17 | Rush Hour
Ponselku kembali berdering. Aku buru-buru mengeluarkan ponsel dengan casing yang mulai menguning itu dari kantung celana.
Mikel?
"Woi, No. Lu baca chat dari gua, napa!" omelnya begitu aku menempelkan ponsel ke telinga. Aku mengerang.
"Lo kenapa dah, No?" Ia tak ambil pusing dengan rintihanku. "Nih gua lagi OTW ke toko roti emak lu. Mau gua traktir lagi, enggak?"
Kepala gua bocor, setan!
"Mik," panggilku, "Lob... lo b-bisa ke sini, gak?"
"Kalo lu mikir gua ada maunya, gak ada apa-apa, kok. Gua emang cuma lagi pengen cerita aja ke lu."
Aku terperanjat. "Oh."
Anak ini masih saja enggak ada peka-pekanya.
"Sip. Ketemuan di sana, ya. Nanti kalo gua udah sampe, gua kasih kabar," katanya. "Eh lo jangan beli roti dulu di minimarket dekat sekolah. Gua tahu lo kalo pulang sekolah suka jajan. Awas aja kalo enggak abis lagi rotinya kayak waktu itu."
Aku tertawa mendengus. "Ha-ah."
Sialan lo.
Aku menutup sambungan telepon, lalu mencoba untuk bangkit. Jalanku masih sempoyongan layaknya orang yang baru menghabiskan satu botol besar miras.
Tuhan masih memberiku kesempatan. Seorang guru melihatku yang berusaha keras untuk bangkit. Beliau langsung melarikanku ke UKS. Sialnya, tenaga medis yang berjaga di sana merekomendasikan agar aku langsung dibawa ke dokter. Ke IGD, malah. Namun aku menolak. Sudah cukup dengan tetanus itu aku dirawat inap.
Kami sampai berdebat di dalam UKS. Akhirnya beliau mengizinkanku untuk pulang dengan catatan orang tuaku harus langsung membawaku ke dokter. Bu Anna, guru yang menemukanku di taman tadi, mengantarkanku ke toko roti Mama dengan motornya.
Oh iya, ternyata luka di kepalaku itu hanya luka dangkal. Syukurlah itu bukan sesuatu yang serius. Kakak paramedis itu membersihkannya dengan alkohol dan menutupnya dengan kasa steril. Setelah itu aku diizinkan keluar.
Sesampainya aku di sana, keadaannya benar-benar ramai. Kesepuluh meja di dalam toko roti itu penuh terisi orang. Sebagian dari mereka yang duduk di meja tampak menunggu pesanan mereka disiapkan.
Aku menjulurkan kepalaku dari balik kerumunan pelanggan yang tak mendapatkan kursi. Mataku menyapu seisi ruangan, berusaha mencari Mikel―dan Mama.
"Noah!" Itu ibuku. Aku menoleh ke arah konter. Ia melambaikan tangannya tinggi-tinggi padaku. "Sini!"
Aku berjalan pelan masuk ke balik konter dan menghampiri Mama. Beruntung keseimbanganku sudah pulih. Jika tidak, aku hanya akan membuat kekacauan di sini.
Beliau dengan gesit berjalan hilir mudik di belakang konter, menyiapkan pesanan orang-orang ini. Sedangkan aku, anak kesayangannya, hanya berdiri di depan pintu masuk konter.
"Noah, sini bantuin!" seru Mama. Bagai hampir disambar petir, aku melompat kaget. Butuh beberapa detik bagi otakku untuk memetakan apa saja yang harus kukerjakan.
"Itu deh, kamu terima pesanan!" Mama menyeru lagi. Sepertinya beliau terlalu sibuk bahkan sekadar untuk menyadari kalau ada kasa yang menempel di kepala anaknya.
Aku bergegas menuju ke kasir dan mulai menerima pesanan. Aku sampai lupa kalau harusnya saat ini aku dan Mikail sedang duduk-duduk mengobrol sambil makan croissant.
Omong-omong, di mana Mikail?
"Si Mikel― Iya, mas. Pesanannya udah saya catat. Sabar, ya." Omonganku diinterupsi omelan seorang pemuda. Sepertinya mahasiswa. "Ma, Mikel udah ke sini?"
"Itu dia bantuin Mbak Sarah di belakang," kata Mama. Aku spontan menyembur tertawa.
Ternyata cowok itu membantu Mbak Sarah, seorang karyawati di sini, menyiapkan roti-roti yang akan dijual. Maksudku, seriusan Ma? Mikel? Memanggang roti?
"Sialan mama lu No," kata Mikail setelah rush hour yang kacau itu berakhir.
"Words!" sambar ibuku yang sedang merapikan meja-meja. Aku hanya bisa tertawa menyaksikannya.
"Sorry, Ma'am." Mikail menyobek roti isi selai cokelat di hadapannya, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Gua ke sini niatnya mau santai-santai malah disuruh bantu manggang roti," gerutunya dengan mulut penuh.
"Ya salah kamu sendiri datang pas lagi ramai-ramainya," celetuk Mama yang kebetulan berjalan melewati meja kami. Ia mengambil gelas plastik es kopi yang disiapkan Mbak Sarah di meja konter.
"Silakan," kata beliau sambil mendaratkan gelas itu di hadapanku. "Gratis buat Noah."
Aku tersenyum puas. "Makasih, Ma."
"Loh kok buat Noah doang, Ma?" protes Mikail. Ia tak sengaja memanggil ibuku "Ma".
"Kamu ngomongnya kasar, sih. Tante enggak suka kamu begitu," balas Mama sengit. Ia mendengus dramatis, lalu berjalan kembali ke balik konter.
"Tanggung jawab lo, Mik. Ibu gua marah," kataku menggoda anak itu.
"Ya maaf!" Ia mengangkat gelas plastik itu. "Mana tahu gua kalo nyokap lu denger."
Aku menanggapinya dengan tertawa kecil, lalu meneguk ludahku sendiri.
"Oh iya, lo pengen ngomongin apaan?" tanyaku.
"Gua pengen cerita-cerita aja, sih. Soal gua sama Putri," katanya. "Kata lu semakin gua terbuka, semakin baik, kan?"
Iya, sih.
"Oh?" balasku, pura-pura kaget. "Oke."
"Ini soal date gua sama dia waktu itu. Pas dia tiba-tiba ngambek. Udah pernah gua ceritain sih, waktu itu. Tapi ini lebih detailnya lagi. Mau gak lu?"
Aku mengangguk. "Go on."
"Oke," mulainya. "Jadi lu inget kan waktu gua bawa dia ke restoran Jepang?"
Aku kembali mengangguk, lalu mengoyak croissant di hadapanku jadi dua.
"Dia kan baru jutek gitu waktu gua habis dari toilet, ya. Waktu gua mau nganterin dia ke lobi mal, gua juga sambil ngecek hape gua nih. Waktu gua buka hape gua, itu munculnya bukan di app yang terakhir gua pakai. Ngerti gak lu?"
Aku mengangguk untuk yang ketiga kalinya. Kali ini dengan gumaman. Meski butuh waktu yang agak lebih lama dari biasanya untuk otakku memproses semua kalimat itu. Pasti ini salah satu efek dari benturan tadi.
Maksudnya begini. Ada beberapa orang yang tak menutup apa pun aplikasi yang terakhir mereka gunakan sebelum mengunci ponsel mereka. Mikel salah satunya. Ketika Mikail membuka ponselnya kembali, hal pertama yang muncul bukan aplikasi yang terakhir kali ia gunakan.
"Gua sebenernya udah mau tanya sama Putri, tuh, soal itu. Tapi berhubung gua tahu, nih, kalo mood dia lagi jelek, jadi ya enggak jadi gua tanyain," lanjutnya. "Maksud gua ya, dia juga ngapain juga pakai buka-buka hape gua segala, gitu kan?"
"Tapi lo enggak macem-macem, kan, di belakang dia?" tembakku seusai memahami kata-katanya. Wajahnya berkedut. Ia seperti kaget mendengar pertanyaan itu, tapi memilih untuk tak mengungkapkannya.
"Kagak, lah! Orang gua udah cinta banget, No, sama Putri. Ngapain juga gua pakai selingkuh segala? Sembarangan aja, lu." Tumbenan dia peka dengan makna tersembunyi di balik kalimat yang kuucapkan.
"Mastiin doang," balasku. Aku mengaduk-aduk isi gelas plastik di hadapanku yang tak kunjung kuminum. Aku kurang suka kopi. Sekaligus untuk menahan tanganku agar tak memegang kepalaku yang masih nyeri.
"Terus menurut lo, kalo Putri marah gara-gara hape lo, emangnya apa yang di situ yang bikin dia marah gitu?" tanyaku.
"Hah?"
"Terus kata lo―"
"Ooh, gua paham." Baguslah. Karena kurasa kalimat tadi pun kurang jelas.
"Itu dia, gua juga enggak tahu. Gua kayaknya enggak pernah ngerti, deh, sama isi pikiran gua. Kayaknya ada aja hal dari gua yang salah di mata dia," katanya.
"Serius?"
"Iya! Demi Tuhan, No! lu awas bae kalo nuduh gua yang macem-macem lagi," cerocosnya.
"Kagak, kok. Santai aja," kataku, lalu memasukkan sobekan croissant ke dalam mulut.
"Tapi kalo kata gua, ya, tetep harus dicari sih ada apa yang bikin Putri sampe marah. Maksud gua, kalo dia beneran ngebuka-buka hape lo. Bisa jadi lo-nya juga gak ngeh Mik," lanjutku.
"Tuh, kan. Nyalahin gua lagi."
"Hei― Come on!" Aku menolak dasar meja dengan telapak kaki kananku sampai kursiku terdorong sedikit ke belakang. Kedua tanganku merentang lebar.
Aku lantas menjatuhkan kedua tanganku. Ingin rasanya aku menjitak kepala anak ini sampai peang. Di sisi lain, aku takjub melihat anak ini bisa jadi dermawan dan egois di saat yang bersamaan.
"BTW, gua mulu yang cerita ke elu, No. Giliran lu, lah, yang cerita balik ke gua," kata cowok yang duduk di seberangku itu. "Sekarang elu, coba, cerita ke gua."
"Harus banget, apa?"
"Ngambek, lu?"
"Ya, kagak!" sergahku. Habisnya lo nyebelin banget, sih!
"Ya udah, cerita dong coba," desaknya.
Aku terdiam. Kira-kira apa ya, yang harus kuceritakan padanya? Oh, apa aku ceritakan saja soal masalah Arge tadi? Tapi, ah, tidak usahlah. Kurasa semuanya hanya akan tambah runyam jika aku menceritakan masalah itu padanya. Tak bisa kubayangkan jika mereka berdua sampai berantem hanya gara-gara masalah ini.
Jadi kuceritakan saja soal masalah termometer pecah itu. Kasusnya pun juga sudah selesai, mesti penyelesaiannya sangat antiklimaks.
"Mik, gua udah pernah cerita ke lo belom, soal ada yang minta gua buat nyelidikin soal termometer lab Kimia pecah?" mulaiku.
"Belom. Tapi ini kalo gak salah permintaannya Hakan, kan? Gua masih dendam sama dia. Lu juga kenapa sih mau bantuin anak kayak dia?" Jadi ini siapa sih, yang mau cerita?
"Dia minta tolong, ya gua bantu, lah. Simple logic. Kenapa juga lo sampai jadi dendam banget gara-gara gua bantuin dia doang?" balasku.
"Percaya gua, dah. Dia bukan anak baik-baik."
"Oke. Kalo lo pen bilang soal dia anak― ketuanya satu geng di sekolah, ya gua juga tahu. Terus apa? Dia juga udah gak bikin yang macem-macem lagi. Gengnya juga. Gak separah jaman dulu sebelum jamannya Pak Robert," balasku panjang lebar.
Ia lalu bungkam.
"Ya, intinya lu jangan deket sama dia. Ngerti, kan lu?"
Aku menghela napas berat. "Iya, iya. Sekarang mau gua ceritain apa enggak, nih?"
"Enggak usah, dah. Makin dendam gua yang ada. Kan dosa kalo dendam sama orang lain. Cari cerita lain, No." Siap, Kanjeng.
Akhirnya aku menceritakan soal bagaimana aku bisa dekat dengan Sofia di kelas Bahasa Inggris. Masalah Arge dan Ica? Ia tak perlu tahu.
***
Aku meraih gagang rolling door toko dengan tongkat pengait, lalu menariknya ke bawah. Sekarang pukul delapan malam dan kami masih ada di toko. "Kami" itu aku, ibuku, Mbak Sarah, dan Kak Robi, seorang pegawai lain yang bekerja saat rush hour tadi.
Entah kenapa aku benar-benar tak melihatnya sepanjang sore. Mungkin dia terlalu lelah untuk sekadar keluar dapur. Jika memang begitu, maka itu salah keempat karyawan lain yang juga bekerja di situ. Hari ini mereka antara sedang sakit atau "ada keperluan" yang menghalangi mereka masuk kerja.
Setelah berbincang singkat, kami semua berpisah jalan. Aku melompat masuk ke bangku penumpang depan mobil. Aku dan Mama berkendara pulang ke rumah. Sesampainya kami di rumah, aku langsung berganti pakaian dan meletakkan seragamku di mesin cuci.
Aku lalu kembali ke kamar. Efek dari pukulan di kepala tadi sore sudah benar-benar hilang, untungnya. Perut ini lapar tapi aku sudah terlalu lelah. Niatku, lapar ini akan kubawa tidur saja. Pasti akan hilang, deh.
Setidaknya begitu niatku sampai aku tak sengaja menumpahkan isi tasku di lantai. Singkat cerita, aku hendak memindahkan ranselku dari kasur ke kursi belajarku. Namun teledornya aku, menarik bagian bawah ransel yang tak kututup risletingnya. And it happened.
Aku mengumpulkan barang-barang yang berserakan di lantai, lalu mengangkatnya, dan meletakkannya di meja. Aku kembali berbaring di kasurku. Badanku miring ke samping kanan sembari memeluk guling. Lalu pandanganku mendarat pada buku paket Kimia di meja belajar.
Ah, anak sialan itu. Buku catatan sialan itu. Sialan! Sialan! Sialan!
Aku menghela napas berat. Terdengar lamat-lamat ibuku memanggil-manggilku untuk turun ke bawah, makan malam.
Dengan malas, aku bangkit dari tempar tidurku. Bayangan tentang apa yang mungkin terjadi kalau Arge betulan menyebarkan isi buku surat cinta itu berkelebat liar di kepalaku. Aku tak boleh membiarkan itu terjadi. Tak boleh!
Aku hendak keluar dari kamar, tapi nada dering ponsel lebih dulu menahanku. Aku mendiamkannya. Panggilan telepon di jam semalam ini rasanya hanya akan menambah penat. Aku lanjut berjalan keluar kamar dan menuruni tangga. Pikiran soal ancaman Arge pun kembali menghantuiku.
Ampun! Aku tak mengerti kenapa anak itu sangat menginginkanku keluar dari tim OSN. Jika ini karena dendamnya soal upayaku yang gagal untuk membuatnya rujuk dengan pacarnya, maka ini sudah amat sangat terlambat. Lagi pula ia punya banyak kesempatan yang sama baiknya untuk balas dendam padaku sebelum sekarang.
Kalau ini soal aku yang membocorkan soal ia mencuri uang (mantan) pacarnya waktu itu, maka ini berlebihan. Maksudku, ya elah. Teman-temannya mana percaya padaku, yang notabene musuh dari teman mereka sendiri. Overreact banget. Enggak asyik.
Tapi karena keadaannya sudah begini, mau kuhadapi dia dengan mengutarakan pikiranku di atas pun sudah tak ada lagi gunanya. Yang ada malah hanya menambah marah anak itu. Jadi... ya sudahlah. Kalau begini, aku terpaksa mundur dari tim OSN. Demi nama baikku di mata Ica.
"Noah!" Aku sampai terperanjat karena bentakan itu.
"Ya, Ma?" balasku. Aku melirik ke tangan Mama. Ia menyodorkan sepanci sup padaku.
"Sini, Mbak aja," sambar Mbak Ratna yang tiba-tiba muncul. Ia membawa panci itu ke meja makan. Aku akhirnya membantu Mama membawa piring. Kami pun makan bersama di meja makan. Masih tanpa Bang Reza. Entah ke mana lagi anak itu.
***
Satu hari lain di sekolah ini.
Berbeda dengan sebagian besar hari lain, aku diantar Mbak Ratna ke sekolah. Pagi ini aku baru bangun jam setengah tujuh...
"Makasih, Mbak!" seruku sambil menyerahkan helmku padanya. Aku lalu tancap gas, berlari di sepanjang jalan masuk kendaraan yang entah kenapa seperti tak ada akhirnya. Isi ranselku melompat-lompat di dalam tas seperti popcorn yang meletup-letup. Beruntung punggungku masih dapat menahan tolakan dari ranselku itu.
Aku berhenti untuk menarik napas. Pintu Gedung A hanya tinggal beberapa Langkah lagi dariku. Aku mengangkat tangan kiriku. Bel jam pelajaran sudah berbunyi sejak empat menit yang lalu. Beruntung aku sudah masuk ke dalam area sekolah saat bel berbunyi. Jika tidak, mungkin saat ini aku masih tertahan di luar gerbang.
Setelah mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras, kakiku melangkah menuju pintu masuk gedung.
"Noah!" Kakiku langsung mengerem. Kepalaku sontak menoleh ke kiri, arah sumber suara. Oh iya, aku lupa aku ada janji bertemu dengan Mikel sebelum masuk kelas.
"Gua tungguin lu, ternyata lu-nya malah telat. Ada yang mau gua kasih tahu ke elu, nih," omelnya. Aku melengos dan lanjut berjalan menuju pintu masuk. Namun langkahku tertahan oleh Mikail yang menarik lenganku.
"Sebentar doang, No. Sumpah! Gak lama-lama, kok. Lagian lu buru-buru banget, sih," katanya sambil terus menarik lenganku menjauh dari tujuanku.
"Enggak bisa nanti aja, Mik? Gua udah telat ini," balasku yang mau tak mau harus meladeninya.
"Ya, salah lu sendiri pakai bangun telat segala. Ayo sini bentar."
"Mik―"
"Bentaaaar."
Akhirnya aku mengalah. Aku pun berjalan mengekorinya, hanya untuk melihatnya berhenti beberapa meter dari tempat kami berada sebelumnya.
"Jadi, lusa gua sama Putri mau ngobrol face-to-face nih soal... alasan kenapa dia tiba-tiba mutusin gua." Tunggu. Aku tak salah dengar kan?
"Maksud lo?" Alisku menukik tajam. Dalam kepalaku, aku menyiapkan berbagai pertanyaan untuk menginterogasi anak ini. Maksudku, bagaimana bisa dia tiba-tiba bilang begitu? Bahkan sekadar untuk menyapanya pun cewek itu sudah enggan.
"Si Ica sama Sofi telepon gua semalem gara-gara elu kagak bisa dihubungin sore kemarin. Group call, No, sama mereka. Jadi ya udah gua sama mereka bikin rencana sendiri. Enggak bikin rencana dari awal banget juga sih, No. Soalnya waktu mereka kontak gua, mereka udah punya rencana sendiri," terangnya panjang lebar. Tapi aku tetap masih tak percaya.
"Terus gimana ceritanya si Putri tiba-tiba setuju buat ngobrol sama lo?"
"Gua juga kagak ngerti, dah. Abis gua ngobrol sama mereka, sekitar satu jam kemudian gitu Ica ngasih tahu gua kalo Putri setuju buat ngomong face-to-face lusa." Rahangku seperti copot dari tempatnya. Kedua mataku membelalak takjub. Aku seperti baru saja mendengar mukjizat orang yang mati hidup kembali.
"Ooooke." Aku benar-benar tak tahu harus bilang apa. Tapi yang pasti aku harus menanyai mereka berdua soal ini.
"Dah. Sana lu. Kata lu lu telat, kan?" pungkasnya.
Uploaded by RS on 10/07 at 10.23 PM Local Time
***
Oke, ini serius: Aku pengen, deh, punya toko roti kayak punya mamanya Noah. Enggak tahu. Kayaknya seru aja gitu, kalo punya toko roti 😩😩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top