06 | Jangan Jadi Pengecut
Aku enggak pernah paham tujuan sekolah mewajibkan ekskul Pramuka. Maksudku, iya, aku tahu kalau ekskul Pramuka itu wajib berdasarkan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014. Tapi, ayolaaaaah. Yang kupelajari dari 10 tahun ikut kegiatan Pramuka hanya: tali temali, baris berbaris, menaksir, alat navigasi, tanaman obat keluarga, dan berbagai macam sandi. Ada lagi yang lain?
"Lanjut!" ujar Pak Rudy setelah aku menyelesaikan poin nomor 15 di SKU-ku. Aku meninggalkan pria yang umurnya belum menyentuh 30 tahun itu untuk pergi ke guru lain dan menyelesaikan poin lainnya. Nomor apa lagi ya, yang hari ini bisa kuselesaikan?
Aku berhenti sejenak untuk membuka buku bersampul kuning itu. Kalau kuhitung-hitung... baru sembilan nomor yang sudah kukerjakan.
By the way, aku masih mengejar tingkat Penegak Bantara. Tahun lalu aku tidak ikut pelantikan karena belum menyelesaikan SKU-ku. Jika dalam waktu satu bulan aku tidak berhasil menyelesaikan ketiga puluh nomor di tingkat ini, maka tertutup sudah kesempatanku untuk naik pangkat.
Nomor tujuh kayaknya bisa, nih.
Aku celingukan mencari guru Bahasa Indonesia. Bukan yang sedang cuti hamil, tentunya. Setelah menghabiskan beberapa waktu berdiri di tengah lapangan seperti orang bingung, aku melihat seorang guru yang kebetulan sedang senggang.
Tanpa pikir panjang, aku segera melangkahkan kakiku untuk menghampirinya. Atau, setidaknya begitu yang kurencanakan.
"Udah berapa nomor lu, No?" Mikail muncul seperti Tuhan baru saja men-drag-and-drop dirinya di hadapan mukaku. Kalau begini, mau tidak mau aku mesti meladeninya.
"Baru sembilan nomor, nih," jawabku singkat.
Eh, dia masih marah enggak ya, gara-gara kejadian tadi pagi?
Mikail membalasnya dengan, "Ooh."
"Habis ini mau ngerjain nomor berapa?" lanjutnya.
Syukurlah anak ini sudah enggak marah.
Aku membuang jauh-jauh kekhawatiranku dan bersikap seakan kejadian tadi pagi tidak pernah terjadi. "Mau nomor tujuh, nih. Lo mau nomor berapa?"
"Malas ah gua. Besok aja pas jam istirahat." Walah, anak ini! Tumben sekali bisa jadi panutan. "Oh iya, lu jadi bantu gua kan?"
Satu-satunya kata yang bisa keluar dari mulutku hanya, "Hah?"
"Lu jadi bantu gua kan?" Ia malah mengulangi pertanyaannya...
"Enggak." Aku berusaha mengumpulkan kata-kata di mulutku. "Maksud gua, dari mana lo berasumsi kalau gua pengen bantu elo?"
"Tadi lu ngobrol sama Putri soal apa, kalo gitu?"
Oalah.
"Yaudah, gini deh. Nanti sore kita ketemuan di taman sekolah, ya. Mulai ngomongin soal ginian. Oke? Gua duluan ya, No!" Dan ia berlari meninggalkanku begitu saja. Aku bahkan tak sempat sedikit pun menjelaskan soal kenapa aku dan Putri bisa duduk bersama di kantin tadi siang.
Heck, bahkan kami berdua sama-sama menjelek-jelekkan Mikail.
"Putri?"
Ia tertawa kecil. "Kaget banget lo kayaknya?"
"Ya..." Sial, aku kehabisan kata-kata. "Enggak nyangka aja bisa duduk bareng sama lo."
"Mikel masih belom berubah, ya?" Gadis itu menengok ke arah Mikel. Cowok itu masih berurusan dengan orang, yang ternyata kakak kelas, yang ia tabrak sampai piring nasi gorengnya jatuh ke lantai. "Masih aja ceroboh."
Aku tertawa mendengar ucapan gadis itu. Ya ampun, mereka seolah-olah sudah sekian tahun putus padahal sebenarnya baru dua hari yang lalu gadis ini mematahkan semangat hidup sahabatku itu.
Omong-omong, rambutnya lebih panjang daripada yang kuingat. "Masih keras kepala juga."
"Lo masih aja tahan sama dia," timpalnya.
"Ya, kalo bukan sama dia, gua temenan sama siapa lagi? Buku paket?" Aku mengangkat sendok berisi potongan bakso. Suara cekcok antara Mikail dan kakak kelas cowok itu menjadi musik latar belakang pembicaraan kami.
Ia kembali tertawa.
"Lo enggak punya temen di klub bisbol?" Ah, jangan bahas itu dulu dong!
Aku menyeringai kecil. "Gua lagi mempertimbangkan buat keluar."
"Loh, kenapa?"
"Ya, enggak enjoy aja."
Tiba-tiba Mikail berteriak. Walah, mengamuk lagi dia.
"Tadi pagi dia ngamuk, ya?" Loh, kok dia tahu?
Aku pun menjelaskan apa yang tadi pagi terjadi padanya. Gadis itu tertawa sampai terbahak-bahak. Bahagia banget, kayaknya, lihat mantan pacar menderita.
"Masih aja emosian itu anak," ujarnya seakan-akan mereka sudah setahun lebih putus.
"Masih oportunis juga, kalo lo mau tahu," sahutku.
"Keras kepala juga," tambahku, mengulang omonganku di awal.
"Dia mah pulpen nemu di jalan aja dijual," timpalnya. Ia lanjut menyantap dimsum di hadapannya. "Oh iya. Omong-omong, lo udah beli tiket pentas anak tetmus? Gue udah beli tiket pakai hilang segala pula. Sebel banget."
"Hilang di mana, emang, tiketnya?" Kalau betul dugaanku, jangan-jangan...
"Di kantin, kemarin siang."
Nah, kan.
***
Setelah seharian berkutat dengan kemarahan (Mikel), kesalahpahaman (surat cinta tak bertuan), dan kehilangan (traktiran bakso Matematika Sains), ada baiknya untuk mengakhiri hari ini dengan, you guessed it, sesi konsultasi bersama tidak lain dan tidak bukan, satu-satunya Hakan Si Menyebalkan!
Pada dasarnya, Hakan memintaku untuk menemuinya di halte bus dekat sekolah sepulang sekolah untuk membahas tentang kasus termometer raksanya. Jika saja cowok blasteran itu tidak muncul, mungkin saat ini aku sedang berjalan pulang ke rumahku.
Setelah beberapa menit berjalan di tengah gersangnya akhir musim kemarau, halte bus yang dicat putih-biru itu menjadi penyejuk tersendiri bagi mataku. Aku mempercepat gerak kakiku agar dapat segera mencapai halte itu.
Di sana, aku melihat beberapa orang sedang duduk-duduk. Separuh dari mereka tidak benar-benar sedang menunggu bus sekolah. Karena toh siapa yang butuh bus pengap kalau mereka punya sopir atau bahkan kendaraan pribadi?
Bahkan aku sendiri pun jarang menggunakan bus. Hanya jika sedang malas jalan kaki atau ingin langsung pulang ke rumah saja. Lagi pula, jarak dari sekolah ke toko roti ibuku pun tak terlalu jauh. Jadi tak ada salahnya kalau aku berjalan kaki.
"Woi, No!" Ah, padahal aku baru saja membuka Instagram di ponselku. Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam tasku, sedangkan cowok yang tampilannya acak-acakan itu mengeluarkan miliknya.
"Baju lo kenapa?" tanyaku iseng. Aku berpaling ke dagunya dan melihat darah. Tanganku refleks meraba daguku sendiri, lalu menunjuk dagunya dengan telunjuk.
"Tadi siang lagi main bola. Lagi rebutan bola tuh sama lawan. Gua kedorong sampe jatoh. Terus luka, dah." Itu menjelaskan luka di dagunya, tapi tidak pakaiannya. "Keren kan gua?"
"He'em." Aku harus mencuci telingaku dengan sabun. "Yaudah. Jadi kan?"
"Jadi, lah. Masa enggak? Bentar ini lagi gua cari file-nya," balasnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya. Lalu Hakan menyorongkan ponselnya padaku.
"Tadi gara-gara lu enggak jadi bantuin, gua jadi jalan sendiri. Gua udah wawancara beberapa anak kelas Kimia gua yang pas praktik posisinya deket sama Arjun sama Raka. Ada tiga orang, gitu. Dua cewek satu cowok. Yang cewek cakep-cakep, No. Mau gua kenalin? Kali aja lu demen." cerocosnya.
Aku merebut ponsel keluaran tahun lalu itu―
"Hati-hati pegangnya. Awas jatoh."
―dan menekan tombol putar di layarnya.
"Hakan Hafizettin Demirel bicara. Em, di sini saya sedang meminta keterangan dari seorang saksi dari pecahnya termometer raksa di laboratorium Kimia. Namanya Jocelyn Marsha Matthews―"
"Can you just speak in English?" Lo bisa ngomong pakai bahasa Inggris aja gak sih?
"Oh, okay." Nah, kan. Enggak mungkin ada anak yang sekolah di sini yang buta bahasa Inggris.
Rekaman wawancara itu berlangsung selama tiga menit. Ia mewawancarai mulai dari posisi dirinya saat melakukan praktikum di laboratorium, dengan siapa saja ia berinteraksi, sampai ke hubungannya dengan kedua suspek. Hal yang sama ia tanyakan pada kedua saksi lainnya.
Aku akan merangkum apa yang ketiga saksi tersebut katakan. Kita mulai dari saksi pertama, Jocelyn. Cewek yang terdengar seperti orang Australia ini menjelaskan kalau dia sedang bekerja di samping Arjun. Dia sama sekali tak melihat bagaimana jatuhnya termometer itu. Hanya tiba-tiba mendengar bunyi kaca pecah.
Hal yang sama pun dikatakan oleh Dheeran, saksi kedua. Menggunakan bahasa Melayu Malaysia baku, dia menjelaskan kalau ia mengerjakan praktikum di sisi lain meja, berseberangan dengan Raka. Namun ia juga tak melihat bagaimana termometer itu bisa jatuh.
Sedangkan Chandra, seorang Indonesia, mengatakan hal yang berbeda. Ia mengerjakan praktikum di seberang Jocelyn. Ia mengatakan kalau sekilas ia melihat Arjun menyenggol termometer itu sampai berguling.
Seingatnya, Arjun sudah menghentikan termometer itu. Namun ketika ia berpaling untuk mencatat hasil praktikumnya, tiba-tiba ia mendengar suara kaca pecah.
Lalu aku tertawa masam.
"Bisa-bisanya dari mereka bertiga sama sekali enggak ada yang lihat gimana termometernya bisa jatoh?" ujarku sambil menyerahkan kembali ponsel itu pada sang pemilik.
"Iya kan? Gua juga heran. Kebetulannya mengerikan banget." Hakan melirik ponselnya, lalu bertingkah terkejut. "Waduh, gua duluan ya, No. Gua lupa kalo gua ada janjian sama temen. Nanti rekamannya gua kirim ke elo, ya? Sip dah kalo gitu. Ciao, No!"
Ia bahkan tak menunggu jawaban dariku.
***
Karena bus kuning sialan itu memutuskan untuk datang terlambat, jadi aku memutuskan buat jalan kaki saja ke toko roti ibuku. Sekalian bantu-bantu di toko juga. Lagi pula, cuacanya juga lagi enggak panas-panas banget. Kira-kira masih bisa kalau kubawa jalan kurang lebih lima ratus meter dari halte bus tadi ke toko roti.
Namun sebelumnya, ada sesuatu yang harus kulakukan.
Aku mampir ke sebuah minimarket untuk membeli minuman kesukaanku sejak kecil: susu cokelat. Untungnya, minimarket itu sedang sepi. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan menuju toko roti sambil menyedot susu cokelat dingin dari kotaknya.
Sejenak kukira hari ini sudah akan berakhir. Aku akan membantu ibuku di toko rotinya, lalu kami pulang dan berkumpul dengan keluarga kami. Namun ternyata aku salah.
"Noah," panggil suara itu.
Ah, enggak capek apa lo?
Aku menengok ke belakang. Mikel berdiri di belakangku, terengah-engah. Ia seperti baru saja ikut lomba cabang maraton Asian Games. Padahal ia sendiri larinya lebih lambat dariku waktu berjalan cepat.
"Kenapa?" tanyaku.
"Gua tungguin lu di taman sekolah kagak muncul-muncul, lu. Jadi kagak, mulai ngurusin masalah gua sama Putri?" Ya Tuhan, anak ini.
"Oh iya, sori. Gua lupa," dalihku. "Gua juga lagi ada urusan, sih. Jadi enggak bisa sekarang."
"Loh kan kita udah sepakat sore ini mau mulai?"
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya sampai berbunyi. Ya sudah lah, aku akan terus terang saja.
"Emang tadi siang udah gua iya-in?" balasku.
"Ya tolongin gua, gitu lah! Hei!" bentaknya.
"Tadi gua lihat lu sama Hakan seru banget ngomongin soal masalahnya Hakan. Harusnya lu juga bisa, dong, bantuin gua? Lagian lu juga jago nanganin masalah. Harusnya gampang, lah, lu bantuin gua balikan sama Putri." Bukan di situ masalahnya!
"Tadi pagi kan juga udah gua bilangin, Mik: gua enggak punya pengalaman! Masih mending kalo masalah yang gua tanganin masalah orang lain. Kalo gua malah bikin masalah lo sama Putri tambah ruwet..." Aduh, gimana ya wording-nya?
Aku mengerjap panik, lalu menarik napas untuk mengendalikan pikiranku.
"Ya... mmmpokoknya gua masih baru dalam nanganin hal ini. Gua enggak mau lo jadi "bahan percobaan" gua. Paham?" pungkasku.
"Ya, berusaha makanya! Hei! Kalo lu kagak berusaha kan lu juga enggak bakal tahu gimana hasilnya? Lagian masa sama temen lu sendiri lu kayak gini, sih? Ke mana lu waktu temen lu sendiri butuh bantuan? Kecewa gua sama lu. Faker."
Di situ saya merasa tersinggung.
"Gua enggak punya pengalaman nanganin masalah yang kayak gini. Gua enggak mau bikin masalah lo tambah ribet sama Putri. Ya, gua pengen bantuin lo, Mik. Secara kan temen harus saling tolong menolong."
"Lo pikir gua tega lihat sahabat gua sendiri putus dari pacarnya sampe uring-uringan, sakit hati segala rupa? Ya enggak! Cuma gua sengaja dari awal enggak pernah mau bantuin lo balikan sama Putri juga karena gua enggak mau bikin luka lo tambah lebar, ngerti enggak sih? Ini juga demi kebaikan lo sendiri!"
"Tolong buat kali ini aja ngertiin gua. Jangan... gimana ya? Jangan egois, gitu loh. Lagian tadi gua juga kebetulan doang bisa duduk sama mantan lo itu. Gua bukannya mau minta keterangan dari dia soal elo atau gimana. Lo salah sangka, Mik."
Ups, aku agak kelepasan.
Cowok berbadan bungkuk itu terdiam mendengar perkataanku.
"Udah gua bilang, gua oke-oke aja lu bantuin walaupun lu enggak pernah nanganin masalah yang kayak begini. Sekarang tinggal lu yang mutusin, mau berani maju atau enggak. Jangan jadi pengecut, lu." pungkasnya, lalu berbalik dan berjalan pergi.
Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain membeku di tempat dan menatap punggungnya sambil memegang kotak susu di tangan kanan.
Jadi di sini siapa yang salah, sih?
***
Hai! Apa kabar? Semoga di mana pun kalian membaca cerita ini, kalian dalam keadaan baik.
Kali ini aku enggak bakalbanyak cuap-cuap, hehe. Bab ini akan kuakhiri dengan menanyakan hal yang samadengan yang Noah tanyakan: siapa yang salah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top