13 | Showtime!
"Udah gua bilang, Ca. Kan yang tugasnya belanja juga gua," kataku. Sambil bicara, tangan kiriku memasukkan tabung konfeti ke dalam keranjang.
"Emangnya salah kalo gue temenin? Lagian kalo bukan gue yang ngasih tahu lo soal toko ini lo pasti udah ngabisin dua kali lipat uang yang bakalan lo pakai di sini," gerutu cewek itu dalam satu tarikan napas.
"Iya juga, sih," imbuhku mengaku. Mataku masih fokus pada kertas struk yang kugunakan untuk mencatat daftar belanja dan rak barang di depanku.
"Lo kuno banget sih, masih bikin daftar belanja pakai kertas," ledeknya. "Sini deh, daftar belanjanya. Yang kurang aja aja. Biar gue bantu cariin."
Aku bergeser dua langkah ke samping kiri.
"Iya, biarin. Kan gua orangnya kolot," timpalku. Tangan kananku mengangkat ke atas, berusaha meraih lilin ulang tahun di rak paling atas. Aku menoleh pada Ica. "Boleh bantuin?"
Ica mendengus, seperti berusaha menahan tawanya. "Lo yang lebih tinggi dari gue aja enggak nyampe. Apa lagi gue."
Lo jadi jutek gini kenapa sih, Ca?
"No," panggilnya.
"Hm."
"Kenapa lo enggak langsung nyari sumber permasalahan antara Ica sama Mikel aja, deh? Kalo begini kan jadinya enggak langsung nyasar ke masalah utamanya," tanyanya.
Oh, jangan-jangan ini yang bikin dia ngambek.
"Anggaplah kejutan kita berhasil. Terus apa? Putri mau balikan sama Mikail gitu aja?" lanjut cewek itu. Ia mengekoriku setiap kali aku menggeser posisi di sepanjang gang itu.
"Kalo enggak mau bantu gua, ya sudah," balasku ringan.
"IIIH bukan begitu!" ambeknya. "Gue kira kalian semua cuma bercanda waktu kemarin..."
"Lo-nya juga setuju-setuju aja, lagi," ledekku sambil tertawa. "Ica, Ica."
"Terus, kenapa lo tiba-tiba pengen nemenin gua belanja? Kan lo sendiri tugasnya nyiapin kue," sambungku. Akhirnya aku meraih lilin yang ada di rak yang bisa kujangkau.
"Ya lo kira gue bisa bikin kue?" tanyanya retoris.
Jawabannya tidak.
Aku menyembur tertawa. Kenangan saat kelas Tata Boga tahun lalu melayang masuk ke dalam pikiranku.
"Ca," panggilku. "Kelas Tata Bo―"
"IIIH jangan diungkit-ungkit, deh! Gue malu, tahu!" Ica meninju bahuku lumayan keras. Namun tak mengurangi volume tawaku.
Intinya, suatu hari guru Tata Boga kami yang mengidap diabetes sampai harus dibawa ke rumah sakit. Setelah diusut, ternyata penyebab gula darah beliau naik tiba-tiba adalah keik buatan Ica yang amat sangat manis.
"Pokoknya gue pengen beli keik di toko roti, dah!" lanjutnya.
"Iya, iya," ujarku mengalah. Aku kembali menengok daftar belanjaku. Konfeti sudah. Lilin kue sudah. Masih ada karton putih, cat pilok tiga warna, spidol yang tak dijelaskan lebih lanjut, dan cetakan stensil. Sebenarnya ini buat apa, sih? Bukannya di rencananya cuma butuh kue sama konfeti doang, ya?
"BTW, Omar fine-fine aja lo jalan sama gua?" tanyaku tiba-tiba. Sedetik kemudian aku menyumpahi diriku sendiri. Aku pasti akan menyesal telah menanyakan itu.
"Hah?" Hah? "Kenapa tiba-tiba lo tanya kayak gitu?"
Loh?
Responsnya sukses menyedot perhatianku. Aku menoleh padanya, lalu kembali bertanya, "Bukannya kalian... akhir-akhir ini lagi deket?"
Lalu cewek itu tertawa canggung, "Iya. Gue lagi deket sama dia."
"Ini enggak ada hubungannya sama yang lo tanyain waktu itu, kan? Pas habis kumpul OSN dua minggu yang lalu?" Ia balik bertanya.
"Hah?"
"Oke, lupain." Pertanyaan yang mana?
"Enggak jelas, lo."
"Biarin!" Cewek ini! Pandai sekali mencairkan suasana canggung. Tak heran jika ia kerap ditunjuk jadi MC. "Masih ada lagi yang mau dicari, No?"
Aku mengangguk, "Masih, nih."
Kami beranjak dari gang itu untuk mencari peralatan yang masih kurang. Selesai urusan di toko peralatan pesta itu, kami pergi ke sebuah toko roti. Toko roti itu letaknya tak jauh dari toko pesta tadi. Kalau ditempuh dengan jalan kaki, kutebak hanya makan waktu sepuluh menit.
Tapi Ica membawa mobil, yang menurutku sedikit berlebihan. Maksudku, hello? Menggunakan mobil untuk menempuh jarak yang singkat? Dengan hanya dua penumpang di dalamnya? Ms. Thunberg wouldn't be happy if she finds out about that.[1]
"Lo punya SIM?" tanyaku begitu mobil mulai mengaspal.
"Punya, lah. Gue lahir bulan Juli. Empat bulan lebih tua dari lo," ledeknya untuk yang kesekian kalinya hari ini.
"Iya, Nek. Noah juga tahu soal itu," balasku sengit.
"BTW, lo belom jawab kenapa lo pengen barengan sama gua," lanjutku. Aku menoleh padanya. Mau dilihat dari samping pun wajahnya tampak cantik.
Ia tiba-tiba menoleh padaku. Pandangan kami bertemu untuk sesaat. Cewek itu kembali fokus pada jalanan di depan.
"Kan tadi udah dibahas. Masa lo lupa?" balasnya sambil sesekali menoleh padaku.
"Hah?... Oh iya!" Enggak. Ini serius. Aku betulan lupa. Akhir-akhir ini ingatanku yang selektif bertambah parah dengan jangka waktu memori yang memendek. Entahlah. Mungkin salah satu sebabnya karena akhir-akhir ini aku kurang tidur.
"Omong-omong soal keik," mulai Ica, "Ini tema kejutannya soal apa, deh?"
Aku kembali menoleh padanya, "Loh? Enggak tahu juga gua. Kayaknya kita kemarin enggak ada ngomongin soal tema, deh."
CIIT!
Ica tiba-tiba mengerem mendadak, menyebabkan efek domino bagi mobil-mobil di belakangnya. Juga simfoni klakson mobil yang mengerikan. Aku sendiri hampir terpelanting dari kursiku. Beruntung aku memakai sabuk pengaman. Jika tidak, mungkin aku sudah melayang keluar dari jendela depan mobil.
"Ca, lo mending maju, deh," saranku. Ica kembali menginjak pedal gas. Aku menengok ke kursi tengah. Peralatan yang baru saja kami beli berserakan akibat pengereman tadi.
"Gimana gue bisa tahu kue apa yang mau dibeli kalo konsep kejutannya aja enggak ada?!" omelnya sambil terus mengemudi.
"Sori, alright? Gua juga baru kepikiran sekarang gara-gara lo ngomongin soal ini," kataku.
"IH!" erangnya, "Lo tuh niat enggak sih ngerencanain kejutan ini?"
"Ya..." Aduh, bagaimana ya menjelaskannya?
"Jadi?" desaknya.
"Gue ngerencanain kejutan ini karena gue enggak tahu mau gimana lagi buat nyelesaiin masalahnya Mikail sama Putri, oke?" ungkapku.
"Ya, tadi kan gue juga udah tanya ke elo, kenapa lo enggak langsung nyari tahu akar permasalahannya Mikel sama Putri daripada bikin kejutan segala kayak begini?" tanyanya sebal.
Aku ingin menjawab, tapi sudah terlanjur kehilangan energi bahkan sekadar untuk mengalihkan pembicaraan. Akhirnya aku menjawab pertanyaan itu di dalam hatiku saja.
Asal lo tahu, Putri aja bahkan enggak mau ngomong lagi sama gua gara-gara gua tanya-tanya terus sama dia. Terus lo mau gua ngapain? Minta tolong sama dukun?
Pertanyaan Ica pun menjadi penutup pembicaraan kami sepanjang perjalanan.
Akhirnya kami sampai di toko roti yang Ica maksud. Tokonya kecil. Parkiran di samping toko pun hanya muat tiga mobil. Aku tak begitu memperhatikan untuk parkiran motornya.
Aku tak begitu paham dengan desain bangunan. Tapi sejauh yang bisa kukatakan, fasad bangunan tersebut bergaya campuran antara vintage dan minimalis. Satu-satunya warna yang membalut fasad bangunan adalah warna cokelat latte.
Jendela depan toko roti itu sangat besar. Tidak sampai satu dinding. Kurang lebih dua per tiganya. Pada jendela tersebut terdapat nama toko roti tersebut dicetak dengan huruf model-model klasik. Aku lupa istilahnya apa. Sheriff? Pokoknya yang seperti itu, lah.
Bel pintu berdering ketika Ica membuka pintu. Kami berdua masuk ke dalam dan langsung menuju konter. Kuperhatikan ada tiga orang yang sedang makan di sini. Duanya adalah pasangan yang sedang pacaran di sini. Sedangkan yang satunya lagi duduk sendiri dan asyik dengan laptopnya, sambil sesekali menyesap kopi dari cangkir.
"Pesan kue apa, Ca?" Ternyata cewek itu sudah membuat pesanan.
"Rainbow cake," ungkapnya.
"Serius?" Kedua alisku bertaut.
"Salah sendiri pakai enggak nentuin tema dulu."
"BTW kan lo kemarin juga ikut diskusi, Ca."
"Gue kemarin kayak enggak didengerin," pungkasnya.
"Sori..." cicitku pelan.
Ica menghela napas, lalu mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Aku memutuskan untuk membiarkannya sendiri dulu.
Lima menit kemudian, pegawai toko roti itu memanggil nama Ica. Ica kembali ke konter untuk mengambil pesanannya. Setelah itu kami kembali ke mobil. Kami bergerak menuju rumah Sofia untuk melakukan perencanaan lebih lanjut.
***
"Tegang banget lo kayaknya," celetuk Mikail. Kami berdua berjalan beriringan di bawah langit yang cerah menuju auditorium sekolah. Pertunjukan teater musikal itu akan dimulai lima menit lagi.
Aku membalasnya dengan tawa kecil.
"Santai aja, No. Aneh sih lu. Yang punya kepentingan gua, yang tegang malah elu," tambahnya.
Petugas tiket menyapa kami begitu kami sampai di depan auditorium.
"Good morning," sapanya. "Can I have your ticket, please?"
"Harus bahasa Inggris banget, nih?" ledek Mikail. Sepertinya cowok tinggi itu adalah salah satu dari teman-temannya.
"Ayolah," balas cowok itu singkat. Tangan kanannya terulur, meminta tiket teman karibku itu. Mikail memberikannya. Cowok itu merobeknya dan mempersilakan Mikel masuk ke dalam. Aku pun melakukan hal yang sama.
Berdasarkan jumlah tiket yang dijual, aku bisa menebak kalau kapasitas auditorium ini mencapai tiga ratus orang. Sepanjang satu setengah tahun ini aku bolak-balik mendengar rumor peningkatan kapasitas auditorium. Tapi, entahlah. Sampai sekarang masih begini-begini saja.
"Untung masih ada tiket sisa, No," ujar Mikail begitu aku berhasil menyusulnya.
Aku kembali tertawa, "Gila. Nepotisme at it's finest, bro."
Singkat cerita, anak ini berhasil mendapatkan satu tiket lagi untukku dari temannya yang merupakan seorang petugas ticketing di acara ini. Jika bukan demi membantunya pun aku tak akan menerima tiket itu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme itu buruk, mau bagaimana pun bentuk dan tujuannya.
"Woh iya, dong! Temen gua banyak, nih. Kalo urusan yang beginian mah kecil, dah!" ujarnya, membanggakan kelakuannya. Aku hanya membalasnya dengan tawa seikhlasnya.
Kami berjalan mengelilingi auditorium itu untuk mencari kursi kami. Agak sulit ditemukan, tapi akhirnya ketemu juga. Posisi kursi kami ada di sisi kiri auditorium. Sudut pandangnya agak tak nyaman, seandainya aku benar-benar berniat untuk menonton pertunjukan itu. Lagi pula aku datang kemari hanya karena rencana kejutan itu.
Oh iya, omong-omong soal rencananya, kira-kira Ica sekarang ada di mana, ya?
Aku spontan menepuk jidatku. Sadar, Noah! Dia sudah ada yang punya! Atau setidaknya begitu yang kupikirkan. Pemain basket putri itu selalu menghindar setiap kali aku menyinggung masalah kedekatannya dengan Omar.
Seseorang menyikut lengan kiriku. Aku yang bahkan tak sadar kalau ada kursi lain di sebelah kiriku lantas menoleh. Cowok yang duduk di sampingku tampak mengulurkan tangannya.
"Lu Noah, kan?" tanyanya ramah. Aku mengangguk.
"Kenalin. Jonas, temennya Hakan," sebutnya memperkenalkan diri.
Jones? Jomblo ngenes?
"Noah. Kenal sama Hakan," balasku sambil menjabat tangannya.
Tak lama berselang, lampu auditorium mulai dimatikan. Satu-satunya sumber cahaya yang tersisa hanya dari lampu panggung yang menyala terang. It's show time.
Uploaded by RS on 10/04 at 10.32 PM Local Time
***
Apa kabar semuanya? Semoga di mana pun kalian membaca ini, kalian ada dalam keadaan baik-baik saja. Semuanya itu termasuk kamu, Noah.
Oh iya, sebenarnya ini satu bab tapi kupotong jadi dua. Jumlah katanya sampai lebih dari 3.000 soalnya, wkwk (hitungan Word. Kalau hitungan kata di Wattpad biasanya lebih sedikit dari hitungan kata di Word. Enggak tahu juga kenapa). Bab ini bab yang paling seru waktu aku tulis, sejauh ini.
Sampai jumpa hari Kamis!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top