14 | Penyelesaian

Ah, sial. Hujan lagi.

Aku meneduh di halte bis sekolah. Tidak seperti hari-hari sekolah, kali ini halte itu amat sepi. Hanya ada diriku sendiri yang datangnya pun terpaksa karena hujan.

Kotak rainbow cake yang tak jadi dimakan itu kuletakkan di bangku halte. Sambil berdiri, aku membuka ponselku. Mulai terpikir olehku untuk memesan taksi online seperti tiga hari yang lalu. Ah, tapi sayang uangnya. Lebih baik ditabung untuk perlahan menutup lubang besar di simpanan uangku yang dibuat oleh traktiran bakso waktu itu.

Akhirnya aku urung niat memesan taksi daring. Tunggu saja deh beberapa lama. Kalau hujannya tak reda-reda juga, toh hujannya tak terlalu deras ini. Hitung-hitung bisa main hujan-hujanan. Sudah lama sekali aku tak begitu.

Aku bersandar pada dinding halte, berusaha mengingat kembali percakapan antara diriku dan Mikail tadi.


Aku mengurut pangkal hidungku. Aduh, anak ini.

"Woi. Emangnya salah kalo gua kayak gitu, hah?" Mikail berjalan mendekatiku. "Emangnya salah kalo gua enggak mau dia putus dari gua?"

"BUKAN GITU!" sergahku. Orang-orang yang masih ada di situ sampai memperhatikan kami. Kebanyakan dari mereka adalah panitia acara.

"Cuma, gimana ya..." suaraku tiba-tiba tercekat. "Harusnya lo bisa baca kondisi, gitu loh. Putri enggak mungkin minta putus gitu aja, kan?"

"Ya iya! Makanya gua kontak dia terus sejak dia putus. Gua pengen tahu dia minta putus dari gua tuh gara-gara apa, Noah! Lu langsung nuduh gua kayak gitu, ngotak dikit napa! Ngerti enggak sih yang gua omongin?" cercanya.

"Maksud gua ya lo jangan kayak gitu juga! Kasih ruang dikit buat Putri. Biarin dia ngejernihin pikiran dia dulu. Jangan malah lo teror kayak gitu," balasku. "Peka dikit dong, Mik! Please!"

"Jangan sok tahu, lu! Lu enggak tahu gimana seluk beluk gua sama Putri kayak gimana. Lu enggak tahu apa aja yang udah gua lakukan buat Putri. Lu tahu apa sampai bisa bilang gua "enggak peka" kayak gitu, hah?" Dia mengira aku membicarakan kepekaannya pada Putri, meski yang kubicarakan adalah kepekaannya secara umum.

"Ya makanya, lo kasih tahu!" balasku. Aku menghela napas, berusaha keras untuk mengendalikan diriku.

"Semakin banyak hal yang lo sembunyiin dari gua, semakin gua enggak bisa nolong lo, Mik. Please. Kalo ada hal lain yang belom lo ceritain soal hubungan lo sama Putri, kasih tahu gua," lanjutku dengan suara paling berat, rendah, dan dalam yang bisa kuciptakan.

"Iya, tapi tetep aja gua enggak salah dong kalo gua coba buat kontak Putri lagi habis putus? Bodoh banget kalo sampe lu masih nyalahin gua." That's it. Darah di kepalaku sudah mendidih. Tinggal menunggu sampai tekanannya menghancurkan kepalaku dari dalam.

Aku mendengkus, lalu berbalik dan berjalan pergi. Sudah cukup berurusan dengan anak setan itu untuk hari ini. I ain't having it.


"Noah!" teriakan itu seakan men-smack down diriku yang lengah. Secara mental. Silakan tafsirkan kalimat tadi sesuka hati kalian. Aku lantas menoleh ke arah sumber suara. Di seberang jalan, Mbak Ratna tampak melambaikan tangan. Ia sedang berteduh di depan sebuah ruko.

Aku menggendong kembali ranselku di punggung. Kusambar kotak rainbow cake yang tadi sempat kulupakan. Aku beranjak dari halte itu, melihat ke kanan dan ke kiri. Aman. Aku pun menerobos hujan ringan untuk mencapai ke seberang jalan.

"Asyik, bawa apa kamu?" tanya Mbak Ratih, sekadar basa-basi. Aku mengangkat lebih tinggi kotak karton berisi kue yang kubawa.

"Kue," jawabku singkat.

Tiba-tiba Mbak Ratna tertawa. "Kamu dapat dari panitia, itu?"

Aku tersenyum lemas, lalu mendecak, "Ceritanya panjang."

Kami pun mengobrol sambil menunggu hujan reda. Meski sebenarnya mahasiswi semester tiga ini jauh lebih banyak bicara daripadaku. Tapi tak apa, lah. Daripada aku disembur Bang Reza lagi cuma karena menyahut "pulang malam banget, Bang?".

***

Senin pagi.

Aku turun di halte bus depan sekolah, bersama beberapa anak lain. Kami bergerombol berjalan menyusuri trotoar dalam sekolah. kendaraan-kendaraan hilir mudik mengantar siswa-siswi. Kebanyakan mobil-mobil mahal. Ada pula sepeda motor yang masuk. Rata-rata anak sekolah, terutama yang sudah kelas 12 dan pegawai di sekolah.

"Widih, ada Noah!" Mendengarnya, aku lantas menoleh ke samping. Loh, Gibran?

"Kemaren lu dateng kagak ke acaranya anak tetmus?" sambungnya.

Aku menjawabnya dengan pertanyaan, "Motor lo ke mana?"

"Lagi masuk bengkel. Rawat inap. Kemaren waktu sunmori ketabrak mobil. Guanya selamat, alhamdulillah. Tapi motor gua?" Ia menggeleng, "Enggak seberuntung yang punya."

"Kuat juga lo habis kecelakaan langsung sekolah," celetukku.

"Yoi dong! Lukanya juga luka kecil ini. Sans, lah. Gua bukan tipe cowok menye-menye yang jarinya keiris pisau nangisnya tiga hari tiga malem, bro," jelasnya panjang lebar. Tahu aja lo kalo gua nangis tiga hari tiga malam gara-gara jari keiris pisau.

Bukan karena teriris pisaunya, sih. Tapi lebih ke mencoba untuk menerima nasibku yang terkena tetanus karena teriris pisau itu. Benar-benar menyakitkan, sampai aku pikir waktuku di dunia tinggal sebentar lagi. Not recommended.

"Ooh," balasku sekenanya.

"Jadi, lu nonton kemarin?" tanyanya lagi. Aku mengangguk.

"Nonton," balasku. "Seru banget. Sayang, sih, lo lewatin kemarin."

"Yaah," tanggapnya. "Ya sudahlah. Masih ada tahun depan."

"Iya, masih ada tahun depan," ujarku membeo.

"Gua duluan ya, No. Gua mesti bantuin Mister buat nyiapin proyektor buat kelas pagi. Dah!" ujarnya dalam satu napas. Lalu ia berjalan meninggalkanku tanpa menunggu balasan dariku.

Semesta seakan tak memberiku waktu sejenak untuk menarik napas. Lamat-lamat ringtone lagu Ariana Grande terdengar dari saku celanaku. Aku merogoh saku yang dalamnya sedalam cintaku pada Ica itu dan mengeluarkan ponselku.

Ah, dia lagi. Sejak setelah acara teater musik itu, Hakan jadi makin rajin menerorku. Sejak itu pula aku jadi malas mengangkat panggilan-panggilannya. Aku butuh rehat setelah kejadian kemarin sore.

"Noah!" panggil suara yang sejak dua minggu belakangan ini akrab di telingaku. Aku lantas menoleh pada sumber suara. Dan pandangan kami bertemu.

Dia berdiri di pinggir lapangan olahraga sambil melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Aku menghela napas, lelah. Hal apa lagi yang ingin dia komplain atau minta untuk kukerjakan?

Tapi tetap saja kakiku berderap menghampirinya.

"Gila lu, No!"Well, selamat pagi juga, Hakan Hafizettin Demirel.

"Gua teleponin lu, chat elu di semua sosmed lu, kenapa lu enggak bales sih?" sewotnya. Ia menyilangkan kedua tangannya di dada.

Aku mengisap tengkukku. "Sori. Gua lagi enggak bisa megang hape dari kemarin sore. Kenapa, emangnya?"

"Kemarin Raka ngaku kalo dia yang mecahin termometer raksa itu!" serunya. Kurasa sebentar lagi ia akan terbang ke bulan, saking bahagianya.

Lalu tanpa kuminta, ia mulai menceritakan kronologi Raka mengakui semua perbuatannya. Dan, oh boy. Aku tak tahu anak ini hanya mengarang atau bagaimana, tapi ceritanya sangat berpotensi untuk dibukukan jadi salah satu adegan dalam cerita misteri.

Setelah ia mendapat petunjuk dariku hari Jumat lalu, ia memberi tahu teman-temannya soal itu. Dan biar kuberi tahu kalian. Teman-temannya langsung mengelu-elukanku layaknya seorang pahlawan. Setidaknya, itu menurut Hakan.

Tapi, hei, setidaknya itu menjelaskan kenapa Jonas tiba-tiba minta kenalan denganku kemarin, kan?

"Hakan," panggilku, menyela ceritanya yang mulai melebar keluar topik. "Soal temen lu. Sama Raka."

"Oh iya." Ia bertepuk jidat, lalu meneruskan ceritanya.

Lalu besok paginya, Raka tiba-tiba meneleponnya dan mengaku kalau ialah yang memecahkan termometer itu. Hakan pun terkejut. Maksudku, bagaimana tidak? Saat itu aku hanya memberitahunya. Dia pun hanya memberi tahu teman-temannya yang jumlahnya enam orang.

Kalau begini, pasti ada seseorang di antara teman-temannya yang bertindak sendiri dan "menodong" Raka terkait termometer itu. Begitu teori Hakan yang aku pun mengamininya.

"Gimana, ye? Gua terima kasih juga gara-gara mereka udah "nodong" si Raka ampe dia ngaku ke gua langsung. Tapi kan gua juga udah bilang kalo itu tuh rahasia di antara kita, No," tuturnya. "Udah gitu Raka waktu ngomong ke gua sambil nangis-nangis, tahu No! Asli, kagak bohong gua!"

"Gila. Itu anak mereka apain sampe nangis gitu waktu ngomong sama gua? Bangga juga gua punya temen kayak mereka," sambungnya. Aku masih bungkam, mendengarkan.

"Mereka juga bukan kali ini doang loh, No, bikin orang sampe nangis-nangis kayak gitu. Nih, gua ceritain. Waktu bulan lalu—"

"Fokus, Kan," selaku.

"Iya, selow bae napa ah!" sewotnya. "Ceritanya juga udah kelar, kok."

Jiah, dia ngambek.

"Ooh," balasku. "Tapi bagus dong, kalo dia udah ngaku? Case closed, berarti."

"Iya, gitu dah pokoknya," imbuhnya.

"Oh iya, No, lu jadi kan gua traktir? Dateng lah, lu! Udah gua baikin kalo masih kagak dateng juga, awas aja lu!" ujarnya (semoga) bergurau.

Lalu aku tertawa canggung, "Iya, iya. Nanti gua lihat jadwal gua kosongnya kapan."

"Sok-sok sibuk banget lu," timpalnya.

"Ya, gitu deh," balasku seadanya. Aku tak mau menceritakan soal kasusnya Mikail.

"Congrats, Kan. Kelar juga itu kasus akhirnya," kataku sambil memasang senyum tipis. Ia mendaratkan telapak tangan kanannya pada bahu kiriku.

"Ini juga berkat lu, sih, jadi cepet selesai. Tapi lain kali mikirnya bisa lebih cepet lagi, enggak?" celetuknya.

Aku tertawa masam. Sialan ini anak.

"Upgrade processor dulu, lah!" timpalku.

"Ya, suka-suka lu, dah!" Melawak memang bukan keahlianku, ya?

***

"Lagi free lu, No?" Anak itu tiba-tiba muncul. Ia mendaratkan pantatnya di sampingku. Aku lantas menoleh pada cowok itu. Oh, hai Mik.

Aku menjawabnya dengan gumaman. Cowok itu menyandarkan punggungnya pada bangku taman tersebut. Kemudian menghela napas.

Dari wajahnya, ia seperti orang yang tersesat di sebuah hutan yang sudah menyerah untuk mencari jalan keluar. Lalu orang itu memutuskan untuk menerima takdirnya sebagai orang hutan dan menjalaninya dengan tabah.

"Gua kepikiran mulu, No, sama kata-katanya Putri ke gua waktu kemarin," ungkapnya. Aku langsung mematikan ponselku dan memasukkannya ke dalam saku celana. Lalu aku pasang telinga.

"Emangnya bener, No? Gua orangnya enggak peka?" tanyanya. Aku sampai hampir tersedak udara yang kuhirup sendiri.

"Tumben?" Setelah itu aku langsung mendeham. "Kalo kata gua sih... ya, lu bukan orang paling peka yang pernah gua temuin."

"Tuh. Berarti gua masih ada peka-pekanya. Salah lu berarti kalo nyebut gua enggak peka." Aku terlompat dari tempat dudukku, tak percaya dengan apa yang kudengar.

"Loh, kenapa sih? Lu mau ninggalin gua juga, kayak Putri?"

Oke, Noah. You don't wanna ruin this, don't you? Aku kembali duduk di tempat dudukku semula.

"Terus poin lo apa?" tanyaku ketus.

"Intinya Putri bukan minta putus gara-gara gua enggak peka sama dia," ujarnya mantap. "Pasti itu cuma alasan dia doang. Pasti ada yang lain di balik dia minta putus sama gua."

Dia menoleh padaku. "No, gua bisa andalin lu, kan?"

"Kalo lo nyuruh gua mata-matain Putri, no. Gua enggak mau," tegasku. Permintaannya mengingatkanku ketika Arga memintaku untuk melakukan hal yang sama pada pacarnya, setahun yang lalu.

"No, please lah. Gua harus tahu apa aja yang dia sembunyiin dari gua," pintanya lagi. Ugh, haruskah kita melakukan ini lagi?

"Enggak. Gua enggak mau. Sana mata-matain sendiri, kalo lo mau," tegasku.

"Ya udah kalo gitu sekarang solusi dari lu apa, dong?"

"Gua juga bingung!" aku menyergah.

Lalu hening. Kami berdua saling tatap. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut kami berdua.

"Sudahlah. Percuma gua minta tolong sama lu," pungkasnya, lalu beranjak pergi. Baru kali ini aku benar-benar ingin menimpuk kepala seseorang dengan batu.

***

Hai, apa kabar?

November udah pertengahan aja nih, wkwk. Enggak berasa banget, ya?

Aku lagi enggak punya topik pembicaraan nih, haha. Baiklah, sampai jumpa hari Kamis!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top