangan beliau berhenti menghitung lembaran uang. "Kenal dari mana?"
"Dikenalin sama temenku kok, Ma. Bukan dari internet," aku tersenyum paksa, "Lagian kalo dari internet juga pasti bakalan kuajak ke sini kok, Ma. Biar Mama bisa yakin kalo aku aman."
"Oh, nyindir Mama, nih?" Waduh.
Aku tertawa canggung. "Enggak kok, Ma. Kan Mama sendiri yang pernah bilang gitu."
"Oh, pernah ya? Mama sendiri malah lupa. Mungkin udah umur atau gimana lah, Mama juga enggak peduli." Beliau menoleh kembali pada uang di tangannya. "Kapan dia mau ke sini?"
"Sebentar lagi sih harus―"
Bel pintu kembali berdering. Aku menoleh ke arah pintu. Seorang cowok berdiri di ambang pintu, membeku. Ia melempar pandangan padaku dan Mama yang juga melihat padanya.
"Em... Lu Noah?"
Pertanyaan itu membuatku tersentak, entah kenapa.
"Iya, gua Noah. Lo Diaz?" Aku refleks menjabat tangannya.
"Iya, gua Diaz," balasnya.
"Em... duduk dulu sini," ujarku setelah lima detik keheningan yang canggung. Kami berdua duduk di sebuah kursi dekat pintu masuk.
"Jadi," Ia menghela napas, "lu mau denger soal kejadian yang kemarin? Si Adi berantem sama anak sekolah lu itu?"
Aku mengangguk pasti. "Iya."
"Tapi kepentingan lu apa buat denger langsung dari gua?" Pertanyaannya membuatku menyesali semua ini. Sejenak terpikir olehku, tunggu saja sampai viral biar aku tak usah repot-repot menanyai anak ini.
"Gua temennya bocah yang berantem sama Adi. Oh iya, nama dia Mikail," terangku. "Gua gak pengen macem-macem sih, gua cuma jadi semacam... 'pembimbing' dia gitu, lah."
"Ooh. Mentor?" Aku sampai harus menggigit mulutku agar tak menyembur tertawa.
"Ya, bisa dibilang gitu, lah," balasku.
"Jadi ceritanya gini..." Ia memulai ceritanya. Biar kurangkumkan ceritanya untuk kalian.
Kejadian itu terjadi di sebuah tempat yang tak jauh dari sekolahnya. Mikail datang dan menanyakan pada semua orang yang ditemuinya tentang keberadaan Adi. Kebetulan cowok yang dimaksud sedang ada di dekat itu. Salah satu siswa yang kebetulan ditanyai Mikel pun memanggil Adi. Adi mendatangi mereka berdua.
Lalu Mikail mulai mengajak Adi bicara. Saat itu terjadi, Diaz sedang berdiri di pinggir jalan sambil menunggu teman-temannya yang lain. Berpikir kalau percakapan itu akan jadi sesuatu yang menarik, Diaz pun mengamati bagaimana percakapan itu terjadi.
Dan... Mikail berbohong.
Bukan Adi yang memulai pertengkaran itu. Tapi Mikail. Sahabatkulah yang mulai bicara dengan kasar pada cowok yang kebetulan dekat dengan (mantan) pacarnya itu. Maksudku, menjadi "dekat" tak melulu berarti saling tertarik secara romantis satu sama lain, kan?
Selanjutnya, penjelasannya sebagian besar sama dengan video yang dikirimkan Bagas siang tadi. Mau tahu kenapa? Karena cowok di hadapanku inilah yang merekamnya dengan ponselnya sendiri.
"Ooh, gitu..." ujarku sambil manggut-manggut. "Tapi, gua bisa percaya sama lo, kan?"
Ia terkekeh sambil mengangguk. "Iya. Ngapain juga gua bohong sama lu? Lu tadi juga udah bilang kalo lu gak ada urusan lagi sama Adi. Iya, kan?"
Aku mengangguk. "Makasih ya, Di."
"Yo, sama-sama," balasnya. Ia menyobek roti cokelat yang kubelikan, lalu memasukkannya ke dalam mulut. "Rotinya enak bat."
Aku terkekeh mendengar pujian itu. "Yoi lah, resepnya emak gua!"
Kami lanjut berbincang selama beberapa saat. Ketika terjadi keheningan panjang, aku tahu kami sudah kehabisan topik. Seakan membaca pikiranku, ia pun pamit padaku dan Mama dan beranjak pergi dari toko roti.
Aku mengamati cowok itu saat ia membuka pintu toko roti, lalu berjalan keluar. Meski dia sudah hilang dari pandangan, aku tetap berdiri di posisi yang sama. Tidak, aku tak seperti istri dari seorang pelaut yang melihat kapal suaminya perlahan menjauh dari dek sambil melambai.
Namun saat ini aku lebih seperti seorang penulis yang baru saja mendapat ilham dari kejadian yang terjadi di sekitarnya. Pikiranku melayang ke mana-mana. Jika Mikel berbohong soal hal ini, berapa banyak kebohongan lain yang telah ia katakan padaku?
Lalu dadaku terasa berat. Aku merasakan perasaan yang akhir-akhir ini familiar denganku. Sakit hati, tepatnya. Maksudku, bayangkan! Sahabat yang paling kupercaya saja berbohong padaku hanya agar aku tak menyalahkannya atas apa yang terjadi.
Namun aku berusaha sekuat mungkin untuk menyisihkan perasaan sakit hati itu. Aku menghirup napas dalam-dalam, mengisi paru-paruku dengan oksigen sampai penuh. Lalu udara dalam paru-paru kukeluarkan dengan perlahan.
Itu baru perkataan dari satu orang, iya kan? Maksudku, bisa saja dia berbohong untuk melindungi temannya itu.
Sial. Jangan salahkan aku jika setelah semua kekacauan ini berakhir aku punya trust issue yang besar pada semua orang.
Uploadedby RS on 10/16 at 10.17 PM
***
Kalau kalian ada di posisinya Noah, kalian bakalan kayak gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top