15 | Plan B
Namun buru-buru kusingkirkan pikiran untuk menimpuk kepalanya dengan batu. Aku ingin kasus ini cepat selesai. Dan menimpuk kepalanya dengan batu bukan jalan yang tepat untuk mencapainya.
"Mik!" panggilku. Mikail segera berhenti, lalu menoleh kembali padaku.
"Apaan?" tanyanya, jutek.
Aku terdiam, kembali memikirkan soal apa yang akan kukatakan.
"Apa, sih. Enggak jelas lu." Ia berbalik, lalu lanjut berjalan pergi.
"Kalo misalnya gua temuin lo sama Putri, mau?" sambarku. It's now or never, Noah. "Bukan buat ngasih kejutan kayak kemarin. Tapi buat bicara empat mata."
Ia terdiam.
Anak itu tampak sedang berpikir keras. Aku tahu betul sedang terjadi pergulatan di dalam dirinya. Antara harus menerima ideku, atau menolaknya dan berakhir dengan tanpa solusi sama sekali. Itu hanya dugaanku saja, sih.
Batinku juga bergejolak. Perutku seketika terasa seperti sedang diremas habis-habisan. Bermacam-macam skenario diciptakan oleh otakku dengan sekaligus. Misalkan begini, misalkan begitu. Kepalaku sampai terasa berdenyut.
"Ya udah, dah. Gua juga emang pengen ngomong langsung sama dia," tandasnya. Lalu ia lanjut berjalan menjauh.
***
Tiga puluh menit kemudian, di bangku taman yang sama, seseorang sedang duduk menungguku. Namun saat ini aku masih berkutat dengan proyektor di ruang kelas Bahasa Jerman Pak Herman.
"Udah bisa, pak?" tanyaku.
Tadi setelah Mikel meninggalkanku sendiri, aku ingat kalau setelah makan siang akan ada kuis di kelas Bahasa Belanda. Yep, Bahasa Belanda. Aku pun terkejut ketika melihat ada nama kelas ini di daftar penawaran mata pelajaran. Maksudku, bahkan di seantero kepulauan ini hanya ada satu universitas saja yang menawarkan jurusan Bahasa Belanda. Apa lagi SMA?
Nevertheless, aku mendaftar ke kelas itu.
Kembali ke hal yang tadi ingin kubicarakan. Karena kuis itu, akhirnya aku pergi ke perpustakaan untuk mempelajari materi kuis hari ini. Lalu ketika aku masuk perpustakaan, aku berpapasan dengan Pak Herman, yang langsung menarikku ke kelasnya.
"Udah bisa, nih. Danke schön, Noah," jawabnya.
"Sama-sama, pak," timpalku. Bahasa Jerman-ku hanya sebatas keine ahnung dan danke schön.
Karena sudah tak ada urusan lagi dengan beliau, aku undur diri dan keluar kelas. Aku melangkahkan kakiku menuju tempat di mana aku seharusnya berada, lima menit yang lalu.
Sambil berjalan, aku mengeluarkan ponselku dari tas jinjing yang kubawa. Layarnya kunyalakan. Notifikasi missed call 23 kali dari Ica jadi hal yang pertama kali kulihat. Mampus aku. Kakiku berderap makin cepat. Dalam hati aku meminta maaf pada semua orang yang kutabrak selagi aku berjalan menuju taman sekolah.
"Noah!" seru Ica. Jarakku masih sekitar lima puluh langkah darinya.
Sesampainya di tempat yang telah kami tentukan tadi, aku langsung membungkuk, seperti posisi rukuk. Napasku terengah-engah. Paru-paruku rasanya seperti mau meledak karena terlalu keras bekerja.
"Sori gua telat." Mulutku hampir tak dapat mengucapkan kalimat itu di antara napasku yang memburu. "Tadi Pak Herman tiba-tiba minta tolong."
Lalu aku merasa seperti ada sesuatu yang menyenggol pundakku. Aku menoleh ke atas.
"Nih. Minum aja. Tadi gue beli ini niatnya mau buat kelas selanjutnya. Cuma gue kasihan aja lihat orang napasnya udah kayak kuda gitu," cerocosnya. Aku langsung menyambar botol plastik PET itu dan meminum air dari dalamnya.
"Thanks," ucapku.
"Sama-sama. BTW lo kenapa ngumpulin gue sama Sofia lagi, No?" balasnya. Aku menegakkan badan, lalu mengalihkan pandangan pada Sofia yang berdiri di samping Ica. Ia melambai kecil padaku. Aku membalas dengan senyuman.
"Gua mau minta tolong lagi. Boleh?" pintaku tanpa basa-basi.
"Ini soal Putri lagi, No?" tanya Ica.
Aku mengangguk.
Dan cewek yang kuduga akan protes besar soal ini pun bersikap sesuai dugaanku. "Sori, No. Gue bukannya enggak mau nolongin apa gimana. Tapi kalo boleh jujur, gue jadi agak ragu buat nolongin lo setelah kejadian kemarin."
Ouch.
"Kenapa, tuh?" aku balik bertanya.
"Soalnya lo tuh kayak enggak ada persiapan, No. Serius, deh. Bahkan sampe ke tema kejutan aja lo enggak punya. Sampe-sampe gue ngira rencana lo tuh cuma buat bercanda doang. Kalo lo mau bantuan dari gue, gue pengen lo udah matengin dulu rencana lo," jelasnya panjang lebar.
"Loh, kan gunanya gua minta bantuan lo juga karena gua enggak tahu harus ngapain," tepisku, mencoba mengimbangi bicara cewek ini.
"Iya, gue juga tahu. Tapi mendingan dari awal lo udah punya rencana yang mateng buat gue―sama Sofia―jalanin. Kalo kayak kemarin kan jadi ribet, No. Harus brainstorming lagi dari awal. Kalau kebanyakan kepala yang mikir, jadi ribet ah, No!" balas Ica.
"Hm, oke deh." Aku menurut. Lagi pula, apa sih yang enggak buat kamu?
Aku menoleh pada Sofia. "Sof?"
"Jujur, No, gue juga setuju sama Ica. Soalnya― Maaf-maaf nih, ya. Soalnya tuh waktu kemarin tuh― lu juga pasti lihat, kan? Si Putri malah jadi kesel sama gue gara-gara gue nolongin lo yang nolongin Mikel."
"Ya, gue enggak mau dong kalo sampe persahabatan gue sama Putri jadi hancur gara-gara gue nolongin lo. Eh, tapi jangan tersinggung ya, No," papar Sofia. Kedengarannya cewek itu seperti selalu mencari kata-kata paling halus untuk dikatakan padaku. Hence, the mid-sentence cuts.
Kuhirup dalam-dalam udara taman sekolah yang sebenarnya tak segar-segar amat, lalu kuembuskan dengan perlahan.
"Oke, dah. Yang penting kalian berdua mau bantuin. Thanks ya Ca, Sof. Gua duluan," ujarku sambil balik badan dan berjalan menjauh.
"Iya, sama-sama," balas Sofia.
Tak lama aku berjalan dari situ, bel berdering di seantero sekolah.
Aku yang tadinya hendak kembali ke perpustakaan pun urung niat. Aku balik arah, lalu berjalan ke arah kedatanganku.
"Kok balik lagi, No?" tanya Sofia.
"Ada kelas," jawabku begitu saja sambil berjalan melewati mereka berdua. Dalam sepuluh menit aku sudah harus berada di kelas Bu Sigrid untuk mengerjakan kuis yang lebih tepat disebut ulangan harian itu.
Dan hebatnya, aku sampai dalam waktu... sebentar. Aku mengangkat tangan arlojiku sambil berjalan masuk ke kelas. Lima menit? Enam. Aku sampai ke kelas ini dalam waktu enam menit. Masih ada beberapa menit bagiku untuk membaca materi.
Namun baru sejenak aku mendarat di kursi deretan paling kanan kelas, kandung kemihku tiba-tiba terasa penuh. Aku pun kembali berdiri dan melangkah pergi ke toilet laki-laki yang ada di ujung koridor ini.
Akhirnya lega juga.
Aku keluar dari bilik toilet, lalu berjalan ke wastafel. Kunyalakan keran di hadapanku. Tangan kiriku meraih dispenser sabun cair. Aku mengambil beberapa semprot. Tanganku kembali pada keran yang kubiarkan menyala tadi, lalu mulai mencuci tangan.
"Have you studied for today's quiz?" Lo udah belajar buat kuis hari ini?
"Aw!" Aku refleks memukul keran wastafel. Kerannya sampai berbunyi karena benturan dengan tanganku. Sakitnya bukan main. Aku langsung menarik kedua tanganku dari keran agar tangan kiriku bisa mengusap telapak tangan kananku yang sakit.
Anak itu malah tertawa. "Sorry,"
Ia berjalan ke bak wastafel di sampingku, lalu ikut mencuci tangannya.
"So, have you studied?"
"A little," sambarku sambil terus mengelus telapak tangan kananku. Sedikit.
Ia lalu menoleh padaku, "Does it hurt?" Emangnya sakit?
Aku menoleh padanya dengan alis menukik sampai ke pangkal hidung, lalu memandanginya untuk beberapa saat.
"What?" tanyanya lagi.
"No, it doesn't hurt. You gotta try that. Recommended by 9 out of 10 anthropologists," balasku. Enggak kok, enggak sakit. Lo harus cobain. Direkomendasiin sama sembilan dari sepuluh antropologis.
"Did you mean orthopedist?" Maksud lo dokter tulang?
Aku membuang napas yang tersisa di paru-paruku, lalu menutup keran di hadapanku yang sedari tadi menyala. "Could you stop being Google for a day, Jerry?"
"Only after you stop looking down at everyone around you, Noah," pungkasnya. Ia mematikan keran yang digunakannya, lalu keluar dari toilet. Hanya setelah lo berhenti meremehkan orang lain di sekitar lo, Noah.
Enteng betul dia berkata begitu! Justru dia tak tahu saja kalau aku 7 hari 24 jam meremehkan diriku sendiri.
Aku pun menyusulnya keluar dari toilet dan kembali ke kelas. Dan jantungku merosot dari tempatnya ketika aku menemukan Arge sedang mengamati buku rahasiaku. Buku yang selama ini kugunakan untuk menulis surat-surat cintaku pada Ica sejak hampir dua minggu yang lalu. Gawat ini. tamat sudah riwayatku kalau ia sampai membaca isinya!
Aku menyerbu masuk ke dalam kelas. Lalu aku berderap menuju bangkuku dengan kecepatan penuh. Dengan sigap merebut kembali buku itu.
"Woi! Apaan sih lu, ah!" Arge mencoba untuk merebut kembali buku itu. namun aku berhasil menahan badannya. Dan dengan tangan kiriku, aku mengangkat buku itu tinggi-tinggi, menjauhkan buku itu dari jangkauannya.
"Arge, Noah, could you guys―" Oh, aku baru ngeh kalau Bu Sigrid sudah masuk kelas.
"Harusnya gua yang tanya gitu," balasku. "Lo ngapain ngobrak-abrik tas gua?"
Kami berdua sama-sama mengacuhkan omongan Bu Sigrid.
"Buku lu yang jatoh dari dalem situ. Gak usah marah-marah, dong! Harusnya lu terima kasih sama gua," cerocosnya seperti bebek yang berkoek.
"Iya, makasih. Udah sana balik ke alam lu," timpalku. Ia mendengus sebal, lalu kembali ke kursinya. Aku pun mendudukkan diriku di bangkuku. Buku itu kubuka sekilas, kututup kembali, lalu kuletakkan di dalam tas jinjing beige-ku.
"Okay," Bu Sigrid menepuk tangannya, "Now after we're all set, Noah and Arge have sat back on their respective seat, let's start the quiz, shall we?"
Aku menoleh ke arah Arge hanya untuk mendapatinya sedang melihat ke arahku. Bagai dua orang yang saling menyukai satu sama lain dalam diam (meski faktanya benar-benar sebaliknya), kami langsung berpaling ketika pandangan kami bertemu.
"Oké, laten we beginnen," ujarnya. Oke, ayo kita mulai.
***
Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Aku berhenti beres-beres sejenak dan membuka ponselku. Notifikasi itu datangnya dari Ica.
Melalui preview notifikasiyang terpampang di layer kunci, aku membacapesan itu. No, kata Bu Sandra yang OSN Kimia disuruh kumpul di kelas doisekarang. Aku langsung membuka room chat kami di aplikasi chattingdan membalas pesan itu.
Aku langsung menutup ponselku dan lanjut membereskan tas jinjingku. Setelah itu aku langsung keluar dari kelas dan berjalan menuju kelas Bu Sandra yang letaknya di Gedung A. Dalam hati aku bersyukur. Setidaknya aku tak harus kembali pindah ke gedung lain setelah mengambil ranselku dari loker.
Selesai membereskan ranselku, aku menutup loker dan berjalan ke kelas Bu Sandra. Aku masuk ke dalam kelas, lalu duduk di bangku yang paling pinggir.
"Good evening," sapaku. Bu Sandra membalas dengan kata-kata yang sama.
"Noah." Aku refleks menoleh pada sumber suara. Oh, hai!
"Duduk di sini, napa. Nyendiri mulu lo di pojokan," ajaknya. Pertama, ini bukan pojokan. Ini pinggir kelas. Kedua, gua takut salah tingkah kalo duduk di samping lo...
Tapi, ah, waktu Ica jatuh dari kursi saja aku tidak melakukan yang yang aneh ketika duduk di sampingnya selama jam pelajaran. Kenapa aku harus takut? Aku menyambar ranselku, lalu pindah ke bangku yang ditunjuk Ica.
"Hai," sapaku.
"Hai," Ica balik menyapa. "Lo bakalan ketinggalan bus dong, No?"
Aku tertawa kecil.
"Iya, lah. Busnya datang..." Aku menengok arlojiku, "Sekarang."
"Terus lo pulang naik apa?"
"Kalo gini sih gua ke toko roti ibu gua. Tokonya deket sini, kok. Sekalian mau bantuin juga," terangku. Lalu cewek titisan bidadari itu membelalak. Matanya membulat sebulat bulan purnama di langit malam yang cerah.
"IH!" Ia seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tahu gitu mending gue beli keik di toko roti ibu lo waktu kemarin. Kok lo diem-diem aja sih, No?"
Aku mengedikkan bahu. "Kan tugas lo yang beli kue."
"Tapi kan sesama teman harus saling membantu satu sama lain, No. Dengan gue beli keik dari toko ibu lo kan secara enggak langsung gue traktirin lo di kantin," balasnya.
"Oh, jadi kita temenan, nih?" celetukku.
"Emang lo maunya kita jadi apa? Musuhan?"
Pacaran.
"Boleh, tuh," balasku. Lalu aku tertawa. "Bercanda, bercanda."
"Yeh, enggak jelas lo, No!" Ia meninju bahu kiriku. Lagi-lagi aku tertawa melihat tingkahnya. Lucu banget, tahu enggak?
"Ini belom semuanya kumpul, ya?" Bu Sandra bertanya dari mejanya di depan kelas.
"Beloman, bu. Masih kurang Chandra sama Ferdi," sahut Indra. Sepengetahuanku, tadinya ia sedang mengobrol bersama dua anak lain. "Sama Ian."
"Itu, si Melani juga belum datang, bu," tambah Veronica yang duduk dua baris di belakang kami. Bu Sandra meng-oh sebagai respons.
"Permisi," ucap seseorang dari pintu kelas. Bukan hanya Bu Sandra, aku pun ikut menoleh ke arah suara.
Cowok itu. Thor Omar Arnarsson.
"Ya, Thor?" balas Bu Sandra. Beliau mengucap nama depan cowok itu sebagai "tor".
"Saya mau bicara dengan Ica," ujarnya. Aksen asingnya masih kental terdengar. Aku menoleh pada cewek di sebelahku itu. ia pun tampak memperhatikan cowok blasteran yang saat ini sedang berdiri di ambang pintu itu.
Ia pun beranjak dari bangkunya, tanpa mengatakan sepatah kata pun padaku, dan menghampiri cowok itu. Kehadirannya seakan menghipnotis cewek itu.
Begitu Ica berdiri di depannya, Omar beralih ke bahasa Inggris, "You left your pencil case back in Mister Henrik's class."
"Oh. Thanks," balas Ica. Ia mengambil tempat pensilnya dari Omar. "Oh. Um, you still down for the movies tonight? Popcorn's on me."
"Absolutely. I'll buy the drinks, then."
Lalu hening di antara mereka berdua. Dari bangkuku, aku mendengarkan dengan saksama percakapan mereka. Dengan hati yang kembali mencelus. Sampai-sampai kupikir aku akan mati rasa jika melihat mereka berdua begini terus.
Oh iya, aku akan terjemahkan omongan mereka. Pada dasarnya, mereka berencana untuk menonton film di bioskop malam ini. Baiklah. Kalau begitu aku berencana untuk menangis sambil mendengarkan lagu galau dan berbaring di kasurku malam ini.
Uploaded by RS on 10/05 at09.53 PM Local Time
***
Hai! Apa kabar semua? Semoga kalian semua dalam keadaan baik-baik saja.
Jadi, Noah bikin rencana baru. Menurut kalian, Putri masih mau buat diajak bicara enggak, setelah kejadian kemarin?
Sampai jumpa Senin depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top