11 | Jatuh, Bangun, Jatuh Lagi
Akhir pekan berjalan dengan lambat. Hakan masih saja menerorku saat aku sedang berusaha untuk menikmati hari libur. Yang kumaksud dengan "menikmati hari libur" adalah berkutat dengan tugas-tugas yang mulai menumpuk. Juga berusaha menganalisis video yang Hakan berikan padaku tempo hari.
Beberapa kali aku mengumpat dalam hati sambil terus-menerus memutar ulang video itu. Apa yang harus kusaksikan dari video ini selain seorang cewek berjoget di depan kamera dan suara termometer pecah? Apa anak setan itu mengira aku ini seorang indigo?
Hari Senin-nya, aku mendapat kabar dari Sofia kalau usaha mereka gagal. Tiga kali. Ya, memang sudah kuperkirakan, sih.
Aku pun kembali memutar otak. Lalu lagi-lagi aku meminta bantuan temanku di kelas Bahasa Inggris itu. Kali ini aku memintanya untuk mengorek informasi dari Putri soal kencan mereka yang berantakan tempo hari. Gagal juga. Cewek itu masih tidak mau bicara.
Akhirnya aku turun tangan langsung untuk menanyai Putri soal apa yang terjadi saat kencan mereka waktu itu. Dan sekarang cewek itu tak mau bicara lagi denganku.
Sekarang Kamis siang. Hampir seminggu berlalu setelah aku melihat Ica tampak dekat dengan cowok blasteran itu.
Aku duduk di meja kantin, mengaduk-aduk isi mangkuk bakso di hadapanku. Mikail yang duduk di hadapanku pun melakukan hal yang sama. Bedanya, ia mengaduk-aduk spageti di piringnya.
Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut kami. Baik aku dan cowok di hadapanku itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Oh, Mikail menghela napasnya.
"Terus gimana, dong sekarang? Gua bingung banget, No. Udah coba ini coba itu masih aja kagak ada yang berhasil," keluhnya. Ia lantas menggulung spageti dengan garpunya, lalu memasukkan buntalan spageti itu ke mulutnya.
Aku melakukan hal yang sama dengan mi kuning di mangkuk baksoku.
"Ya, gimana? Lo aja bingung, apa lagi gua," balasku seadanya.
Kami kembali fokus pada makanan masing-masing.
"Lu udah coba tanya langsung ke Putri-nya, No?" tanyanya.
"Udah. Sekarang dia malah enggak mau ngomong sama gua lagi." Aku melahap sepotong bakso setelah selesai mengucapkan dialog itu.
Ia kembali menghela napas. Beberapa kali lagi dia melakukannya pasti akan keluar api dari kedua lubang hidungnya yang kembang kempis itu.
"Emangnya kita udah ngapain aja dah, buat bikin Putri mau balikan sama gua?" Ia hendak menyandarkan punggungnya, lalu berhasil ingat kalau kursi kantin tidak punya sandaran punggung sebelum terlambat.
Aku tertawa melihat kelakuannya. Dalam hati. "Sejauh ini baru tanya-tanya doang, sih. Tapi, ya, si Sofia tanya ke dia aja kagak dijawab. Apa lagi gua yang tanya."
Mikail tiba-tiba mengacak-acak rambutnya, lalu beranjak dari bangkunya.
"Spagetinya?" tanyaku.
"Makan aja. Buat lu," cowok itu mulai berjalan pergi. "Piringnya lu taro sendiri!"
"Aye aye, captain."
Rezeki tak pernah datang di waktu yang salah.
***
Selesai menghabiskan makan siangku, termasuk spageti milik Mikail, aku masih punya waktu sekitar dua puluh menit sebelum bel berikutnya. Jadi aku menghabiskan sisa waktu itu dengan pergi ke perpustakaan yang kebetulan terletak di samping kantin.
Aku tidak pergi ke sana untuk membaca buku, tapi untuk mendinginkan badan. Ngadem. Karena, biar kuberi tahu, dinginnya AC di gedung perpustakaan satu lantai itu sudah sebelas-dua belas dengan AC di Gedung Administrasi.
Waktu istirahat makan siang tinggal lima menit lagi. Aku menggerakkan kakiku kembali menuju lokerku. Aku ada kelas Biologi setelah ini.
Sesampainya aku di lokerku, aku berhenti sejenak dan mengatur napas. Aku sampai ngos-ngosan setelah menempuh perjalanan dari perpustakaan kembali ke sini. Setelah merasa bisa berjalan beberapa puluh meter lagi tanpa kolaps, aku menyiapkan tas jinjingku dan berjalan ke kelas Biologi.
Kelas itu letaknya di gedung A1. Aku harus melewati jembatan antargedung jika tak ingin kulit terbakar lebih lanjut oleh sinar matahari.
Dari tengah jembatan, aku dapat melihat ke luar dengan jelas melalui dinding-dinding kacanya. Aku menengok ke kiri. Dapat kulihat dengan jelas jalan masuk kendaraan ke dalam sekolah. Di ujung jauh jalan itu ada sebuah gerbang besar yang menjadi saksi sakit hatiku, Jumat sore minggu lalu.
Aku menghela napas, lalu lanjut berjalan menyeberangi jembatan. Tinggal beberapa belokan lagi menuju kelas Biologi.
Kini yang membatasi antara diriku dan ruang kelas Biologi tersebut hanyalah sebuah pintu. Aku meraih gagangnya. Dan di saat itu pula aku mendengar bunyi benturan yang keras, diiringi deritan furnitur yang memekakkan telinga.
Aku membanting pintu sampai pintu itu terlepas dari engselnya. Enggak deng, cuma bercanda. Tapi pintunya tetap mengeluarkan suara yang keras saat menghantam tembok.
Di hadapanku, tersaji sebuah pemandangan horor. Ica terduduk di lantai sambil memegangi lututnya. Di sebelahnya, sebuah kursi terbaring di lantai. Tercerai berai. Seakan Hulk baru saja mengoyak kursi itu berkeping-keping.
Aku malah hampir tertawa melihat keadaan itu.
"ICA? LO KENAPA?" tanyaku sambil berusaha menutupi tawaku dengan rasa panik. Aku menyerbu masuk ke dalam kelas, menghampiri gadis itu.
Tangan kirinya tiba-tiba menunjuk ke atas. Tepatnya ke arah atas papan tulis. Kepalaku ikut menengok ke arah yang ditunjuknya.
"Presiden?" lontarku spontan.
"BUKAN!" semburnya. Aku sampai terperanjat mendengar suaranya tiba-tiba melonjak.
"Penghapus gue nyangkut di atas papan tulis."
Kali ini aku betulan tertawa. Sampai menyembur. Maksudku, whaaaaaat? Gimana ceritanya penghapus dia bisa sampai nyangkut di atas papan tulis?
"Jangan ketawa!" Dia menampar punggungku sampai berbunyi I love you.
Ya, enggak beneran bunyi kayak gitu, sih.
Selanjutnya aku menanyakan hal yang sama dengan yang telah kutanyakan lebih dulu dalam pikiranku soal bagaimana caranya penghapus itu bisa menyangkut di atas papan tulis.
"Kan tadi gue lihat ada cicak di atas papan tulis situ. Terus, ya gue iseng aja ngelempar cicaknya pakai penghapus gue. Terus malah beneran nyangkut di situ papan tulisnya." Mungkin yang dia maksud penghapusnya yang tersangkut di atas papan tulis.
"Terus kan gue mau ngambil penghapus gue pakai kursi itu." Ia menunjuk kursi yang babak belur itu. "Pas gue naikin, kursinya malah roboh."
Beberapa anak lain mulai masuk ke dalam kelas. Tak lupa mereka meledek dan menimpali Ica dan kursi hancur di sampingnya. Tak lupa pula cewek itu membalas omongan mereka.
Aku menjulurkan tangan kananku. Ica meraihnya dan membantu dirinya sendiri untuk berdiri dengan tangan kananku. Kami pun mengambil tempat duduk di sisi yang berseberangan dengan pintu kelas.
"Terus itu kursinya gimana?" tanyaku.
"Kok malah jadi lo yang khawatir soal kursinya?" Aku menjawabnya dengan mengedik.
"Ya, masa mau dibiarin begitu aja?" ujarku melengkapi kedikan bahu tadi.
"Kalo gitu terus kursinya mau lo apain?"
"Iya juga, sih."
Anak lain masuk ke dalam kelas dan menanyakan soal kursi yang luluh lantak itu. kujawab saja kalau Hulk baru saja datang dan merobek kursi itu. Namun setelah itu aku sadar kalau melawak itu tidak semudah yang kukira.
"No mending lo diem deh daripada lo bikin malu diri lo sendiri," usulnya setelah cowok yang baru masuk itu menertawai joke-ku. Secara ironis.
"Agreed," sambarku.
"Oh iya No, lo kemarin berantem sama Arge lagi? Gara-gara apaan emangnya?" Waduh. Ternyata beneran sudah tersebar beritanya.
Mau tak mau, aku pun menceritakan padanya apa yang terjadi hari Kamis yang lalu.
"Sebenernya enggak bisa dibilang berantem juga, sih," pungkasku mengakhiri penjelasan panjangku. Selama aku menjelaskan, cewek itu tidak bisa diam. Dia selalu bertanya tentang hal-hal yang baru saja kusampaikan. Jujur saja, bagiku itu agak mengganggu.
"Oooh," lontarnya. "Tapi gue heran, deh, No. Emangnya, lo sama Arge ada sejarah apa, sih, sampe jadi musuhan kayak gini? Kan lebih enak kalo lo sama dia damai, terus temenan."
Aku menenggak ludahku sendiri. Duh, bagaimana ya, aku harus menjelaskannya?
"Lo beneran pengen tahu?"
"Iya, lah! Siapa tahu dengan lo cerita soal akar permasalahan lo sama Arge, gue bisa bantuin lo supaya bisa damai lagi sama dia," katanya. Aku tertawa kecil mendengarnya.
"Oke, oke," balasku. Sekarang aku jadi seperti sedang berkonsultasi untuk membantu menyelesaikan masalahku sendiri.
Aku sebenarnya berniat berbohong.
Jujur, aku tak siap untuk kembali menyelami kenangan pahit itu. Bukan pahit yang bagaimana, sih. Hanya saja, kejadian ini begitu membekas bagiku hingga bahkan memikirkannya saja pun aku hampir tak sanggup.
Tapi karena dia, cewek yang sedang menungguku untuk menceritakan semuanya ini, adalah orang yang sangat sangat istimewa bagiku... baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya.
Semuanya berawal saat aku pertama kali bertemu dengannya, Juli tahun lalu. Yang kumaksud adalah Arge, bukan Ica.
Kami berdua satu kelas di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Dan sejauh yang bisa kuingat, dulu kami cukup dekat. Kami mengerjakan banyak tugas bersama, makan siang bersama di kantin bersama teman-temannya, hanya yang begitu, sih. Sesekali aku ikut mereka jalan-jalan dan nongkrong. Aku tak begitu senang diajak nongkrong-nongkrong begitu.
Lalu suatu hari, dia datang dan minta bantuan padaku.
Tentu saja waktu itu, aku sebagai sahabatnya tak tega untuk menolak permintaan itu. Ia pun menceritakan masalah apa yang dialaminya. Ternyata ia baru saja putus dengan pacarnya. Aku pun memulai penyelidikanku. Aku benar-benar sampai menguntit mantan pacarnya itu untuk mencari tahu lebih lanjut soal akar dari permasalahan mereka.
Aku mencurahkan seluruh tenaga dan pikiranku untuk membantu orang yang benar-benar sudah kuanggap saudara sendiri. Ya, meski setelah kutinjau balik momen-momen yang kuhabiskan bersamanya, aku jadi meragukan apakah dia pernah menganggapku sebagai sahabatnya juga. Tapi, sudahlah. Bukan itu yang ingin kubahas.
Singkat cerita, semua usaha yang telah kami lakukan tak ada yang berhasil. Lalu anak itu dengan bodohnya mengacaukan semua yang telah kami kerjakan dengan memacari orang lain. Setelah fakta itu terungkap, semuanya runtuh seperti rumah kartu.
Entah bagaimana caranya, kabar soal itu sampai ke telinga mantan pacarnya. Fakta lain pun terungkap. Ia mencuri uang milik mantan pacarnya itu untuk jalan-jalan bersama temannya. Semuanya jadi kacau, aku tak akan bohong.
Lalu berakhirlah semua usahaku untuk membantunya balikan dengan mantan pacarnya. Dan parahnya lagi, ia menyalahkan diriku atas semua yang terjadi padanya.
Maksudku, hello? Siapa yang pacaran dengan orang lain sambil berusaha untuk mendapatkan kembali mantan pacarnya? Siapa yang mencuri uang dari mantan pacarnya untuk jalan-jalan bersama teman-temannya? Siapa yang mengacaukan usaha kami sejak awal?
"Gila..." tanggap Ica. Mulutnya sampai menganga takjub.
"Dan kalo boleh jujur, itu juga salah satu yang bikin gua mikir dua kali waktu Mikail minta tolong gua supaya balikan sama Putri." Gadis itu kembali terkesiap. Tunggu, memangnya aku belum pernah cerita padanya, ya, soal ini?
"Mikail sama Putri putus?" Sumpah, muka dia kalo kaget lucu banget wkwk.
"Gua kira lo udah tahu?" balasku. Heck, aku saja lupa kalau dia kenal dengan Mikail dan Putri atau tidak. Tapi dari responsnya, aku menduga kalau ia kenal keduanya.
"Lo kagak pernah cerita ke gua, No. gimana gue bisa tahu?" Ia meraih botol airnya dan meminum air dari dalamnya. "Omong-omong, ini gurunya kenapa enggak datang-datang, sih?"
"Enggak tahu." Aku menoleh pada sang ketua kelas. "Hey, Gab! Got a word from Mrs. Tika?"
Hei, Gab, sudah dapat kabar dari Bu Tika?
Oh iya, Gabriel ini siswa asing dari Filipina.
"I'd be surprised if she knows how to properly use her phone," balasnya, diikuti tawa anak yang lain termasuk diriku. Gue bakalan kaget kalo beliau bisa make hapenya dengan benar.
"That's a good one," sahutku.
Ica tiba-tiba menimpuk lenganku.
"Lo munafik banget, tahu enggak? Di depan guru tingkahnya alim, di belakang guru malah ngegibahin," ujarnya dengan nada meledek.
Aku menoleh kembali padanya. "It's called camouflage."
"Ya, enggak gitu juga dong? Tetep aja munafik dong itu namanya." Setelah kupikir lagi, cewek ini kayaknya bakalan cocok untuk memerankan peran ibu-ibu Betawi di kelas Teater.
"Eh itu ceritanya gimana lagi No, si Putri sama Mikail?" tanyanya.
Lagi-lagi aku ingin berbohong padanya soal penyelidikan itu. Bukannya bagaimana, tapi aku tak ingin jika masalah yang sedang kutangani diketahui banyak orang. Karena pada sebagian besar kasus yang kutangani, makin publik kasusnya, makin kompleks penyelesaiannya.
Tapi lagi-lagi aku berkata jujur padanya. Akan jadi apa kalau Ica tahu aku berbohong? Bisa jadi kesempatanku untuk mendapatkannya akan tertutup rapat untuk selama-lamanya.
"Lo kenapa enggak bilang aja ke gue, No? Kan gue bisa bantuin elo," katanya seusai aku menceritakan keadaan kasus Putri dan Mikail saat ini padanya.
Aku tertawa kecil. "Kalo butuh bantuan gua juga bakalan cerita."
"Wait. Wait. Jadi lo bilang lo lagi mandek progres kasusnya?" Wah, sialan. Sebentar lagi ia pasti akan meledekku. "Gilaaaaaa baru kali ini gue lihat seorang Noah mandek waktu nanganin kasus."
Dia belum tahu saja waktu aku menangani sengketa wewenang OSIS dan MPK waktu itu.
"No, gue pengen ngasih tahu lo satu info. Tapi lo juga harus ngasih tahu info yang gue minta. Gimana?" Angin memberitahuku kalau ini akan jadi seperti Kamis minggu lalu. Waktu dia menunjukkan foto dirinya berduaan dengan Omar, ingat?
Namun karena kurasa aku akan membutuhkan apa pun info yang akan ia beri tahu padaku, akhirnya aku menyetujui tawarannya.
"Oke," kataku.
"Oke. Deal, ya?" Ia tak menunggu responsku. "Jadi setahu gue, Putri ini seneng banget kalo dikasih kejutan gitu. Kayak surprise-surprise manis yang kayak di film-film romance itu, loh. Kata gue bisa tuh kalo lo sama Mikel ngasih kejutan ke Putri."
"Oh iya?" balasku terkejut. Sialan, kenapa ini tak pernah terpikirkan olehku?
"Iya. Semester lalu gue ada kelas yang barengan sama dia. Kebetulan pas lagi kelas dia dikasih kejutan ultah gitu sama temen-temennya. Bisa kali tuh No, lo bikin modelnya kayak kejutan ulang tahun," sambungnya.
"Lo mau bantuin gue, gak?" ujarku spontan.
"Bantuin apaan?"
"Nyiapin kejutan buat Putri."
"Digaji, enggak?"
"Digaji. Pakai ucapan terima kasih." Ia menjitak kepalaku. Aku hanya bisa tertawa kencang melihat tingkahnya.
Baiklah, ini agak bertentangan dengan salah satu prinsipku untuk mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Namun, siapa tahu cewek ini bisa jadi lebih berguna daripada sekadar memberikanku nasihat dan menjitak kepalaku.
"Oke. Kan gue udah ngasih tahu info dari gue. Sekarang gue pengen minta info dari lo."
"Info yang kayak gimana?" tanyaku.
"Sebentar." Ia mengeluarkan ponselnya. Dan kekhawatiranku semakin memuncak. Rasanya seakan-akan rongga dadaku sedang diperas hingga tak ada atom oksigen yang tersisa di dalam paru-paruku.
Namun ia meletakkan kembali ponselnya di meja. Seketika itu pula aku merasa lega.
"Jadi gue suka sama satu orang cowok."
Aku bisa mendengar hatiku terpotek lagi jadi dua.
"Dan?" Aku berupaya keras untuk menahan rasa sakit hatiku.
"Gue pengen minta pendapat lo soal dia," lanjutnya. Itu, kekasih hatiku, namanya meminta pendapat. Bukan meminta informasi.
"Oke," balasku.
Ia menarik napas. "Oke. Gue enggak bakalan langsung nyebut namanya. Tapi gue bakalan nyebutin karakteristik dari cowok yang gue suka. Nanti lo kasih pendapat lo soal cowok yang gue deskripsiin. Gimana?"
"Go ahead."
"Jadi si cowok ini tuh tinggi. Orangnya baiiiik banget. Baik banget, deh. Orangnya juga peduli banget sama gue. Terus dia ini blasteran." Oke, calm down, Noah. Omar bukan satu-satunya cowok blasteran di sekolah ini.
"Blasterannya Indonesia sama Eropa." Ia menyembur tertawa. "Gue lupa apa nama negaranya. Em, terus dia ini orangnya juga asyik banget. Gampang akrab sama siapa aja. Walaupun kalo ngomong kadang suka nyelekit banget. Tapi, gue pikir itu emang udah jadi kebiasaannya orang-orang sana..."
Aku tak mendengar penjelasannya berikutnya. Sudah jelas bagiku tentang siapa orang yang disukainya. Thor Omar Arnarsson.
"No?" Aku terperanjat sadar dari lamunan singkatku.
"Lo dengerin, kan? Gimana pendapat lo?" tanyanya.
"Good afternoon, class! I'm sorry I'm late. We had this, uh, little commotion back at the Admin Building. But now it's all clear," ujar Bu Tika sembari berjalan masuk ke kelas dengan tergesa-gesa. Selamat siang, kelas! Maaf saya terlambat. Ada sedikit kegaduhan di Gedung Administrasi, tapi sekarang sudah reda.
Aku menengok arlojiku. Beliau terlambat hampir dua puluh menit.
"No!" Ica menepuk bahuku, mengembalikan perhatianku padanya.
"Gimana pendapat lo?" tanyanya lagi.
Aku membeku. Kami berdua saling tatap. Sementara itu Bu Tika sedang asyik menyiapkan laptop dan menghubungkannya dengan proyektor kelas.
"Ya, menurut gua sih dia cowok yang baik, Ca. Kata gua bakalan cocok, deh, sama lo." Now I gotta wash my mouth out with soap.
"And, does anybody have an explanation for that chair?" tanya Bu Tika setelah beres menyiapkan laptopnya. Dan, apakah ada yang punya penjelasan terkait kursi itu?
Uploaded by RS on 10/01 at 08.57 PM Local Time
***
Selamat malam! Semoga di mana pun kalian berada, kalian membaca cerita ini dalam keadaan yang baik-baik saja.
Enggak terasa, 2021 sudah mau kelar. Resolusi tahun baru kalian kelar semua enggak nih? Aku sih enggak. Enggak bikin resolusi, maksudnya. Wkwkwk.
Sampai jumpa hari Kamis!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top