08 | Tuhan, Aku Takut
Aku malu.
Enggak malu banget sih, tapi pokoknya malu, deh.
Dengan gagahnya aku mencoba untuk menjelaskan apa yang tadi kubicarakan dengan Sofia ke Mr. David dalam bahasa Inggris. Sialnya, Mr. David malah mengajak seisi kelas untuk mendengar penjelasanku.
Hasil dari "ujian speaking dadakan" itu membuatku berkesimpulan kalau cermin bukanlah partner latihan yang baik.
Bel jam istirahat menyelamatkanku dari malunya ditertawakan seisi kelas. Jika tidak, aku pasti sudah pingsan di tempat.
Aku berjalan keluar dari gedung C. Lalu aku menyusuri jalan yang tadi kulalui untuk kembali ke gedung A, tempat lokerku berada.
Tas jinjing beige yang sedari awal sekolah dimulai hari ini tidak pernah lepas dariku akhirnya harus berpisah juga. Tas kain itu kuletakkan di dalam loker, kuganti dengan dompet kulit sintetis yang sengaja kutaruh di loker. Aku pun melanjutkan perjalananku ke kantin.
Kaleng ikan sarden (baca: kantin) itu jarak tempuhnya kurang lebih sama dengan jarak tempuh dari lokerku ke gedung C. Aduh, pokoknya bersekolah di sini itu benar-benar melatih stamina.
Bagaimana tidak? Bayangkan saja bagaimana capeknya harus berpindah gedung setiap pergantian jam pelajaran. Jika diizinkan, sudah dari awal aku masuk ke sekolah ini aku menggunakan sepatu roda.
Tapi, ya, setidaknya jalanan kendaraan di sini dibuat ramah pejalan kaki. Meski kendaraan hanya banyak lalu lalang saat jam masuk dan pulang sekolah saja.
Seseorang tiba-tiba mencegatku. "Eh, lu Noah, kan?"
Aku berhenti berjalan, lalu mengangguk. "Ada yang bisa gua bantu?"
Duh, lagi-lagi masalah ini kuhadapi. Ingat wajah, lupa nama.
"Gua Raka, sekelas sama Hakan di kelas Kimia." Oalah, jadi cowok ini Raka. Tapi dari tampangnya lebih cocok dinamai Arjun. "Lu masih nyelidikin kasus yang termometer itu?"
Wuih, tanpa basa basi. Aku suka.
"Iya," jawabku sambil diam-diam mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Selain gelang hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, berdasarkan penampilannya cowok ini lebih pantas disebut Arjun, sih. Ditambah lagi dengan pembawaannya yang kalem.
"Udah sampe mana perkembangannya?"
Aku menenggak ludah. Memangnya boleh ya, penyidik membicarakan soal kasus yang ditanganinya dengan seorang tersangka atas kasus yang sama?
Ya, mau bagaimana pun pertimbangan di otakku, akhirnya hal itu tetap kubicarakan juga.
"Masih belom gimana-gimana, sih. Lagian kan baru kemarin juga mulai dikerjain kasusnya," tuturku berterus terang.
Lalu hening.
Selama keheningan itu, cowok yang tingginya kurang lebih sama denganku itu seperti sedang berpikir keras. Ia lalu membalas omonganku hanya dengan, "Ooh, oke."
"Iya," imbuhku. "Oh iya, ada beberapa hal yang mau gua tanyain ke elo. Kira-kira kapan lo bisanya? Sore ini bisa?"
"Gua sampe Selasa depan full latihan. Hari Rabu ada turnamen lawan sekolah sebelah." Turnamen apa? Mungkin aku tak akan pernah tahu.
"Ooh, oke. Habis Rabu depan berarti, ya?"
"Oke," jawabnya. "Duluan, bro."
"Yo." Kami pun berpisah jalan.
Aku menoleh padanya. Pandanganku bertemu dengan punggungnya yang berjalan semakin jauh dari kantin sekolah. Oh, ada bercak gelap di lehernya. Mungkin itu tanda lahir?
Dalam hati aku berdoa semoga orang-orang dengan tanda lahir seperti itu bukanlah pembohong yang baik.
Oke, I might be assuming things. Tapi tak tahu mengapa, aku merasa seperti ada yang aneh saja dari tingkah lakunya. Oh! Terutama saat ia seperti sedang memikirkan sesuatu di tengah pembicaraan singkat kami tadi. Sesuatu tentang itu membuatku merasa... terganggu.
Ah, tapi mungkin itu hanya prasangka burukku yang lain saja.
Tapi tak ada salahnya untuk berjaga-jaga, kan?
***
Setelah berbincang dengan Raka, aku melanjutkan perjalananku ke kantin.
Setelah berhasil memesan semangkuk bakso, aku membawa bakso itu tawaf berkeliling kantin. Tujuanku bukan untuk mencari bangku yang kosong, tapi untuk mencari Putri dan mengorek informasi darinya.
Tidak, aku tidak akan bertanya apa pun soal date-nya Jumat kemarin. Atau tingkahnya di rumah Ada-Lah-Temen-Gue-Sama-Putri hari Sabtu yang lalu. Atau waktu dia memutuskan hubungannya dengan Mikail, Senin kemarin.
Aku hanya ingin tahu apa yang membuatnya merasa terganggu saat ia berkencan dengan Mikail. Bukan cerita tentang kencan itu dari sudut pandangnya, tapi apa yang berhasil mengganggu pikirannya sampai kawan-kawannya pun kena getahnya.
Dua hal itu berbeda, kan, ya? Antara ingin tahu soal kejadiannya dengan ingin tahu tentang satu hal spesifik yang terjadi di dalam peristiwa itu. Paham kan, maksudku?
Anyway, aku sedang berdiri di tengah lautan manusia sambil celingukan seperti bapak yang sedang mencari anaknya yang hilang di taman hiburan. Mataku melirik ke sana kemari, memindai semua wajah yang kulihat untuk menemukan satu cewek itu.
Lalu aku melihatnya.
Tanpa membuang waktu aku bergegas menghampirinya. Namun di setiap langkah yang kuambil, ia seperti menjauh 2 langkah. Aku mempercepat jalanku. Meski begitu tetap saja pada akhirnya cewek itu menghilang di tengah kerumunan.
Di mana sih lo, Put?
Akhirnya aku mengulangi tawafku. Siapa tahu aku bisa menemukan cewek itu jika aku melakukannya lagi. Meski aku pernah mendengar kutipan yang berbunyi "Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda." atau semacamnya. Entahlah, aku tak ingat persis.
Lagi pula, bukankah melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah definisi dari berlatih sesuatu? Maksudku, kita tidak serta merta menyerah ketika gagal memukul bola bisbol untuk yang pertama kalinya, kan?
Oke. Di sisi kantin yang ini juga tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Aku berbalik dan menyusuri sisi lain kantin sambil terus mengedarkan pandanganku untuk mencari Putri.
Ah, sialan! Ke mana menghilangnya dia? Cewek itu menghilang lebih cepat daripada para mutual di second account Instagram-ku.
Eh, itu Putri?
Di ujung seberang kantin yang sesak ini, seseorang baru saja bangkit dari bangkunya. Kalau kuperhatikan, dari ciri fisiknya orang itu mirip sekali dengan Putri. Dan tanpa berpanjang pikir lagi aku lanjut berjalan mendekatinya.
Lalu sebuah tangan tiba-tiba memegang pundakku.
"MAMA!" Mangkuk baksoku kehilangan keseimbangan. Beruntung mangkuk ini tidak terpeleset dari tanganku. Kalo sampai mangkuk ini jatoh ke lantai, pokoknya lo yang harus gan... Ica?
Cewek berkulit sawo matang itu tertawa melihat kelatahanku. Enggak apa-apa deh, malu dikit. Yang penting gue bisa ngelihat lo ketawa. Hehehe. <3
"Latah banget sih, lo!" Iya, gue tahu. "Ikut gue bentar, yuk. Ada yang mau gue omongin sama lo."
Hah? Kenapa?
Kakiku secara spontan berjalan mengikuti arah jalan cewek itu. Kedua tanganku masih memegang mangkuk bakso yang mulai dingin. Sedangkan pikiranku seakan memblokir kebisingan di sekitar. Yang kini bersarang di pikiranku hanyalah skenario-skenario tentang apa yang akan dikatakan istri masa depanku padaku.
"Waduh, enggak ada bangku kosong pula," gumamnya.
"Harusnya lo telep―" Omonganku terpotong sambungan perkataannya.
"Oh, itu ada!" serunya sambil menggamit pergelangan tangan kiriku. Ia menarikku seakan-akan kami berdua sedang berada di bagian barang promosi department store.
Untungnya kami berdua berhasil mendapatkan kursi itu sebelum orang lain mengambilnya. Jika tidak, artinya aku akan menghabiskan waktu istirahat pertama ini hanya untuk mencari bangku kosong kantin.
Aku tak akan pernah mau membawa makanan ke luar kantin karena bolak-balik dari kantin ke tempat mana pun yang nyaman di sekolah ini membutuhkan usaha dan kesabaran yang ekstra. Pilihannya antara makan di kantin atau tidak sama sekali. Titik.
Omong-omong, kami berdua duduk saling berhadapan. That's it. Aku akan anggap ini sebuah date meski cewek di hadapanku ini bahkan sama sekali tidak tahu kalau aku mempunyai perasaan padanya.
"Bentar ya, No." Ica mengeluarkan ponselnya dari saku roknya yang ternyata cukup lega. Kukira semua saku pakaian rok atau celana perempuan itu sempit.
Ia lalu memberikan ponsel keluaran tahun lalu itu padaku. "Menurut lo gimana?"
Aku sampai kehabisan napas. Jantungku seketika berhenti sejenak. Gambar yang terpampang di layar ponselnya itu... enggak. Enggak. Enggak bener, nih. Dia pasti cuma mau membuatku cemburu. Iya, kan?
Meski pikiranku bergejolak, aku berusaha untuk tetap tenang. Enggak bisa kalau aku yang sedang mencintai dalam diam ini marah pada cewek yang kusukai hanya karena dirinya berfoto dengan cowok lain.
"Gimana menurut lo?" tanyanya setelah keheningan singkat di antara kami. "Gue mau ngaku sesuatu ke elo, tapi lo bisa jaga rahasia, kan?"
No. No no no no no no! Jangan bilang kalau―
"Oke, gue anggap itu 'iya'." Ia menahan napas sebelum lanjut bicara. Ia terlihat gugup. Sepertinya ini akan jadi sebuah pengumuman besar. Aku pun ikut menahan napas karena alasan yang sama.
"Gue―"
KRIIIIIING!
Fokusku buyar ketika mendengar bel itu berbunyi. Waduh, baksoku belum kumakan sama sekali, pula.
"Mmmmmm," gumamku sambil merumuskan hal terbaik yang harus kulakukan. "Sori ya, Ca. Nanti aja ngomonginnya."
"Gue baru inget gue habis ini ada ulangan harian. Duluan, ya!"
Aku segera beranjak pergi dari bangku itu. Sebenarnya kata kabur lebih cocok untuk dipakai daripada pergi. Aku kabur darinya karena aku tak siap dengan apa yang mungkin akan kudengar dari gadis itu.
Again, I'm assuming things. But ini wajar-wajar aja kan, sebenarnya, kalau aku takut sama hal-hal yang kayak begini?
Aku membuat skenario-skenario keadaan terburuk di dalam kepalaku. Lalu bukannya mengharapkan kalau terjadi sebaliknya, aku malah jadi paranoid.
Kali ini, aku akan dengan berat hati mengakuinya, yang Mikail katakan kemarin sore padaku itu benar. Aku seorang pengecut. Setidaknya dalam hal ini. Jujur saja, aku paranoid kalau Ica pada akhirnya... memilih orang lain daripada diriku.
Dan dengan dirinya menunjukkan foto dirinya dengan seorang Thor Omar Arnarsson, keduanya tersenyum bahagia, berlatar di luar sekolah, menunjukkan kalau hal yang kutakuti itu boleh jadi sudah menjadi kenyataan.
Aku tahu. Aku tahu betul akan ada yang bilang "kalo gitu kenapa enggak confess aja sih? Daripada dipendem mulu ntar malah jadi penyakit". Jawabanku simpel. Seperti yang sudah kukatakan: cinta itu rumit. Dan aku takut menghadapinya.
Baiklah, kurasa hal ini akan sering kujadikan alasan.
Selain itu, aku juga takut akan respons darinya. Apakah responsnya akan jadi bagus? Atau apakah dia akan menolakku mentah-mentah? Atau jangan-jangan dia malah jadi illfeel dan menjauhiku?
Ya, takdir memang ada di tangan Tuhan.
"Tapi bukan berarti kita enggak berusaha dan sepenuhnya memasrahkan takdir kita pada Tuhan, kan?" begitu kata guru Agama-ku saat aku duduk di kelas tujuh.
Percayalah, sejak pertama kali mendengarnya, aku berusaha keras untuk menerapkan prinsip itu. Sangat keras sampai-sampai dalam beberapa waktu aku seakan "memaksa" Tuhan untuk membelokkan takdir sesuai keinginanku.
Dan ini adalah salah satunya.
Tuhan, apa pun takdir yang akan Kau berikan untuk hamba-Mu yang satu ini, tolong jangan dibuat mengenaskan banget, ya?
***
#Pray4Noah
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top