19 | Alasan Tersembunyi
Hai! Maaf hari Kamis kemarin aku enggak upload. Ternyata materinya berat-berat guys ☹
Besok hari terakhirku UAS. Semoga hari Kamis depan udah bisa balik upload dan balas-balasin komentar kalian kayak biasa.
Selamat membaca!
***
Setelah ceramah singkat itu, aku kembali ke tempat dudukku. Seperti yang sudah kuduga, Ica sudah siap dengan sejuta pertanyaannya.
"Lo kenapa pengen keluar dari tim OSN, No?" tanyanya. Beberapa anak lain di dekat kami pun menanyakan pertanyaan senada.
"Ya kayak yang dibilang Bu Sandra tadi, lah. Jadwal gua di luar lagi padat," jawabku. Ica tercengang. Aku berpura-pura menganggap enteng reaksinya. Aku kembali duduk di kursi dan lanjut beres-beres.
"Lo bercanda kan, No?" tanyanya.
"Kagak. Ini serius," aku menoleh padanya, "Gua keluar gara-gara jadwal gua padat."
"Bukannya―"
"Ca. Please. Gua udah bilang, gua jujur. Jangan tanya-tanya lagi soal itu, oke?" pungkasku.
Akhirnya kami diizinkan Bu Sandra keluar kelas. Aku berjalan mendahului Ica, berusaha untuk menjauh darinya. Karena aku tahu ia tak akan berhenti menerorku dengan pertanyaan-pertanyaannya sampai ia puas dengan jawabanku.
Namun cewek itu berhasil menemukanku di antara kerumunan orang di koridor. Ia meraih tangan kiriku. Jantungku sampai melompat dari tempatnya. Aku spontan berbalik menghadapnya dan menundukkan kepalaku.
"No? Lo kenapa sih? Tingkah lo langsung jadi aneh banget, tahu enggak, habis Bu Sandra ngumumin soal lo mundur dari tim OSN," cerocosnya. "Lagian lo juga kenapa mau keluar, deh? Udah bener juga lo masuk ke tim."
"Udah gua bilang, gara-gara gua sibuk," cicitku.
"Sibuk apaan, emangnya? Setahu gue lo enggak ada kesibukan lain selain ngurusin masalah hidup orang lain sama bantuin ibu lo di toko rotinya."
"Kok lo jadi jutek gini, sih?" Aku menjawabnya dengan pertanyaan. Aku menaikkan kepalaku dan memberanikan diri untuk menatap kedua matanya.
"Soalnya kayak ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gue, No. Gue tahu lo orangnya enggak suka ngerepotin orang lain―walau akhir-akhir ini jadi sebaliknya. Maksud gue, ya lo kalo ada masalah cerita aja ke orang lain." Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Lagian lo juga udah sering banget nolong orang lain. Kenapa sih lo enggak ngebiarin orang lain buat nolong lo?" lanjutnya.
"Lah ini lo juga bantuin gua supaya Mikel sama Putri bisa balikan," balasku.
"Bukan itu!" erangnya. Beberapa orang yang lalu lalang sampai menoleh pada kamu. "Maksud gue tuh kalo lo punya masalah pribadi, ya cerita aja. Jangan dipendem sendiri. Mungkin aja gue atau Sofia atau Mikel bisa bantuin lo sama masalah lo itu."
Masalahnya gua enggak bisa cerita soal masalah ini ke lo atau Sofia atau Mikel.
Aku menghela napas berat, frustrasi. "Ya iya, kalo ada masalah pribadi juga gua bakalan cerita ke orang yang gua percaya, kok. Terus hubungannya apa sama gua keluar tim OSN?"
"Soalnya ada yang kayak lo sembunyiin dari gue, No. Kalo kata gue, lo keluar dari tim OSN bukan gara-gara lo sibuk," katanya, mengulangi poin yang sudah ia katakan tadi.
"Jadi lo pikir gua bohong sama Bu Sandra?"
"Ya―" Ia tercekat. Gadis itu meneguk ludahnya sendriri. "Iya. Mana mungkin lo jujur sama Bu Sandra kalo beliau ngomongnya juga kayak gitu?"
Aku kembali menghela napas.
"Lemme assure you. Gua enggak tahu apa yang lo pikirin, tapi gua bener-bener keluar dari tim OSN karena gua ada kegiatan di luar dan gua perlu buat nyeimbangin kehidupan gua supaya gua enggak jadi gila, paham enggak?" tandasku.
Aku balik badan dan mulai berjalan. Dadaku terasa sesak. Seandainya ini tak menyangkut soal buku berisi surat cinta sialan itu, mungkin aku sudah menumpahkan semuanya pada gadis itu. Dan aku tak harus sampai keras padanya seperti ini. Sori, Ca.
"Ini soal Arge?" tanyanya setengah berteriak. Nyawaku seperti ditahan sesaat oleh malaikat Izrail. Sekujur badanku merinding. Apa jangan-jangan ia sudah tahu soal itu?
Aku ingin menanggapinya, tapi kakiku lebih dulu membawaku pergi. Kakiku sendiri bahkan lebih paham tentang penerapan insting fight or fly dari sang empunya.
***
Sorenya, aku membuat janji temu dengan Arge. Sebenarnya tak bisa disebut janji temu juga, karena aku hanya mengirimkan pesan padanya tanpa ada jawaban. Tapi tak apa. Yang penting aku sudah menyebutkan tempat dan waktunya.
Pukul tiga lewat sembilan. Aku bolak-balik melihat arlojiku sambil berharap anak itu segera datang. Jika tidak, aku bisa kelewatan bus. Ya, tak apa juga sih sebenarnya. Aku bisa pergi ke toko roti ibuku dan membantu beliau. Jika aku tidak malas seperti saat ini.
Aku membuka risleting tasku dan megeluarkan sebuah kantung kertas warna cokelat. Dari dalamnya, aku mengeluarkan roti cokelat yang saat jam istirahat tadi tak sempat kumakan. Hitung-hitung sambil menunggu anak itu datang.
"Woi, No," panggil seseorang. Ah, padahal aku baru makan satu gigitan. Aku meletakkan roti itu kembali dalam kantung kertas, lalu kantung kertas itu kembali ke dalam tas. Aku lantas menoleh ke arah sumber suara.
"Jadi gimana keputusan lu?" tanyanya setelah berhenti di hadapanku. Sumpah, semakin lama aku melihat muka anak itu, semakin tinggi tekanan darahku.
Jadi aku memalingkan wajahku. Aku berusaha untuk menenangkan diriku sebelum aku mengungkapkan keputusanku pada anak setan ini.
"Buruan cepet ngomong! Gua ada latihan futsal bentar lagi," gerutunya. Aku berdecak sebal. Anak ini bisa sabar sedikit enggak, sih? Apa dia enggak tahu kalau saat ini aku sedang mengalami pergolakan batin yang ia ciptakan sendiri?
Pada akhirnya, aku tak bisa menunda ini lebih lama lagi. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu memberitahukan keputusanku padanya.
"Gua keluar dari tim OSN," ungkapku. Dari sudut mataku, aku bisa melihatnya tersenyum bahagia. Senyum seorang penjahat yang berhasil membuat orang lain bertekuk lutut di hadapannya.
"Bagus, bagus." Ia menepuk-nepuk pundak kananku. Aku refleks menghindari saat tangannya hendak mendarat di pundakku untuk yang keempat kalinya. Lo pikir gua anak lo apa?
"Puas, kan?" Aku melirik padanya seperti aku akan menerjangnya bak seekor serigala yang lapar. "Sekarang mana buku gua? Sini balikin!"
"Yah, sori No. Gua enggak bawa bukunya hari ini. Hari Senin nanti gua balikin, oke?" LO― AH! SIALAN LO! MUNAFIK! KURANG AJAR! "Gua janji."
Aku beranjak dari tempat dudukku. "Loh kan kita udah sepakat kalo lo bakalan balikin buku gua kalo gua mau keluar dari tim OSN. Gitu kan, kesepakatannya?"
"Emangnya gua pernah bilang kalo gua bakalan balikin bukunya langsung habis lu bilang lu udah keluar dari tim OSN? Kagak juga." Aku mengepalkan tanganku, siap-siap menonjoknya.
Cih. Persetan dengan Departemen Kesiswaan. Mereka juga masih belum memanggil kami berdua setelah pertengkaran di lorong waktu itu. Kenapa enggak sekalian aja?
Aku mengayunkan tangan kananku kencang-kencang. Tangan kananku yang mengepal menghantam keras pipi kirinya. Cowok sialan itu sampai oleng hanya karena satu pukulan itu. Padahal aku tak pernah beradu fisik seperti ini sebelumnya. Hahaha, lemah.
"KURANG AJAR LU!" Ia berjalan ke arahku. Tangan kanannya mengepal di udara, siap untuk menghantam wajahku seperti pilot Kamikaze pada Perang Dunia II.
"Sini lu!" balasku. Lo kira lo doang yang jago berantem?
***
Aku meringis kesakitan saat seorang tenaga medis dari UKS mengompres pipiku yang lebam dengan sebungkus es batu. Ini kedua kalinya kami bertemu minggu ini. Ia lalu menyerahkan bungkusan es itu padaku. Setelah itu ia bergegas merawat Arge yang kurang lebih sama babak belurnya denganku.
"Demi Tuhan, lu udah gila, No?" Ah, kita mulai lagi. "Lu bodoh banget pake ngelawan Arge yang udah jelas-jelas lebih kuat dari lu. Nyari mati apa gimana sih, lu?"
Aku hanya memutar kedua bola mataku. Aku benar-benar tak ingin bicara pada siapa pun saat ini. Aku menatap Arge yang sedang dirawat oleh tenaga medis pria itu. Beberapa temannya berdiri di belakangnya sambil mengobrol santai.
Sesekali mereka menoleh padaku, memandangku sinis. Arge semula tak menyadari aku sedang memandanginya. Beberapa detik kemudian, cowok itu sadar dan menatapku balik.
"No. Lu denger omongan gua, kagak?" Ah, apaan sih anak ini.
"Iya! Gua denger!" sergahku setengah menggumam. Aku terdengar seperti orang yang baru saja melangkah keluar dari kantor dokter gigi. "Lo pikir aja sih, Mik. Emang lo gak kesel kalo lo digituin? Kesel juga pasti, kan?"
"Ya paling enggak gua enggak sebodoh elu yang main hajar orang kayak dia gitu aja!" balasnya sengit.
"Kayak lo gak pengen ribut sama Hakan aja waktu itu," timpalku.
"Hah?" Decak kesal terlontar dari mulutku.
Aku mengalihkannya dengan pertanyaan. "Ibu gua udah tahu gua begini?"
"Gue enggak tahu, sih. Tapi orang dari Desis udah ada yang lagi OTW ke sini," terang Sofia yang berdiri di samping Mikel. Aku menoleh ke belakang. Benar saja. Pak Satya, guru Geografi―kalau tidak salah―sekaligus staf Departemen Kesiswaan, berjalan menghampiri kami.
Dari ekspresi di wajahnya, aku tahu kalau apa yang akan kuhadapi di hari-hari yang akan datang bukanlah sesuatu yang mudah.
Pak Satya datang untuk meminta keterangan dari kami. Yang kumaksud dengan "kami" adalah aku, Arge, Sofia, Mikail, dan teman-teman Arge yang kebetulan sedang melintas. Arge mengira mereka akan membantunya menghajarku, tapi dia salah. Mereka berusaha melerai kami.
Kegaduhan yang kami timbulkan berhasil menarik perhatian beberapa orang lain yang kebetulan sedang lewat di sekitar situ. Termasuk seorang guru perempuan yang langsung mendatangi kami. Tak lupa, sesuai prosedur, ia mengontak staf Departemen Kesiswaan dan UKS untuk membantu mengatasi masalah ini. Guru itu sudah pergi sejak tenaga medis tiba.
Sedangkan Mikail dan Sofia? Menurut pengakuan Mikail, ia baru saja mengikuti praktikum susulan kelas Kimia. Sedangkan Sofia habis membantu Putri dengan revisi proposalnya. Entah bagaimana caranya mereka berdua bisa bertemu di taman ini pada waktu yang bersamaan. Takdir memang bekerja dengan misterius, kurasa.
Tak lama berselang, Mama datang untuk menjemputku. Bukan main. Mama mengomel panjang lebar padaku, lalu minta maaf pada Arge. Mama kemudian mengambil tasku dan membawaku ke mobil.
"Kalian sekalian ikut sama tante, deh. Tante mau denger juga cerita dari kalian soal kejadiannya kayak gimana." Waduh.
***
Kukira kami berkendara ke rumah. Ternyata Mama membawa kami ke toko rotinya. Ya, maklum, sih. Beliau juga masih harus mengurus toko rotinya yang tak bisa ditinggal begitu saja. Apa lagi belum semua pegawai di sini masuk kerja.
Sesampainya di sana, kami bertiga didudukkan di sebuah meja di pojok ruangan. Mama meminta Kak Robi untuk menggantikannya di konter. Lalu beliau langsung menginterogasi kami. Benar-benar segala hal ditanyakan oleh ibuku.
Mulai dari hubunganku dengan Arge, sampai apa yang dilakukan Mikel dan Sofia untuk melerai kami berdua. Kak Robi tiba-tiba memanggil Mama. Beliau pun menyudahi interogasi itu dan bergegas menghampirinya. Kini tinggal kami bertiga yang ada di meja.
"Eh, emangnya bener, No, kepala lo bocor?"
Ah, sialan. Jangan-jangan Bu Anna cerita soal kejadian waktu itu ke orang lain. Kalau begini hanya tinggal masalah waktu yang menghalangi ibuku untuk tahu soal itu.
Aku menundukkan kepalaku, lalu menunjuk bagian yang luka dengan tangan kananku. Aku bisa merasakan kedua anak itu sedang mencondongkan badan mereka ke arahku. Lalu aku mendengar "Oooh" yang serempak dari mereka berdua. Aku pun kembali menegakkan kepalaku.
"Kecil aja lukanya. Guru lu lebay bat gila, Sof," celetuk Mikail.
"Ya," Sofia mengedikkan bahu, "gue cuma nyeritain apa yang gue denger."
"Gimana ceritanya bisa sampe luka kayak gitu, No? Kayaknya lu lagi sial banget minggu ini. Kasihan gua sama elu," tanya Mikail.
Aku harus jawab bagaimana, ya? Kalau kujawab dengan yang sebenarnya, bisa-bisa anak ini mengamuk dan membuat semuanya jadi tambah runyam. Ah, kujawab saja, deh, dengan cerita yang kuceritakan pada Bu Anna waktu itu.
"Keserimpet waktu jalan balik. Posisi jatohnya kayak mau backflip gitu," jelasku berdusta. Kantung es batu yang bolak balik kutempelkan di sekujur kepalaku mulai mencair.
Lagi pula, ku tak mungkin bilang pada mereka kalau kepalaku lecet karena dipukul dengan sebuah kamus, kan?
"Banyak tingkah sih lu lagian," timpal Mikail sambil terkekeh. "Makanya kalo jalan tuh lihatnya ke arah depan, jangan ke masa depan mulu."
Damn.
"Nggih," balasku singkat. Sofia sampai terpingkal-pingkal mendengar interaksi kami.
"Oh iya, kata Ica lo keluar dari tim OSN, ya?" Kalimat itu terdengar bagai petir yang menyambar di siang bolong.
"Oh, dia cerita ke lo?"
"Hah demi apa lu?" Mikel tak kalah kagetnya denganku.
"Emangnya itu rahasia?" balasnya, mengabaikan reaksi Mikail.
Aku menggeleng. "Ya... Enggak juga, sih."
"Aduuuh No. Lu kenapa pakai keluar segala, dah? Orang udah bener juga lu ikut OSN Kimia. Hei, lu enggak tahu Pak Yanto ngomongin lu mulu tiap kali gua ada kelas sama dia?" omel Mikail.
"Jadwal gua lagi padat, Mik. Kan lo juga tahu―" Aku memutus kalimatku.
Mau bicara pun minimal yang kurasakan adalah rasa tidak nyaman. Bukan hanya karena lebam-lebam di sekujur wajahku. Juga karena sariawan yang muncul akibat gigi bertemu dengan pipi bagian dalam.
"Lo enggak apa-apa, No?" tanya Sofia. Ia tampak benar-benar khawatir padaku dibandingkan dengan cowok yang duduk di seberangku ini. Tiba-tiba Sofia berdiri, lalu berjalan menuju konter. Kesempatan itu Mikel gunakan untuk bicara padaku.
"Oh iya. Gila, No. Makasih banyak ya udah mau bantuin gua balikan sama si Putri," ucapnya. Ia seakan lupa dengan apa yang baru kami bicarakan beberapa detik yang lalu.
Aku tercengang mendengar anak ini mengucapkan terima kasih padaku. Aku pun memasang senyum puas di wajahku. Meski tak lebar-lebar karena terganggu oleh luka-luka itu.
"Makasih juga tuh sama Sofia sama Ica," balasku. Suaraku masih setengah menggumam.
"Makasih buat apa?" Sofia tiba-tiba muncul dengan sebungkus kain.
"Itu apaan?" Aku balik bertanya. Sofia menunduk, melihat ke arah bungkusan kain yang dibawanya, lalu kembali melihat padaku.
"Es batu. Buat memar-memar di badan lo," katanya. "Nih."
"Oh. Makasih banyak, Sof," balasku. Tangan kiriku menerima bungkusan kain yang sangat dingin itu dari tangannya. Tanganku yang satunya lagi meletakkan kantung es yang mulai cair itu, lalu meraih bungkusan kain tadi dan menempelkannya pada pelipis kananku.
"Jadi lo kenapa, No, keluar dari tim OSN?" Sofia mengulangi pertanyaannya tadi.
"Gua lagi agak sibuk di luar sekolah. Daripada gua capek terus sakit, kan," jawabku. Rasanya kalimat terakhirku masih rumpang.
"Ooh," balas Sofia seadanya. Mbak Sarah menghampiri meja kami membawa tiga kantung kertas berwarna cokelat. Ia meletakkannya di meja kami. Mbak Sarah berjalan ke konter, lalu kembali ke meja kami dengan membawa tiga gelas besar es kopi.
"Temen lu yang traktir nih, No," kata Mbak Sarah sambil melirik pada Sofia. Sofia protes pada cewek yang usianya tiga tahun lebih tua dari Mbak Ratna itu. Ternyata Mbak Sarah harusnya tak memberi tahu kalau ia yang membayar semua itu.
Mbak Sarah minta maaf sambil tertawa terbahak-bahak, lalu meninggalkan kami. Tak lupa kami berterima kasih padanya―dan Sofia.
"Oh iya, kata Ica lo keluar dari OSN ada hubungannya sama Arge, No. Emang iya?" tanya Sofia, kembali pada topik pembahasan kami tadi sebelum Mbak Sarah menyela.
"Ya?" Otakku seperti jadi sepuluh kali lebih lambat dari biasanya.
Sofia mengulangi pertanyaannya.
"Ooh, kagak kok. Biasa, dia suka mikir yang enggak-enggak kalo ada hal yang dia enggak sreg," sambungku. Mereka berdua menjawabnya dengan "Ooh" yang serempak.
Setelah itu Mikail membelokkan topik pembicaraan. Kami pun mengobrol bersama di toko roti itu sampai matahari terbenam. Beruntung hari ini tak seramai waktu itu. Jika tidak, sudah habis kami disuruh ikut membantu pekerjaan di toko.
Uploaded by RS on 10/09 at 11.39 PM Local Time
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top