05 | Surat Tak Bertuan

Anak itu benar-benar mengantarku sampai ke depan kelas Kimia Pak Yanto. Keren juga dia baru masuk empat bulan sudah hafal denah kompleks gedung IPA yang sudah seperti labirin.

Kebetulan kami berdua bertemu dengan Ica. Mereka berdua saling sapa dan akhirnya mengobrol panjang. Dalam bahasa Inggris. Akhirnya aku terpaksa masuk kelas tanpa mengatakan sepatah kata pun pada pendamping hidup masa depanku itu.

Jujur, aku tak tahan melihat mereka berdua tampak akrab bersama. Maksudku, aku tahu aku kalah darinya dalam hampir semua aspek, yada yada. Tapi segenap hatiku percaya kalau aku, Noah Dwiputro Adimulyo, seribu persen lebih cocok untuk jadi pacar seorang Alisja Mahdijawati ketimbang anak itu yang bahkan tak sudi kusebutkan namanya.

"Jadi, lo sama Omar udah deket dari awal tahun?" Ah, tersebut juga akhirnya nama itu. Kami menyebutnya dengan nama tengahnya ketika dia sedang tidak mendengar. Rasanya aneh saja kalau mencampur adukkan nama yang terlampau asing dengan dialog bahasa Indonesia.

Omong-omong, pelatihan OSN telah usai beberapa menit yang lalu. Jam pelatihan tadi dipakai benar-benar untuk mengelompokkan kami berdasarkan cabang lomba yang ingin kami ikuti. Aku dan Ica berakhir pada mata lomba yang sama, yaitu OSN Kimia.

Selepas pelatihan, aku mengajak Ica untuk pergi bersama ke tempat loker kami yang kebetulan lokasinya tidak berjauhan. Kami berdua berjalan lambat di sepanjang jembatan yang menghubungkan gedung A dengan gedung A1 (maksudnya gedung 1 dan 2 rumpun IPA, secara berurutan).

Ica yang berjalan di sebelahku mengangguk pelan. "Gua yang jadi pendampingnya malah, waktu itu. Karena dia baru pindah dari negara lain. Negara apa namanya itu?"

"Islandia."

"Ya, itu lah pokoknya. Jadi Bu Ida nugasin gua buat ngedampingin dia sampai dia... lumayan bisa lah buat "dilepas". Karena itu, sih, gua sama Omar bisa jadi deket."

"Oooh," balasku singkat.

"Oh iya. Omong-omong..." Ica memasukkan tangannya ke dalam tas selempang hitamnya dan mengeluarkan sebuah buku. Ia lalu menyodorkan buku itu ke mukaku.

"Nih, No. Buku yang waktu itu gua kasih tahu ke elu," katanya. Aku mengambil buku itu, lalu mengamatinya dengan saksama. WAIT, DID SHE JUST―

Sial. Ica malah tertawa melihat ekspresiku ketika membaca sampul buku itu. Bikin aku hampir kena serangan jantung saja. Karena aku ditertawai olehnya dan karena melihat wajahnya yang tambah cantik ketika tertawa. Ugh <3

Buat yang ingin tahu, judul bukunya Panduan Sukses Bersosialisasi Untuk Remaja.

"Eh habis ini lu kelas apa, No?" Kami serempak menghentikan langkah di depan persimpangan koridor.

"Fisika." Lalu aku ingat setelah ini Ica masuk ke kelas Matematika Lanjutan I. Beda arah.

"Oalah," ujarnya. "Oh iya, gua baru inget kalo kelas gua enggak jauh dari sini. Ya udah, gua duluan ya, No," ucapnya berpamitan. Tanpa menunggu jawabanku, ia berpaling dan mulai melangkah menuju lorong sebelah kanan.

Tiba-tiba aku tergerak untuk menanyakan hal yang sedari kemarin ingin kutanyakan. "Ca."

"Ya?" Ia berhenti, lalu berbalik menghadapku. Ask the question, Noah.

"Lo cuma temenan kan sama Omar?" Bang (bacanya pakai ejaan bahasa Inggris)!

Selama beberapa detik, terjadi perubahan ekspresi yang cepat pada wajah cewek yang 2 senti lebih pendek dariku itu (aku mengetahuinya saat pemeriksaan kesehatan bulan lalu). Urutannya mulai dari wajah kaget, heran, bingung, kemudian diakhirinya dengan tawa canggung.

"Iya, lah. Kenapa emang lu tanya kayak gitu?" Duh, harus kujawab bagaimana?

Aku berpikir selama tiga detik, berakhir buntu, lalu asal ceplos.

"Itu, temen gua ada yang demen sama lo. Hehe." AAAAAH GUA ENGGAK KUAT!

"Ooh, kirain..." Ia tertawa lega. Tunggu, lega?

"BTW, lo sekalian bawa buku buat mapel selanjutnya?" Aku bertanya untuk mengalihkan perhatiannya dari momen canggung tadi. Ia mengonfirmasinya dengan gumaman. Lalu kembali berpamitan padaku dan berjalan pergi.

"Ooh, kirain..."

***

Setelah percakapan yang berakhir (agak) menyakitkan itu, aku mengambil buku Fisika-ku dari loker. Siapa tahu dengan belajar aku bisa melupakan apa yang cewek itu katakan tadi.

Tapi faktanya, hal itu tetap saja menggangguku. Sepanjang jalan menuju kelas, kepalaku seakan sengaja mengulang-ulang percakapan tadi untuk membuatku muak. Tapi, ampun! Kenapa dia ngomong begitu, sih? Apa sih maksud bidadari itu bilang "Ooh, kirain..."? Dia bersyukur, gitu, kalau aku enggak suka sama dia?

Ya Tuhan, kenapa ada saja bahan overthinking baru setiap kali hambamu ini ingin merapikan jadwal tidurnya? Bisa enggak sih hamba tidur nyenyak satu malam saja?

"Weh, No!" sapa Gibran, anak populer yang kebetulan bisa sekelas denganku. Seperti biasanya, anak kelebihan tenaga itu menyapaku dengan wajah paling riang yang seharian ini kulihat. "Sehat lu?"

"Em, sehat." Tumben banget dia nyapa anak medioker kayak aku.

"Alhamdulillah," sahutnya. "Habisnya muka lu kayak pucat gitu. Kalau sakit bilang aja ya, No. Repot kalau lu tiba-tiba ambruk pas lagi kelas."

Oh, dia bicara sebagai ketua kelas, toh.

Aku tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Iya. Gua sehat, kok. Makasih, ya."

Enggak, sialan! Gua sakit hati!

Akhirnya aku hanya menyimpan kalimat bercetak miring di atas di dalam hatiku yang sesak. Aku masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi yang menempel dengan tembok. Aku mengeluarkan alat tulisku dari dalam tas jinjing beige-ku dan meletakkannya di laci bawah meja.

Tunggu, apa ini?

Aku menggenggam benda itu, lalu menariknya keluar dari laci. Oh, secarik kertas. Eh, tunggu. Kertas ini ternyata terlipat.

Biasanya kalau menemukan kertas seperti ini, aku tidak akan repot-repot membacanya. Langsung kubuang ke tempat sampah. Namun kali ini, selamat, kertas dari bawah laci, kau berhasil menarik perhatianku. Jadi aku membuka lipatan kertas itu dan...

Wah.

Kertas yang sedang kupegang ini ternyata adalah sebuah surat cinta. Tidak ada nama penerima, tidak ada nama pengirim. Hanya ada alasan-alasan kenapa sang pengirim mencintai si penerima, dan gombalan-gombalan cringe yang aku pun sudah tak ingat lagi berapa kali pernah kulihat.

Hanya kamu lah matahari dalam hidupku.

Aku tak bisa bernapas tanpamu,

Karena kamu lah separuh diriku.

Lebih masuk akal kalau ditulis "Aku tak bisa bernapas tanpamu, karena kamu lah aku mengehemat uang rokokku buat beliin kamu seblak. Gara-gara itu, syukurlah paru-paruku jadi tambah sehat". Ew. Bukan gue banget.

Tiba-tiba seseorang merebut kertas itu dari tanganku.

"Eeeeeeeh apa ini?" Pria berumur 30 tahunan itu sekelebat membaca surat itu. "Noah tulis surat cinta buat siapa ini?"

Kelas pun berubah menjadi paduan suara yang hanya menyanyikan satu kata: "Cieeee".

"Siapa tuh, No?"

"Kasih tahu dong No!"

"Wah, bakalan ada yang patah hati nih entar."

"EEEEH SUMPAH itu surat bukan gua yang bikin!" Aku berkali-kali mengatakan kalimat itu, serta kalimat-kalimat bantahan lainnya yang kira-kira sejenis. TAPI SIALNYA, aku membantah mereka semua sambil salah tingkah. KAYAK, kalian tahu enggak sih, kalau orang di-cie-cie-in itu kemungkinan besar pasti bakalan salah tingkah.

Kata cie itu seperti punya kekuatan magis tersendiri yang hampir selalu bisa bikin korbannya tersipu. Padahal dia yang di-cie-cie-in sendiri mungkin bahkan enggak lagi suka sama siapa-siapa. Cuma karena di-cie-cie-in saja orang itu jadi seakan-akan sedang menaruh hati pada seseorang. Jadi kalau ada yang mau memfitnah orang lain, cara ini nih yang paling gampang!

Akhirnya Pak Kris, pria yang tadi "mengumumkan" soal surat itu, memutuskan untuk turun tangan.

"Sudah, sudah. Bapak percaya kok, sama kamu." Tapi ia mengedipkan sebelah matanya padaku. Surat tak bertuan itu ia kantongi. "Ayo, guys. Kumpulin tugas yang minggu kemarin bapak suruh kalian kerjain."

Sialan, aku lupa mengerjakan tugasnya.

***

Setelah menghabiskan lima menit terakhir jam pelajaran Fisika untuk menyuruhku dan 5 orang lain untuk melawak di depan kelas karena tidak mengerjakan tugas Fisika kami minggu lalu, akhirnya Pak Kris mengakhiri kelas. Aku jadi yang paling pertama keluar.

Bukan karena sebagai kompensasi akibat mempermalukanku di depan seisi kelas (sebenarnya aku sendiri yang melakukannya, tapi Pak Kris sedikit banyak juga punya andil dalam hal itu). Tapi karena hari ini adalah hari Rabu. Dan jika ada yang ingat, tepat dua hari yang lalu aku disuruh untuk mentraktir bakso plus es teh seisi kelas Matematika Sains hanya karena membawa bekal ke dalam kelas.

Aku mempercepat langkahku supaya bisa cepat sampai ke lokerku. Aku mengambil perlengkapanku untuk pelajaran itu. Dan yang paling penting: dompetku. Lalu aku bergegas menuju kelas Bu Ida yang pasti akan segera menagih traktiran dariku.

Dan, benar saja.

"Eh, Noah," sapanya ramah. Aku tersenyum balik sambil berjalan masuk ke dalam kelas. Diriku terbagi jadi dua: sebagian berharap kalau Bu Ida entah bagaimana lupa soal traktiran itu sementara sebagian yang lain justru berharap kalau wanita paruh baya itu mengingatnya. Mau diapakan kelebihan 30 porsi bakso itu, jika aku membatalkan pesananku?

"Anak-anak, ibu mau mengumumkan kalau hari ini kita enggak belajar dulu, ya." Nah loh. "Soalnya hari ini ada yang mau berbaik hati, nih, buat traktir kita semua bakso sama es teh jualannya Teh Sinta."

Beliau mengatakan semua itu sambil menatap kedua mataku.

Oke, selamat tinggal tabunganku. I'll miss you so much...

***

"Mangkoknya rapikan, jangan sampai ada makanan atau minuman yang berceceran!" Suara Bu Ida menggelegar di seisi ruangan, menyaingi bisingnya suara 30 anak yang bicara bersamaan. "Eh, semuanya udah bilang makasih belom sama Noah?"

"Makasih Noaaah!" seru mereka semua tak serempak.

"Iya, sama-sama," balasku lesu, sambil menyendok suapan terakhir dari mangkuk bakso yang sedang kuusahakan untuk nikmati.

Hampir semua anak telah selesai makan. Mangkuk-mangkuk pun mulai bertumpukkan di meja paling depan, dekat dengan pintu kelas. Teman-teman sekelasku pun banyak melakukan hal-hal lain.

Ada yang bermain gim (terutama yang cowok), ada yang merekam video TikTok (terutama yang cewek), bahkan ada juga yang mengerjakan soal (terutama yang pendiam dan tak punya banyak teman).

Ada juga diriku, yang sibuk memikirkan bagaimana caranya menjelaskan pada Mama kalau aku menghabiskan sepertiga dari tabunganku untuk mentraktir sekelas Matematika Sains karena membawa kotak bekal ke dalam kelas Bahasa Indonesia dua hari yang lalu.

"Woi, No! Sini lah main!" ajak Gibran, yang akhirnya me-notice diriku (kemungkinan besar karena aku yang mentraktir dirinya dan teman-temannya makan bakso).

Namun aku menggeleng. "Skip dulu, dah."

"Yah, enggak asyik lu!" Dia kembali fokus pada gimnya.

Oh, tunggu. Dia menoleh lagi. "Woi sini lah join."

Aku hendak mengiyakan, tapi bel pergantian jam yang berbunyi benar-benar sepersekian detik sebelum aku membuka mulut berhasil menyelamatkanku.

Akhirnya aku menjawab, "Yah, udah bel, Gib. Next time, deh. Gua duluan ya!"

Aku buru-buru merapikan barang-barangku, lalu setengah berlari keluar dari kelas.

"Noah sekalian panggilin Bang Mamat, ya! Minta tolong beresin!" titah Kanjeng Ratu Ida Ayu Nyoman Maharani sebelum aku melangkahkan kakiku keluar.

Aku tak membalasnya.

Aku sampai di loker. Aku melempar tas jinjingku ke dalam loker, mengambil dompetku, lalu membanting pintunya sampai tertutup. Aku melangkah ke kantin meski aku baru saja makan bakso. Aku masih lapar. Tapi aku akan habiskan makanan yang kubeli. Aku janji.

Dan seperti hari-hari lainnya, kantin sekolah ramai dengan anak murid yang kelaparan. Saking ramainya sampai aku harus berteriak sekadar untuk bilang "permisi".

Aku berdiri di tengah lautan manusia itu sambil celingukan. Pandanganku menyapu seluruh penjuru kantin, berusaha mencari lapak bakso yang menjual ketiga puluh porsi bakso yang tadi kami makan ramai-ramai.

Ah, di situ dia.

Aku berjalan pelan, menavigasi kantin yang sudah seperti kaleng ikan sarden itu demi menghampiri lapak bakso favoritku. Favorit sejak satu jam yang lalu, maksudnya. Satu tahun aku bersekolah di sini aku selalu membeli nasi goreng di lapak yang benar-benar ada di sisi lain kantin.

Makin dekat dengan lapaknya, makin sesak aku dibuat oleh orang-orang yang sudah mengantri lebih dulu (meski antriannya acak-acakan). Jujur, tempat ini lebih cocok disebut tempat pembagian bansos daripada kantin salah satu sekolah (semi-)elit di Ibu Kota.

Maksudku, lihat anak-anak ini! Mereka seperti tak tahu tata krama mengantri. Melambai-lambaikan uang mereka sambil meneriakkan pesanan mereka. Dua (atau tiga?) orang yang menjaga lapak itu tampak kewalahan menangani pesanan-pesanan mereka.

Dan jika diperhatikan lagi, yang akan kulakukan hanya akan menambah beban kerja mereka.

Aku berhasil merangsek masuk sampai tepat di depan lapak bakso itu. Dengan sedikit keraguan, aku pun ikut meneriakkan pesananku... yang hebatnya langsung diladeni oleh orang ketiga yang bekerja di lapak itu.

"Ini baksonya Tante lebihin buat kamu," ujar wanita yang tampaknya sebaya dengan Bu Ida itu. Ia menyorongkan mangkuk bakso pesananku. "Kamu yang tadi borong bakso 30 porsi kan? Sering-sering lagi ya, Dik. Hehe."

Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih dan, "Hehe. Iya, bu."

Oke. Sekarang, bagaimana caranya supaya aku bisa membawa mangkuk baksoku keluar dari kerumunan itu tanpa menumpahkan isinya?

Akhirnya aku memutuskan buat "terobos ae lah" dan berhasil. Aku keluar dari area klaustrofobia itu dengan kuah bakso yang masih utuh.

Tantangan lain pun muncul: di mana aku akan duduk dan menikmati porsi kedua baksoku hari ini? Kedua bola mataku kembali memindai kantin yang masih padat. Ada satu bangku kosong.

Yes!

Aku sudah berjalan beberapa langkah menuju bangku itu ketika aku menyadari satu hal.

Di sebelah bangku itu, duduklah seorang Mikail Yusri Munandar. Orang yang beberapa jam yang lalu mengamuk di kelas Pokok Jurnalisme (aku sudah 3 kali menyebut "Pokok Jurnalisme". Selanjutnya akan kusebut PJ).

Daaaan mengingat apa yang kukatakan padanya sebelum Hakan "menyiram bensin" ke api kemarahannya, sebaiknya aku menjaga jarak dulu dengan anak itu.

Tak pernah kusangka anak itu menengok ke arahku. Ia sebentar melanjutkan percakapan dengan orang lain yang duduk bersamanya, lalu bangkit dari bangkunya. Dan ia berjalan... ke arahku. Jangan-jangan aku mau dilabrak sama dia.

Aku mulai kalut. Kakiku refleks berderap meninggalkan tempatku berdiri. Ke mana saja deh, asalkan jauh dari anak itu! mungkin begitu pikir kedua kakiku ini.

Aku masuk ke mode kewaspadaan tinggi. Hypervigilant. Kepalaku bolak balik menengok ke sana kemari. Terutama ke belakang, untuk memastikan Mikel tidak mengikutiku. Namun apa yang kulihat berbanding terbalik dengan apa yang kuharapkan. Anak itu berjalan mengekoriku, susah payah menavigasi hiruk pikuk kantin.

Semakin lama ia semakin memperkecil jaraknya denganku. Sedangkan diriku yang malang ini masih belum menemukan satu pun bangku kos― itu dia!

Yes yes yes yes! Aku menambah laju jalanku.

"Noah!" Waduh!

Lalu aku mendengar suara buk! yang lumayan kencang diikuti suara piring pecah.

"Ck. Kalo jalan lihat-lihat dong!" Suara itu menggelegar seperti petir, dengan cepat menggantikan bisingnya suara percakapan. Itu bukan suaraku, atau suara Mikel.

Aku mengabaikannya sambil terus berjalan menuju kursi itu.

"Ya maaf! Lu juga bawa piring enggak bener, sih." Itu baru suara Mikel.

Sementara adu mulut itu berlanjut, aku akhirnya berhasil mendaratkan pantatku di bangku kosong itu.

"Temen lo jagain napa, No." Tunggu. Kayaknya aku kenal suara itu.

Aku lantas memalingkan kepalaku pada sumber suara. Dan apa yang kulihat membenarkan dugaanku tentang si pemilik suara itu. "Putri?"

Ia tertawa kecil. "Kaget banget lo kayaknya?"

***

Halo! Apa kabar semua? Semoga di mana pun kalian berada, kalian semua dalam keadaan baik.

FYI, aku hampir lupa unggah bab ini gara-gara riweuh ngurusin persiapan besok mulai tatap muka lagi. Hehe. Minta doanya teman-teman, semoga lancar. Amin.

Satu pertanyaan buat mengakhiri bab ini: menurut kalian, apa yang sebenarnya dimaksud Ica waktu dia bilang "Ooh, kirain..."?

Sampai jumpa Senin depan 👋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top