10 | Omongan Itu Doa

Pagi ini langit tampak muram.

Untuk yang kesekian kalinya, aku melirik payung kecil yang kuselipkan di kantung samping ranselku. Hanya untuk memastikan payung biru pastel itu tak hilang dicuri orang. Setelah membetulkan posisi payung itu, aku melangkah masuk ke gedung A.

Dan udara dingin pagi yang mendung segera berganti dengan udara dingin dalam gedung.

Aku menyilangkan kedua tanganku di dada, berusaha memerangkap panas dalam sweter merah marun yang kukenakan. Kulihat anak-anak lain pun mengenakan lapisan pakaian lain di atas seragam hari Jumat mereka.

Aku lanjut berjalan menuju lokerku, menyapa beberapa orang sembari berjalan.

"Noah!" Ya Tuhan, sekarang masih jam tujuh pagi!

Aku memperlambat jalanku supaya anak itu bisa mengejar. Kami saling sapa dan akhirnya berjalan beriringan. Aku bisa menebak apa yang akan dikatakan anak yang tingginya sebelas-dua belas denganku ini.

"Apa kabar lu, No? Seharian kemarin gua kagak ngelihat elu, perasaan. Sibuk lu?" mulainya.

Aku tertawa kecil. "Sibuk parah, sih."

"Bagus, lah. Tapi tetep, ya. Jangan lupa sama gua sama Putri, loh. Awas kalo lu sampe lupa." Aku tahu itu kemungkinan besar cuma guyonan, tapi... tetap saja menyebalkan mendengar kata-kata itu.

"Iya, lah."

Lalu berganti hening. Kami berdua berjalan lambat menyusuri koridor lantai dua gedung A yang AC-nya tetap dinyalakan seakan di luar sedang panas. Bisingnya suara obrolan teman-teman yang lain seakan menjadi musik latar kami.

Setelah sekian saat, aku mendeham. Memecah kesunyian di antara kami yang mulai berubah jadi canggung.

"BTW, sori ya. Buat..." Aku menghela napas, "yang kemarin-kemarin."

Mikel menoleh padaku. "Iya, enggak apa-apa. Gua ngerti lu takut. Tapi lain kali lu harus berani, No. Siapa yang tahu kesempatan apa yang lu lewatin cuma gara-gara lu takut buat action."

Aku tertawa mendengus, tak membalas omongan anak itu.

Tiba-tiba Mikail menyembur tertawa. "Keren juga, ya. Lu kalo berhasil, bisa nih No bikin usaha konseling hubungan. Jadi relationship advisor. Personal relationship advisor, deng."

Kali ini giliranku yang tertawa. "Kok personal?"

Ia mengedikkan bahunya. "Kan tiap hubungan masalahnya beda-beda. Makanya setiap kali lu nanganin masalah harus... nyesuaiin diri gitu, loh, sama kasusnya. Adaptasi. Makanya gua bilang personal."

Aku lebih mengartikan personal relationship advisor sebagai penasihat hubungan pribadi yang ujung-ujungnya lebih menjadi sebagai pembuat strategi daripada konselor. Tapi definisinya Mikail boleh juga.

"Ooh. Boleh juga tuh," balasku sekenanya.

"Oh iya, gimana jadinya?" lemparnya. "Udah ada perkembangan kayak gimana, No?"

Aku menoleh padanya, horor. Sepertinya anak itu bisa tahu hal apa yang ingin kutanyakan hanya dengan melihat tatapanku.

"Penyelidikan lu kemarin," sambungnya.

Ya Tuhan, anak ini. "Baru juga kemarin, Mik."

"Siapa tahu ada breaking news. Oh iya, terus rencana lu gimana selanjutnya? Buat ngebujuk Putri." Ya, elo juga ikut mikirin lah!

Aku mengedikkan bahu. "Belum ada renana, sih. Masih dipikirin."

"Yah, kok gitu sih?" keluhnya. "Lu biasanya paling gercep, No, soal bikin rencana-rencana kayak gini."

"Iya, ini kan baru jalan sehari juga, Mik," balasku, mulai merasa sebal. "Sabar, ya."

"Gua selalu sabar, kok. Tapi kan tetep aja, gua butuh kepastian. Kalo kayak gini terus―"

"Ya sudah, begini: nanti gua minta tolong ke teman-temannya Putri buat ngebujuk dia supaya mau balikan lagi sama lo. Gimana?" potongku spontan.

Cowok itu tampak berpikir keras.

"Boleh, No," balasnya. Kakinya berhenti melangkah. Badannya berputar jadi menghadapku. Aku melakukan hal yang sama.

"Tapi, emangnya lu kenal sama temennya Putri? Setahu gua kagak."

Aku menyeringai. "Kenal, dong. No life no life gini kenalan gua banyak, tahu!"

"Bukan no life itu namanya. Tapi no confidence."

"Loh, kok gitu?" balasku, berusaha untuk play along.

"Kenal doang akrab kagak," balasnya sambil terbahak. Aku lantas menjitak kepalanya.

"Bisa aja lo," imbuhku. Ia belum berhenti mentertawai joke yang kurasa tak lucu-lucu betul itu.

"Loker lu udah deket sini, kan? Gua duluan, ya, No. Gua ada janji sama Mister, baru inget gua," ujarnya seusai tertawa.

Aku mengangguk maklum. Ia pun pamitan denganku dan berjalan pergi ke percabangan koridor yang lain. Setelah anak itu sudah cukup jauh, aku lanjut berjalan menuju lokerku.

Kali ini aku bersyukur dengan reaksi spontan pikiranku. Setidaknya dengan aku menyebutkan rencana tersebut, anak itu bisa jadi lebih tenang dan tidak datang kepadaku 24/7 untuk meminta update soal kasusnya.

***

Kalian tahu bagaimana seorang rentenir jika seorang nasabah kabur ketika hendak ditagih utangnya? Kira-kira begitulah diriku saat ini.

Sambil menenteng tas jinjing beige-ku, aku berjalan sambil celingukan ke sana ke mari dan menanyai orang tentang keberadaan seorang Sofia... sial, aku bahkan tak tahu nama lengkapnya. Setelah menanyai orang keenam, aku berhenti sejenak untuk berpikir.

Jika aku adalah seorang Sofia, di mana aku akan berada?

Aku tak tahu.

Heck, aku benar-benar harus jadi lebih dekat lagi dengan teman-teman sekelasku! Setidaknya minta kontak mereka. Supaya dalam keadaan darurat seperti ini, aku punya seseorang untuk dihubungi (selain ibuku, Mikail, dan kawan-kawannya).

Oh iya! Kalau tidak salah aku sempat menyimpan nomor beberapa anak kelas Bahasa Inggris Mr. David karena tugas kelompok beberapa minggu lalu.

Aku mengeluarkan ponselku dari saku celana, lalu membuka daftar kontak. Semoga aku masih menyimpan kontak-kontak itu dan tidak lupa nama-nama mereka.

Aku berhenti pada satu kontak yang aku yakin betul dia adalah orang yang sama dengan yang waktu itu mengerjakan tugas sekelompok denganku. Lalu aku menekan tombol percakapan yang mengarahkanku ke dalam chat room kami.

Aku lanjut mengirim pesan padanya.

Intinya, aku memintanya untuk mengirimkan nomor Sofia padaku dan dia mengirimkannya. Setelah itu aku mengontaknya lewat aplikasi perpesanan dan membuat janji temu saat pergantian jam nanti.

Satu jam pelajaran kemudian, kami bertemu di taman sekolah.

"Sof?" panggilku. Cewek itu menoleh. Benar, dia orang yang kucari.

"Hei," balasnya. "Ada apa nih, sampai ngajak gue ketemuan?"

"Em, gua boleh minta tolong, enggak?"

"Minta tolong apa, ya?" Raut muka gadis itu berubah jadi bingung.

Aku pun menjelaskan tentang duduk perkara antara Mikel, Putri, dan peranan kupegang terkait masalah itu.

"Wait. Jadi lo mau bantuin Mikel supaya Putri mau balikan sama dia?" Dia seperti kaget sekali mendengarku ingin membantu mereka balikan.

Aku mengangguk.

"Terus yang tadi lo mau minta tolong itu, minta tolong soal apa?" tanyanya lagi.

"Gua pengen minta tolong sama lo sama temen-temen lo buat ngebujuk Putri supaya mau balikan sama Mikail," pintaku. "Boleh, ya?"

Gadis berhidung pesek itu mengerjap.

"Noah, I'm sorry to say, but kita juga udah coba buat ngelakuin hal yang sama. Putri tetap kekeh enggak mau balikan sama mantannya itu," terangnya. "Kalau dari yang gua tahu, si Putri tuh emang paling anti yang namanya narik omongan sendiri."

Aku paham dengan sikap Putri yang seperti itu.

"Lagi pula kalau lo pengen bantu Mikel supaya bisa balikan sama Putri, harusnya lo cari, dong, yang bikin― Harusnya lo cari tahu sumber permasalahan mereka di awal, dong?" lanjutnya.

"Believe me, I'm trying to do that," tanggapku. Percaya deh, gua juga lagi coba buat melakukan itu. "Tapi gua enggak nyaman buat bikin penyelidikan kalau cowok itu ngintilin gua terus ke sana ke mari seharian."

"Maksud lo?"

"Maksud gua, dengan gua minta tolong ke lo sama temen-temen lo buat ngebujuk Putri, mungkin itu bisa agak ngalihin Mikel dari gua buat sementara."

"Wait. Maksud lo, lo pengen ngalihin perhatian Mikail dari lo ke gue― Gue dan temen-temen gue yang... notabene masih temen-temennya Putri? I mean, looking at how desperate you are to get his attention off of you, maybe[1] ini bukan ide yang bagus buat ngalihin perhatiannya ke kami."

Aku paham yang dia maksud. Jika cowok itu sudah sangat menggangguku yang tidak ada hubungannya dengan Putri, apa yang akan terjadi jika Mikail harus menunggu kabar dari Sofia dan kawan-kawannya. Bisa jadi mereka akan diteror terus oleh cowok itu?

"I know, I get your point. Tapi please lah, Sof. Gua enggak tahu lagi gimana caranya supaya ngalihin perhatian Mikail dari gua selain pakai cara itu," pintaku lagi.

"Lo bisa ngulur waktu buat gua dengan lo berniat buat ngebujuk Putri lagi buat balikan sama Mikel. Sementara itu gua bakalan ngegali lebih dalam soal masalah antara Mikail sama Putri. Please. Boleh, ya?" sambungku.

Lalu hening di antara kami. Sofia tampak sedang berpikir keras mempertimbangkan permintaanku itu.

"Yaudah, deh," ujarnya. Mataku mengerjap, mengembalikan pikiranku kembali ke tubuhku setelah beberapa saat melamun.

"Ya?"

"Karena lo kayaknya butuh banget, jadi... oke deh. Gue coba bantuin lo ngebujuk Putri. I'll see what I can do," pungkasnya diikuti selintas senyuman kecut.

Sementara itu wajahku semringah bahagia.

"Makasih banyak, Sof!" ujarku girang. Aku berasa seperti seorang diplomat andal yang berhasil menggolkan sebuah perjanjian bilateral penting yang diinisiasi oleh negaraku.

"You really saved my day, oh my God!" Kau benar-benar menyelamatkan hariku. Ini yang kedua kalinya aku mengatakan kalimat itu pagi ini.

Sofia tersenyum padaku. "You're welcome."

"Oh iya, habis ini lo ada kelas apa?" tanyanya.

"DAT." Seni Digital, maksudnya. Sekolahku menyingkat semua nama mata pelajaran yang ditawarkannya menjadi kode tiga huruf.

"Digital Arts bukan sih?" tebaknya. Aku mengangguk, mengonfirmasi tebakannya.

"Ooh. Kebetulan searah nih kita," ujarnya.

"Oh? Lo ada kelas apa habis ini?" tanyaku. Aku mengubah tumpuan berat badanku ke kaki kiriku.

"Ekonomi. Mau bareng, enggak? Gue juga udah siapin perlengkapan, kok, buat jam selanjutnya," tawarnya.

Berhubung aku membutuhkan hubungan yang baik dengan gadis ini, aku menerima tawaran itu. Kami lantas berjalan bersama, menyusuri jalan yang mengarah ke tujuan kami.

***

Bel pukul tiga berdentang, mengakhiri seluruh rangkaian pembelajaran hari ini.

"Baik, anak-anak. Jangan lupa kerjakan tugas yang tadi Bapak berikan, Senin depan dikumpulkan. Sekian untuk hari ini, terima kasih semuanya. Silakan keluar dengan tertib," tutup Pak Rasyid.

Beliau adalah guru Bahasa Indonesia yang menggantikan guru reguler kami yang sedang cuti hamil. Masih ingat saat jam Pramuka 2 hari yang lalu, aku mencari guru Bahasa Indonesia untuk mengisi SKU nomor tujuh? Beliaulah orangnya.

Lalu aku mendengar Ica seperti menanyakan sesuatu.

"Mm. Hah?" Aku tak siap dengan pertanyaannya. Gadis itu benar-benar menyergap lalu menyeretku keluar dari lamunanku.

"Lo jadi ngisi SKU sama Pak Rasyid waktu itu?" tanyanya. Aku hanya memandangnya dengan mulut menganga seperti orang bego. Otakku masih belum memproses pertanyaannya.

"Lo―" Ia menyembur tertawa. "Lo dari kemarin lemot banget sih, No. Lo lagi sakit?"

Aku tertawa konyol menanggapinya. "You know, lah."

"Kalo lo lagi sakit jangan maksain masuk, No. Nanti tambah parah loh penyakitnya."

Bukan itu maksudku. Tapi ya sudahlah, lagi pula aku juga tak spesifik tadi.

"Ya udah, gue duluan, ya."

"Oke."

Dia pun meninggalkanku keluar kelas. Aku lanjut membereskan alat tulisku yang masih berserakan di meja. Namun tiba-tiba seseorang mendorong sisa alat tulisku di meja sampai jatuh ke lantai. Aku sampai mendongak untuk melihat wajah orang sialan yang saking tak punya kerjaannya sampai merugikan orang lain.

Lalu mataku bertemu mata anak itu. Anak yang di awal pekan ini berniat untuk merebut kursiku, merebut kesempatanku untuk menjawab pertanyaan di kelas Kimia, dan menjelek-jelekkanku di hadapan umum.

Ia menyeringai padaku. Jika kami sedang tidak berada di sekolah, pasti sudah kutimpuk wajah itu. Akan kulakukan dengan buku paket Bahasa Indonesia yang tebalnya melebihi muka pejabat yang tak malu setelah melakukan korupsi.

Yang bisa kulakukan hanyalah mencureng sambil menahan emosi yang bergejolak dalam hati sembari melihat anak itu melenggang keluar kelas dengan santainya.

Lalu aku menghela napas dan memungut buku-bukuku yang jatuh ke lantai.

"Kamu sama Arge itu ada apa sih, No?" sahut Pak Rasyid dari meja guru di depan kelas. Aku lantas menoleh pada pria yang umurnya sudah melebihi setengah abad itu.

Aku tersenyum tipis. "Ya, biasalah, pak."

"Kalau anak itu ganggu kamu lagi, bilang aja ke Bapak. Nanti Bapak kasih pelajaran itu anak." Tunggu. Beliau bilang "lagi"? Apa jangan-jangan kejadian kemarin sudah tersebar ke mana-mana?

Aku kembali tersenyum. "Iya, Pak. Makasih banyak ya, Pak."

Aku beranjak dari kursiku, salim dengan Pak Rasyid, lalu keluar dari kelas itu. Sebelum aku berjalan ke halte bus, aku punya agenda lain. Aku harus menemui pelatih tim bisbol di ruang guru yang terletak di Gedung Administrasi.

Perjalanan yang kutempuh akan sangat melelahkan. Tahu kenapa? Karena aku harus berjalan dari kelas Bahasa Indonesia di Gedung C ke lokerku di Gedung A lalu ke ruang guru di Gedung Administrasi.

Setelah itu aku harus berjalan dari Gedung Administrasi―yang benar-benar terletak di bagian paling belakang kompleks sekolah―ke halte bus di depan sekolah. Belum lagi kalau akhirnya aku pulang jalan kaki. Mantap betul. Jika terus begini maka bisa dipastikan aku harus mulai menabung untuk membeli kaki cadangan.

Aku masuk ke dalam Gedung Administrasi. Masih bisa kuhitung dengan jari berapa kali aku pernah keluar-masuk gedung ini sejak kelas sepuluh. Terakhir kali aku masuk ke gedung ini saat aku membantu menyelesaikan sengketa wewenang antara OSIS dan MPK sekitar enam bulan yang lalu.

Aku masih ingat betul bagaimana rasanya berdiri di antara orang-orang yang paling berpengaruh di sekolah ini. Sensasi merinding yang menjalar di sekujur badanku saat menjelaskan hasil dari diskusi intens dua minggu antara ketua OSIS, ketua MPK, dan guru pembina. Lalu ketika aku menandatangani MoU sebagai pihak mediator.

Singkatnya, aku berhasil membawa perubahan di sekolahku. Perubahan ke arah yang lebih baik. Dan itu membuatku sangat bangga pada diriku sendiri.

Omong-omong, saat ini aku sedang celingukan mencari Pak Tommy, pelatih tim bisbol sekolahku. Aku ingin menyerahkan surat pengunduran diriku padanya. Sebenarnya tidak harus sampai membuat surat. Aku melakukannya untuk menegaskan kesungguhanku untuk keluar tim.

"Noah?" panggil suara itu. Aku menoleh ke belakang.

Pria kaukasoid itu berjalan menghampiriku sambil mengurai lengan bajunya yang tergulung.

"My best man, my prodigy. What are you―" ucapannya menggantung begitu saja ketika ia melihat secarik surat di tanganku. "Seriously?"

Aku bahkan belum bilang ini surat apa.

***

Setelah diskusi yang intens, akhirnya Pak Tommy merelakanku keluar dari tim bisbol. Tapi tidak dengan begitu saja. Ia memberiku sebuah syarat: jika tim sekolah kami ikut turnamen dan benar-benar kekurangan pemain, aku harus bergabung.

Aku menolaknya dengan alasan ada senior yang lebih kompeten dariku. Tapi entah kenapa pria yang tahun depan menginjak usia kepala tiga itu bersikeras. Aku pun hanya bisa pasrah dan menyetujuinya.

Di dalam hati, aku menyiapkan mental untuk pasang badan ketika ada anggota lain yang marah padaku soal itu. Terutama menghadapi para senior di kelas dua belas. Aku tahu betul ini akan menyebabkan kontroversi di seluruh klub.

Baiklah. Untuk saat ini aku tak mau terlalu ambil pusing dulu untuk hal itu. Beban pikiranku sudah lumayan banyak minggu ini.

Aku berjalan ke arah gerbang sekolah. Menyusuri jalan setapak dalam sekolah, melewati taman sekolah, menapaki trotoar jalan kendaraan. Semua itu kulalui hingga jarak antara diriku dengan gerbang besar sekolah tinggal beberapa puluh meter lagi.

Lalu, kawanku, hatiku sepeti dipotek jadi berkeping-keping. Maksudku, benar-benar dipotek dengan tangan. Sedikit demi sedikit.

Lamat-lamat aku bisa mendengar kedua orang itu bicara dengan asyik menggunakan bahasa Inggris. Hayo. Sudah satu clue kuberikan.

Cewek itu memukul tangan cowok jangkung di hadapannya. Bedanya bisa kutebak hampir mencapai setengah dari penggaris rotan yang biasa dipakai guru-guru pada zaman dulu. Ya, enggak dulu-dulu banget, sih. Clue kedua. Sudah bisa menebak siapa mereka?

Si cowok menepuk pundak cewek di hadapannya, lalu mengusap tengkuknya. Lalu mereka menjadi canggung. Sebuah mobil berhenti di depan tempat mereka berdiri. Fortuner, kalau dilihat dari bodinya. Si cewek langsung melompat masuk ke dalam mobil.

Cewek itu membuka jendelanya untuk berpamitan pada si cowok. Ia mengalihkan pandangannya dari cowok bule itu. Lalu pandangan kami bertemu. Cewek itu lantas melambaikan tangan padaku sambil meneriakkan namaku.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan. Sudah bisa menebak siapa cowok dan cewek itu? Tak apa jika tak bisa.

"Take care, Alisja!" seru cowok itu setelah jendela mobil tertutup rapat.

Mobil itu berjalan pergi. Cowok jangkung itu malah berbalik, lalu berjalan ke dalam kompleks sekolah. Papasan antara kami pun tak terelakkan.

"Hey, Noah," sapanya. Aksen asingnya sangat kental terdengar.

"Oh, hey," balasku.

"You're not looking good. Is everything okay?" Lo enggak kelihatan baik. Semuanya baik-baik aja, kan?

Aku tersenyum masam. "I'm fine. I'm fine."

"Alright, then," balasnya. Ia melenggang pergi. "Noah, tali sepatumu lepas."

Aku menengok pada kedua kakiku.

"Thanks," balasku. Kedua mataku masih tertuju pada tali sepatuku yang terlepas.

Aku membeku di tempat. Dengan kepala masih tertunduk ke bawah. Kedua mataku menatap kosong tali sepatu warna putih yang terjuntai berantakan. Aku tak bisa berpikir, bahkan sekadar untuk mengikat kembali tali sepatuku yang lepas.

Satu-satunya hal yang menguasai kepalaku adalah bagaimana bisa sesuatu yang berawal sebagai gosip picisan berakhir menjadi sesuatu yang nyata. Saking nyatanya sampai-sampai aku melihatnya sendiri, first hand, dengan kedua mataku.

Aku tertawa masam. Tiba-tiba omongan seorang guru agamaku di Sekolah Dasar melintas di pikiranku.

"Omongan itu doa. Hati-hati kalau ngomong. Jangan sampai waktu kita ngomongin hal yang buruk, eh omongan kita diaminin sama malaikat. Kan repot jadinya." Kurang lebih begitu.

Berarti gosip pun termasuk ke dalam doa, ya?


Uploaded by RS on 09/25 at 10.09PM Local Time

***

Apa kabar semua? Semoga di mana pun kalian berada, kalian semua dalam keadaan baik.

So... kita punya sadboy lain di sini. Turut berduka cita, ya, bung. 🙏

Yok kasih motivasi dan kata-kata penyemangat kalian buat Noah 🔥

Sampai jumpa minggu depan!


Oh iya. Aku di bab ini pakai gambar dari generator fakechat. Biar enggak monoton-monoton banget gitu, hehe. Gimana pendapat kalian kalau aku lebih banyak pakai gambar di cerita ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top